Minggu, 19 Desember 2010

Tuan Tanah dan Tuan Otak

Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 20 Maret 2004.


Ludwig van Beethoven (1770-1827)

Ada satu kisah menarik dari surat-menyurat antara komponis besar, Ludwig van Beethoven (1770-1827) dengan saudara laki-lakinya. Setiap mengakhiri suratnya, saudaranya yang kaya itu membubuhkan tanda tangan lengkap dengan menyebut statusnya sebagai "Tuan Tanah". Mungkin maksudnya untuk mengeritik pilihan hidup Beethoven yang membuatnya tetap miskin hingga akhir hayatnya.
Namun, kemiskinan  tidak membuat Beethoven minder. Di dalam suratnya, Beethoven malah menasehati: “Baik-baiklah mendidik anak kalian, karena yang dapat membuat seseorang sungguh-sungguh bahagia adalah kepribadiannya, bukan uang….!” Dan ketika musikus tersohor yang sering gonta-ganti rumah kontrakan itu mengakhiri tulisannya, tak lupa pula membubuhkan tanda tangan, dan menyebut dirinya sebagai “Tuan Otak”.
            Karena saudaranya mengandalkan dirinya sebagai Tuan Tanah, kita jadi tidak begitu mengenalnya. Sebab, sejarah memang tidak pernah mencatat sesuatu yang penting, kecuali surat-menyurat itu. Kalaupun sejarah pernah menyinggungnya, tentu saja karena  ia punya hubungan dekat dengan nama besar Beethoven.
Tony Buzan, pengarang Head First, bukan hanya menulis satu paragraf kecil kisah itu di halaman terakhir bukunya tanpa  menyebut nama saudaranya. Ketika dia berlalu, kita tidak perlu tahu. Dia dan kekayaannya menghilang bersama rumput kering abad kesembilan belas.
Namun, tidak demikian Beethoven. Nama dan karya-karyanya harum abadi. Hati siapa yang  tak   tersentuh mendengar alunan Moonlight Sonata di   tengah   malam  yang senyap? Dan apakah kita pernah mengamati, tukang es keliling, masuk gang ke luar gang, dari satu kampung ke kampung lain,  menjajakan dagangannya sembari “memainkan” Fur Elise?
            Jane Stuart Smith dan Betty Carlson dalam buku The Gift of Music:  Great Composers and Their Influence menulis, “Beethoven merupakan salah seorang pemikir teragung dalam dunia musik. Sejak dini ia telah menjauhkan diri dari kesembronoan. Rasa ingin tahunya besar, dan ia terus belajar sepanjang hidupnya”. Bahkan, ketika pendengarannya terganggu (tuli), ia tidak menyerah. Ia justru berjuang keras untuk meningkatkan kinerja otaknya. Ia bukan saja menjadi Tuan Otak, melainkan juga adalah seorang manusia berintegritas tinggi. Simfoni-simfoni agungnya lahir pada masa-masa sulit dalam hidupnya.
            Henry David Thoreau (1817-1864) menyatakan, sesungguhnya tidak ada fakta yang lebih membesarkan hati selain kemampuan manusia yang tidak diragukan untuk dapat meningkatkan kehidupan melalui upaya yang disadarinya. Kita bisa menyaksikan, bangsa-bangsa maju terus berusaha meningkatkan kemampuannya untuk menghasilkan hal-hal menakjubkan. Setelah tiba di bulan untuk kali pertama  pada 1969, dan sukses mengirim robot Spirit yang “cerdas” ke Mars, AS berencana akan mengirimkan orangnya ke sana. Eropa dan Jepang juga tidak ketinggalan untuk menjajaki kemungkinan manusia bisa tinggal di planet merah itu. Perlu dicatat, China telah berhasil pula mengirimkan orang pertamanya ke ruang angkasa.  “Lompatan terbesar umat manusia pada gelombang keempat adalah era luar angkasa. Ini benar-benar revolusi maha besar”, ujar Alfin Toffler (Tempo, 15-21 Desember 2003).
            Futurolog terkenal itu memerkirakan, gelombang keempat terjadi sekitar 50 tahun lagi. Ia membayangkan, pada saat itu manusia ingin bermukim di bulan atau planet lain.  
            Lalu, bagaimana kita menghadapi masa depan? Kalau kita pernah bangga dengan visi Indonesia, mungkin ketika kita punya sejumlah Repelita (rencana pembangunan lima tahun) pada zaman Soeharto. Waktu itu, para pemimpin kia pastilah berjuang keras untuk menyusun visi dan misi bangsa ini. Kalau terwujud, Indonesia menjadi negeri industri. Kita akan sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Apalagi setelah Profesor BJ Habibie pulang membawa ilmu dari Jerman. “Kita akan melakukannya dengan lompatan teknologi,” ujarnya optimis. Dan rakyat bertepuk tangan ketika menyaksikan pesawat terbang canggih buatan anak bangsa mengudara. Dasar otak jenius, kata ibu-ibu waktu itu.
            Namun, visi indah itu tidak pernah terwujud. Kesalahan utama kita tentu saja bukan karena otak kita yang salah, melainkan karena nihilnya integritas. Visi tanpa integritas adalah bohong belaka.
Kita bisa  belajar dari runtuhnya kerajaan terkuat, Romawi, yang pernah ada di bumi ini. Sejarah mencatat hingga abad kedua Masehi, orang-orang kaya Romawi hidup bersenang-senang, tidak ada yang merangsang kerja keras, tidak ada semangat untuk mengukir sejarah gemilang seperti ketika menaklukkan Eropa, Timur Tengah, dan sebagian Afrika Utara. Prajurit-prajurit yang biasanya memilih seorang jenderal cemerlang sebagai kaisar, digantikan orang setengah barbar yang tidak punya kepedulian terhadap kebudayaaan. Pejabat-pejabat Romawi sangat melecehkan pendidikan. Rakyat dibuat menjadi sapi perahan. Kerajaan Romawi, suatu saat menjadi stagnan, akhirnya runtuh, bukan karena serangan hebat dari luar, melainkan karena tidak becus mengurus negerinya (Bertrand Russel, History of Western Philoshopy).
            Banyak orang skeptis, perjalanan bangsa kita akan terhenti karena  sudah habis dijarah. Sejumlah pengamat mengatakan, negeri kita berada di ambang keruntuhan (state failure). Tentu saja, kita tidak ingin mimpi buruk itu terjadi. Oleh karena itu,  kita harus bersungguh-sungguh berjuang untuk meningkatkan kemampuan otak kita, membangun karakter yang baik, dan bekerja keras.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar