Kamis, 30 Desember 2010

Gundaling Pada Suatu Pagi

Catatan: Cerpen ini semula berjudul norak sekali, Yang Kubutuhkan adalah Cintamu dimuat di harian Bukit Barisan pada 1983 sewaktu aku masih sekolah di SMA Immanuel Medan. Kemudian kurombak total untuk buku kumpulan cerpen bertajuk Gundaling Pada Suatu Pagi.

Jam empat pagi aku terjaga dari tidur. Segera kumatikan deringan jam beker yang terletak di sisi ranjang sebelum seisi rumah terbangun. Dengan sedikit kantuk aku melangkah gontai ke jendela. Kusingkapkan sedikit tirainya. Masih sepi sekali di luar. Aku tersenyum karena pada lantai dua rumah di seberang jalan, lampu sudah dinyalakan. Aku tahu, Theresa pasti sudah bangun. “Kalau lampu di tingkat dua sudah menyala berarti aku sudah bangun,” katanya kemarin sore. Ya, pagi ini, kami akan berjalan santai ke Gundaling.
Seisi rumah masih terbuai mimpi. Aku melangkah perlahan ke kamar mandi. Uh, dinginnya air bukan main. Aku menggigil. Namun, tentu saja aku harus membasuh muka dan menyikat gigi. Siapa tahu nanti, kami bercakap-cakap dengan wajah berdekatan dan saling berbisik di kursi di bawah pokok cemara di bukit yang indah itu? Wah, kenapa jadi ngelantur pikiranku…. Hehe.
Lalu, aku berdiri di depan cermin. Memandangi wajahku sekilas. Sudah bersih. Kupakai sedikit bedak. Dan dengan sembunyi-sembunyi aku berjingkat ke kamar abangku yang tak terkunci, kupakai parfumnya sedikit. Balik lagi berdiri di depan cermin. Kuamati lagi wajahku. Mataku. Hidungku. Kumisku. Apakah aku layak mendampinginya? Ah, seperti ada saja yang kurang pada diriku. Kusisir rambut sekali lagi. Oh, beginikah orang yang sedang jatuh cinta? Sungguh merepotkan, tapi aku senang sekali.
Setelah kurasa penampilanku beres semua, aku pun meninggalkan rumah. Kabut menyelimuti Berastagi. Namun, jalanan tidak terlalu gelap karena  bulan bercahaya. Aku menyeberang jalan sambil memasukkan kedua telapak tangan pada saku jaket. Dingin begitu menusuk hingga ke sumsum tulang. Antara rumahku dan rumah Theresa dipisahkan oleh dua ruas jalan yang di tengahnya tumbuh deretan cemara sampai ke tugu perjuangan.
Aku tiba di depan rumahnya. Tidak segera kuketuk. Takut ada yang masih tidur. Siapa tahu, Theresa juga sepertiku, diam-diam ke luar, tanpa ada yang tahu? Namun, hanya hitungan detik, aku sudah mendengar suara pintu dibuka.
“Hai, selamat pagi! Sudah lama menunggu?” sambutnya ceria.
“Pagi juga! Aku baru saja tiba,” ujarku.
Kulihat dia menoleh ke dalam rumah.
“Miranda… ayo, Aji sudah datang, nih!” suaranya tertahan agar tidak membangunkan seisi rumah.
Seorang gadis muncul. Miranda adalah sepupu Theresa.
“Hai, Aji, selamat pagi!” sambutnya.
“Pagi, Miranda! Ok, kita langsung jalan?” tanyaku.
“Yuk…!” sahut kedua gadis itu serentak.
Jam di lenganku hampir menunjukkan pukul lima. Kami menyeberang satu ruas jalan. Kami memilih berjalan di bawah deretan pokok cemara hingga ke tugu perjuangan. Aku melihat sepanjang jalan sudah mulai ramai dengan kegiatan berjalan kaki. Di tengah jalan, kami bertemu dengan Fanny dan dua kawannya yang belum kukenal. Kami pun berjabat tangan. Saling memperkenalkan diri.
“Eh, bagaimana kalau kita berlari kecil,” usul Fanny setelah berjalan beberapa meter. “Kalau jalan saja nanti kesiangan.”
“Boleh saja,” ujar Miranda. “Tapi, bagaimana ya… kaki Theresa kemarin keseleo, aku pikir belum sanggup dia lari.”
“Eh, tapi kan ada Aji,” potong Fanny. “Bagaimana kalau dia aja yang nemani Theresa. Ok? Kita jumpa di Gundaling, ya…. Yuk, lari….!”
Tanpa mendengar jawaban kami, gadis-gadis itupun mulai berlari kecil. Meninggalkan kami berdua yang jadi salah tingkah. Namun, aku sangat menyukai suasana pagi seperti ini. Kami berjalan dalam kesunyian. Sinar rembulan menerangi jalan.
Aku belum lama mengenal Theresa. Pada Sabtu, dua minggu lalu, aku menghadiri acara ulang tahun Fanny, anak pamanku. Sungguh meriah acaranya. Pada satu kesempatan, panitia ulang tahun meminta hadirin untuk mengambil undian, yakni mengambil kertas kecil yang digulung yang terdapat dalam toples. Dengan suara gelak tawa, masing-masing kami mengambil satu undian. Waktu kubuka, ternyata isinya membuat jantungku berdegub tak karuan: “Anda beruntung sekali malam ini! Malam yang mungkin tak akan terlupakan. Silakan mengambil segelas minuman yang tersedia di meja! Berikan kepada seseorang yang Anda perhatikan sejak tadi!”
Kemudian, panitia membacanya dengan suara keras. Wow! Terdengar tawa riuh di ruangan itu. Aku jadi salah tingkah. Kepada siapa harus kuberi minuman itu? Oh, hatiku sebenarnya mudah menjawabnya. Ya, bukankah sejak tadi diam-diam aku memperhatikan seseorang? Siapa lagi kalau bukan seorang bidadari yang berdiri persis di depanku?
Aku menoleh ke kiri, ke kanan, dan ke depan. Aku masih ragu. Bagaimana kalau dia menolakku? Betapa malunya! Namun, kemudian aku diselamatkan oleh kata-kata dari panitia: “Mohon, siapapun yang menerima minuman itu tidak boleh menolak! Siapa tahu, jodoooh….!”
Huuu! Terdengar lagi suara riuh.
“Ayo, ayo, ayo, jangan malu-malu…!”
Beberapa orang mulai bernyanyi sambil tepuk tangan. Tanpa ragu-ragu lagi, aku pun melangkah ke depan. Berhenti di hadapan gadis berwajah mirip dengan ilustrasi cerpen di majalah Anita Cemerlang. Ya, jangan pernah membuang kesempatan, bisikku sembari mengingat satu pepatah kuno: “Bagi si pesimis, kesempatan itu adalah kesempitan; bagi si optimis, kesempitan itu adalah kesempatan!”
Sejenak kutatap wajahnya. Langsung saja dia tertunduk.
“Minuman ini buat kamu,” kataku dengan jantung deg-degan.
Dan dia kulihat tersipu-sipu.
“Mau, ya….” bisikku.
Dia mengangguk. Perlahan kusodorkan gelas itu pada bibirnya. Dia pun meminumnya. Ah, aku berhasil, pikirku.
Suit! Suit! Plok, plok, plok! Tepuk tangan terdengar riuh. Oh, betapa bahagianya hati ini.
Seusai acara, dia menyapaku. “Terima kasih, ya.”
“Ehm, sama-sama,” ujarku. “Tadi aku cemas, takut kamu menolakku.”
“Bukankah sudah dilarang menolak?” ujarnya.
“Kalau tidak, kamu akan menolakku….?”
“Aku tidak akan pernah mempermalukan siapapun.”
“Terima kasih,” ujarku.
Kami pun berkenalan. Aku bilang, aku asli anak Berastagi, tapi sekolah di SMA Immanuel Medan. Lalu, dia menyebutkan namanya: Theresa. Oh, romantis sekali namanya. Mirip nama tokoh dalam roman-roman klasik barat. Hehe! Dia murid kelas dua SMA Negeri Berastagi. Dia belum lama tinggal di kota sejuk ini bersama bibinya. Asalnya Tongging, yang danaunya indah sekali.
Kemarin menjelang senja, aku secara kebetulan bertemu lagi dengannya di depan toko Gunung Sinabung.
“Hai, mau ke mana?” sapaku.
“Eh, Aji, apa kabar? Kapan datang?”
Kami bercakap-cakap pada senja itu hingga menjelang malam. Lalu, kami membuat janji. Besok hari Minggu. Biasanya ramai sekali orang berjalan pagi. Menikmati keindahan alam dari bukit Gundaling.  Dan sekarang, dia berada di sisiku.
“Eh, kok diam aja?” ujarnya tiba-tiba.
Ah! Aku tersentak dari lamunan panjang. Tiada terasa, kami mulai tiba di jalan menanjak kaki bukit Gundaling.
“Ya, aku tadi terkenang waktu pertama kali kita bertemu,” ujarku berterus terang.
“Memangnya kenapa?” tanyanya dengan suara menyelidik.
“Kenapa aku dapat undian berharga itu, ya?”
Dia membisu.
“Mmm, tapi kenapa aku yang kamu pilih?” tanyanya lagi.
Aku menghirup udara. Hmm, segar sekali.
“Eh, kenapa ditanya lagi,” ujarku. “Bukankah kertas yang dibacakan itu sudah menjawabnya. Masih kuingat persis kata-katanya: Berikan kepada seseorang yang Anda perhatikan sejak tadi.”
Dia seketika tertunduk.
“Ya, itulah alasannya,” suaraku setengah berbisik.
Dia sesaat mengangkat kepala. Lalu, kembali menunduk. Ya, sekarang aku sudah tahu isi hatinya. Kuraih jemarinya. Kubawa dia berjalan melewati bukit berbunga. Kami tiba di puncak. Duduk di bawah pokok cemara. Kupetik sekuntum seruni putih. Kuberikan padanya.
“Cantik sekali bunga ini,” kagumnya.
“Ya, secantik kamu,” pujiku.
Dia tersipu. Fajar mulai menyingsing. Ah, kurasakan benih-benih cinta mulai tertanam di hati kami.

Rabu, 29 Desember 2010

Karena Sayang Bunga

Catatan: Cerpen ini dimuat di majalah Anita Cemerlang, 20-30 Agustus 1993 edisi 449.

Sore yang teduh. Kampus telah sepi. Bunga Mewangi  di sampingku, memeluk dua buku tebal yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan. Tas kuliah yang juga penuh dengan buku itu tergantung di bahu kirinya. Aku memasukkan kedua telapak tangan pada saku celana. Melangkah perlahan, menyelusuri lorong kampus yang lengang.
“Kenapa sih, kalau kamu nulis cerita sering pakai nama Bunga?” tanyanya memecah keheningan. Kami melewati cemara-cemara di samping bursa mahasiswa Ekonomi yang sudah tutup. Dan sesaat aku menoleh padanya.
“Menurut kamu sendiri, kenapa?” selidikku.
Nona itu seketika menghentikan langkahnya. Menatapku sejenak.
“Bunga yang butuh jawaban dari kamu, malah balik ditanya?” nada suaranya terdengar seakan memprotes.
Hop! Kutendang sebuah kerikil. Batu kecil itu menyelinap di balik akar sebatang pohon tua yang rimbun. Kunaikkan tali tas yang melorot ke bawah.
“Kenapa, ya?” gumamku. Bimbang juga karena pertanyaannya begitu tiba-tiba. Aku mesti jawab apa? Atau terus terang bilang karena… jatuh cinta pada nona yang banyak dikejar cowok-cowok kampus ini? Olala!
“Masa tidak tahu? Kan kamu sendiri yang nulis?” suaranya kini seperti mendesak.
Kami meneruskan langkah dengan lebih lambat. Kupandang langit senja yang kemerahan. Betapa indahnya. Dan kurasakan sentuhan angin begitu lembut menerpa pori-pori kulitku. Lantas aku pun bersiul, penuh perasaan. Semoga dia mengerti maksudku.
When I fall in love
It will be forever
Or I'll never fall in love…
Ya, tentu karena aku ada perhatian pada kamu nona manis, bisikku dalam hati. Kenapa masih bertanya juga?
“Kok diam?”
Ah, aku tersadar dari lamunan.
“Apa tadi pertanyaan kamu?”
“Idih, malah melamun.”
“O, aku ingat sekarang. Tentang nama kamu itu,kan? Ya, sudah pasti karena nama kamu bagus, romantis. Lagi… enak dibaca dan perlu.”
Nona itu tertawa. Aduh, manisnya!
“Kayak iklan majalah Tempo saja. Nama Bunga kan jelek?”
“Hush! Siapa bilang?”
“Bukankah masih banyak nama yang lebih bagus? Misalnya, nama-nama teman kelompok diskusiku, Theresa, Miranda, Deasy…. Lagi, mereka pun cakep-cakep. Kok, kamu malah pilih nama Bunga? Apa kamu tidak terlalu subjektif memilih namaku?”
“Bagiku nama kamu paling bagus. Ya, kalau karena itu lantas aku dibilang terlalu subjektif, mungkin aku tidak bisa menyangkalnya. Namun, bagaimana sekiranya aku memakai nama salah seorang dari teman kamu itu, Theresa atau Miranda, misalnya. Menurut kamu, apakah aku masih terlalu subjektif? Kalau ya, lantas aku harus bagaimana? Habis, aku suka sih.”
“Ah, entahlah ya. Sulit memang mengalahkan pengarang kalau ngomong.”
Hap! Kutangkap setangkai daun kering yang melayang beberapa jengkal di atas kepala. Benda itu segera kuremas. Kami sekarang tiba di taman Ekonomi. Daun-daun berserakan di sekitarnya.
“Heh!” panggilku setengah berbisik.
Gadis itu menoleh. Menyibakkan helai-helai rambutnya yang dipermainkan angin, dan menyusunnya di belakang telinga.
“Tapi kamu suka kalau nama kamu kutulis dalam cerita-ceritaku?”
Tidak kudengar jawaban. Ah, adik kelasku itu malah tertunduk. Aku jadi sibuk dengan pikiranku sendiri. Kalau seorang cewek ditanya perihal persetujuannya, tapi dia hanya membisu, terlebih menunduk… itu pertanda setuju, bisik hatiku senang. Ya, kalau tidak salah begitu tulis buku psikologi yang pernah kubaca.
Kami tiba di gerbang kampus. Naik jembatan penyeberangan. Kami masih saling membisu. Tercekam dengan perasaan masing-masing. Dan akhirnya berpisah di ujung anak tangga paling bawah setelah saling senyum. Ah, senyumnya yang aneh. Senyum yang kuyakini khusus untukku saja. Sungguh sulit aku memahaminya. Namun, aku bahagia, bahagia sekali. Ya, nona cantik itu suka kalau namanya kutulis dalam cerita-ceritaku. Padahal selalu dia kujadikan seorang tokoh sebagai pacarku. Banyak anak kampus membacanya, dan tahu soal itu.
Semestinya aku terus melangkah, lalu membelok ke kiri menuju Salemba Tengah, rumah kosku. Namun, aku tidak segera ke sana. Kubalikkan badan. Ya, aku ingin ngomong-ngomong lagi dengannya. Caranya adalah dengan pura-pura membeli majalah di dekat halte tempat dia menanti bus yang akan membawanya ke arah Cililitan. Ide bagus ini tiba-tiba saja melintas di pikiranku. Toh, bagaimanapun juga aku sudah semakin jelas melihat sikapnya padaku. Ya, kalau dia bertanya lagi tentang namanya itu, aku tidak akan bertele-tele lagi. Aku akan berterus terang saja, karena aku sayang dia. Titik! Ya, takut apa? Toh, hanya begitu saja. Aku pun memberani-beranikan diri.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, bus yang sedang dinantinya sudah berhenti di depannya. Bah! Aku menggerutu. Dasar bus sialan!
Kulemparkan tubuhku ke pembaringan.
“Bagaimana, sudah kau nyatakan cintamu itu kepadanya?” Ucok Sinaga muncul di pintu kamar. Rambutnya basah. Baru selesai mandi.
Aku menggeleng lemah.
“Bah, sampai kapan lagi? Keburu kiamat dunia.”
“Kau sangka menyatakan cinta itu semudah membalikkan telapak tangan?” gemasku.
“Mudah sekali. Buktinya aku,” belanya. “Belum ada sebulan naksir bisa dapat cewek. Kau catat itu, tanpa pakai bahasa sastra segala macam.”
Sombong! Aku menggerutu dalam hati. Cewek model bibir petinju saja dibanggakan.
“Heh, lembu!” aku cepat melindungi wajahku dari titik-titik air dengan bantal. “Kau pikir ini Danau Toba? Kalau ngeringi rambut di luar dong!”
“Ah, sorilah. Tidak sengaja.” Dia menghentikan goyang-goyang kepalanya. Rambutnya yang gondrong kayak penyanyi metal itu digosok-gosoknya dengan handuk.
Aku kembali melamun.
“Sebenarnya apa lagi yang kau tunggu?” ocehnya lagi. “Tampang boleh. Penampilan meyakinkan. Bapak pengusaha. Bukti cewek itu suka pada kau, ada. Kan kau sendiri dulu bilang, dia tidak pernah mendatangimu, lalu marah-marah karena kau jadikan sebagai pacarmu di cerpen-cerpenmu. Sampai loncat-loncat kau di tempat tidur, bilang pipinya sampai bersemu merah dan malu-malu setelah membaca ceritamu. Lalu heh, apa lagi maumu? Orang tak bermodal saja berani lamar cewek. Kau punya nyali sedikitlah! Atau maumu dia dulu yang bilang cinta, baru kau percaya? Bah, enak kali kau jadi laki-laki.”
Aku termenung. Ya, aku setuju dengan apa yang diucapkannya.
“Tapi, kalau dia tiba-tiba nanti nolak, bagaimana?” tanyaku ragu.
“Gampang. Bunuh diri saja!”
“Sialan kau, Cok!” makiku.
“Pertanyaanmu itu terus. Sampai tua bangka kerjamu menunggu, menunggu, menunggu dia saja di perpustakaan. Keburu digaet orang baru kau tahu.”
Lelaki dari Tarutung itupun ke luar, meninggalkanku yang penuh dengan kebimbangan.

***
Aku terkejut. Dari Miranda aku mendapat kabar buruk. Bunga Mewangi sampai saat ini masih diopname di rumah sakit. Persisnya empat hari yang lalu dia menjalani operasi usus buntu. Aku memang terlambat mendengar berita itu karena ada seminggu lamanya aku tinggal di sebuah desa di Cianjur Selatan untuk mengadakan penelitian pendapatan masyarakat di sana. Tanpa sempat beristirahat, tidur seharian seperti rencanaku semula, aku pun bergegas menuju rumah sakit. Kubawa seikat kembang untuknya. Ah, semoga Bunga lekas sembuh.
“Selamat sore, Mbak!” aku menyapa dua orang perawat yang duduk berjaga di dekat pintu masuk.
“Selamat sore!” sambut mereka ramah.
“Saya ingin bertemu Bunga. Bunga Mewangi.”
“Oh ya,  silakan. Ruang Melati, kamar 199. Dari sini terus, lalu belok ke kanan.”
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun buru-buru melangkah. Ah, betapa kangen aku padanya. Kamar yang kucari sekarang ada di depanku. Namun, kamar itu terkunci. Aku ragu membukanya. Ya, siapa tahu di dalam ada papa-mamanya? Siapa tahu saat ini dia belum terjaga dari tidurnya? Dan siapa tahu di dalam dia bersama… cowoknya yang selama ini dirahasiakannya? Ah, betapa malunya nanti. Kenapa ya, tidak kuajak saja tadi Miranda, Theresa, atau Ucok Sinaga bersama pacarnya? Agar tidak ketahuan aku naksir berat pada Bunga, sampai bawa-bawa kembang segala macam. Pikiran-pikiran itu membuat aku bingung sendiri. Aku pun berusaha untuk mencari keputusan yang tepat, tapi sampai memakan waktu yang lama aku belum juga menemukannya. Bah, kenapa jadi begini?
“Lho, kok belum masuk?” Seorang perawat tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku dengan membawa baki berisi makanan dan minuman. Dia tampak keheranan.
“Saya boleh tahu, Mbak, selain Bunga siapa lagi di dalam?” tanyaku gugup.
“Mungkin sekarang hanya Bunga sendiri. Teman-teman kuliahnya tadi banyak yang datang, tapi kayaknya sudah pada pulang semua.”
“Papa mamanya….”
Belum sempat pertanyaanku dijawab pintu sudah dibuka perawat yang baik hati itu. Dari pandanganku sekilas ke dalam tidak seorang pun terlihat, kecuali Bunga yang sedang membaca sebuah majalah. Aku pun masuk mengikuti perawat.
“Hai!” sambutnya.
“Apa kabar? Bagaimana keadaan kamu?” sapaku.
“Sudah semakin membaik. Tapi, bosan deh rasanya tinggal di rumah sakit. Sepi sekali. Eh, kembangnya bagus sekali….”
“Oh ya, ini buat kamu,” ujarku salah tingkah.
“Ooo, aku suka sekali.” Bola matanya yang bagus itu membulat. Tampak indah walau dalam keadaan sakit. Ah, dia agak kurusan sedikit.
“Kamu suka?” tanyaku.
Dia mengangguk. Dan memeluk bunga itu dengan wajah berseri-seri.
“Nona Bunga makan dulu, ya,” ujar perawat mengingatkan.
“Ah ya, Mbak, terima kasih,” ujarnya.
Perawat itu bergegas ke luar. Aku senang Bunga menghabiskan makanannya. Bukankah itu menunjukkan tanda-tanda kemajuan kesehatannya? Lalu, aku pun menceritakan pengalamanku selama tinggal di Cianjur Selatan. Namun, tiba-tiba kepalaku mendongak ke atas, melihat sebuah benda yang cukup akrab denganku semenjak aku masih kecil. Biola!
“Kenapa?” tanyanya heran melihat mataku tak berkedip memandang ke atas lemari.
“Biola siapa?” tanyaku.
“O, itu ternyata. Bunga kira ada apa, kok tiba-tiba bengong. Itu biola papa.”
“Ah, papa kamu juga rupanya senang main biola.”
Gadis itu mengangguk.
“Kalau papa dan mama datang, papa suka menghibur Bunga dengan memainkan biola, lalu mama nyanyi.”
“Wah, menyenangkan sekali,” aku terkagum-kagum membayangkan betapa harmonisnya keluarga Bunga.
“Kamu bisa memainkan biola?” tanyanya.
“Ah, tentu saja tidak sehebat papamu,” ujarku.
“O, Bunga tidak peduli siapa di antara kalian yang lebih hebat, papa atau kamu. Bunga ingin mendengarnya….”
Aku pun bangkit. Mengambil biola itu. Membuka tasnya dengan hati-hati. Ah, sebuah biola yang indah, kagumku. Entah kapan aku bisa memiliki biola seperti ini. Dan ternyata ada juga buku-buku lagu di situ. Aku mengambil semuanya.
“Mau lagu apa? tanyaku.
“Terserah kamu.”
Kubuka halaman demi halaman buku itu. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah lagu. Ya, lagu ini, pikirku. Lagu yang telah lama kuimpikan, memainkannya untuknya. Aku pun berdiri di tepi pembaringan. Sesaat aku memandang wajahnya. Wajah yang lembut, tapi sedikit agak pucat. Gadis itu terbaring sembari memeluk guling. Lalu, kulemparkan pandangan ke luar jendela. Pada langit yang sunyi. Aku menarik napas. Merasakan keheningan. Dan kumulai dengan gesekan lembut.
When I fall in love
It will be forever
Or I'll never fall in love
In a restless world like this is....

***

“Berat, ya? Sini biar aku bantu bawa,” ujarku.
Gadis itu menggeleng.
“Tidak berat kok.” Buku-buku tebal itu erat dipeluknya. Bunga memang betul-betul kutu buku.
“Tapi, kamu kan baru sembuh?”
“Bunga bisa membawanya. Ringan begini kok. Eh, ngomong-ngomong fakultas Ekonomi kapan pindah ke Depok?”
“Ada yang bilang semester depan. Tapi aku sendiri belum tahu pasti. Memang kenapa?”
“Di sini menyenangkan, ya?”
“Ya, kampus Salemba banyak memberi kenangan manis,” ujarku sembari mengenang masa silam. “Di kampus ini pertama kali kita bertemu. Masih ingat waktu kalian baru masuk? Kalian disuruh minta tanda tangan senior-senior….”
“Tapi, kamu dulu kok galak, sih?” Matanya mendelik. “Minta tanda tangan saja suruh Bunga nyanyi.”
Ha, ha! Aku tertawa.
“Ya, aku dengar informasi kamu itu pintar nyanyi. Rugi kan kesempatan itu tidak digunakan.”
Kami tiba di halte. Aku membeli koran terbitan sore, sekaligus membuka-buka majalah yang memuat kumpulan cerpen.
“Ada cerpen kamu dimuat?”
Aku menggeleng.
“Aku sudah lama tidak menulis. Nanti kalau nulis lagi aku pakai nama kamu. Boleh ya?”
Dia tertunduk sesaat. Lalu memandangku.
“Seperti kata teman-teman, Bunga pun diam-diam sebenarnya setuju dengan pendapat mereka tentang maksud kamu nulis-nulis nama Bunga. Namun, Bunga tidak yakin betul kalau belum dengar sendiri dari kamu. Ah, jangan-jangan pendapat kami keliru. Ya, jujurlah sekarang, kenapa kamu selalu memakai nama Bunga kalau menulis cerita?”
Seketika aku gelisah. Ya, kenapa namanya? Kenapa Bunga, bukan Miranda, Theresa, atau Lily? Dia menanti jawabku. Apa yang harus kukatakan? Aku terdiam. Telah lama, ya telah lama dia menantikannya. Aku yakin, pasti teman-temannya, ah atau siapapun yang pernah membaca cerita-ceritaku, akan berkata pada Bunga bahwa aku punya maksud tertentu pada gadis itu. Lebih jelas lagi, aku naksir dia. Aku jatuh cinta padanya! Lalu, inikah saatnya aku harus berterus terang? Namun, ah, kenapa mulut ini terbungkam? Apa yang salah padaku? Kenapa aku tidak seperti Ucok Sinaga yang begitu fasih lidahnya dalam hal mengucapkan perasaannya?
Bus yang akan membawanya pulang sudah nampak di kejauhan, membuat hatiku semakin resah. Akan kubiarkan sajakah kesempatan ini berlalu lagi bersama angin? Ya, bukankah masih ada hari lain, pada saat hatiku tenang? Namun, sampai kapan, sampai kapan lagi aku menunda untuk mengatakannya? Ah, kubiarkan sajakah dia terus bertanya-tanya tanpa jawaban yang pasti?
Akhirnya, kuberanikan memandang gadis itu. Kurasakan dadaku berdebar tak menentu. Tuhan, sekali lagi tolonglah aku, luluskan permohonanku yang suci ini!
“Bunga,” ujarku perlahan dengan mulut yang rasanya sulit sekali digerakkan. Lalu, aku menunduk. “Sebenarnya….” Lanjutku terpatah-patah. “Aku sering menulis nama kamu, ngg… karena aku ada perhatian pada kamu. Ya, karena aku sayang kamu….”
Deg! Jantugku lepas rasanya. Bebanku yang berat itu lenyap entah ke mana. Kakiku serasa tidak menginjak bumi. Sulit mempercayai diriku, tentang apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa tidak bilang dari dulu?” samar kudengar suaranya. Membuat perasaanku melayang-layang. Ah, adakah kata-kata yang lebih indah lagi dari itu? Kucoba memandangnya. Gadis itu cepat tertunduk. Namun, tanpa kuduga sama sekali lenganku dicubitnya kuat-kuat. “Dasar cowok yang ngga punya perasaan!” ketusnya.
Aku meringis.
“Yuk, daaah!” salamnya dengan wajah ceria. Bus yang hanya sebentar saja berhenti itu segera membawanya. Aku tidak sempat membalas lambaiannya. Duh, cubitannya masih terasa pedih sekali. Namun, aku bahagia. O, bahagianya! Dan, aku pun berlari, berlari kencang bagai kesurupan. Aku menuju rumah. Mendapati Ucok Sinaga yang asyik dengan tidur siangnya. Kubangunkan si metal yang lagi mendengkur itu dengan mengacak-acak rambutnya. Aku tidak akan peduli dengan caci makinya. Dia harus kusadarkan, dia harus tahu sekarang juga bahwa aku telah mengatakan, aku sayang Bunga. (Terima kasih buat Dewala Putri Sembiring yang telah membantuku untuk menemukan kembali cerpen ini).

Sabtu, 25 Desember 2010

Puisi

rindu 1

ke mana dia?
telah lama aku mencarinya
berdiri lagi aku di tepi jendela
memandang rembulan
kalaulah senyumnya ada di sana
esoknya turun aku ke taman kota
coba kutanya pada mawar, melati, dan seruni
mereka membisu
ya, dia memang pernah bilang,
“aku mau terbang seperti kupu-kupu”
ah, adakah seseorang telah membawanya
ke suatu taman di seberang pelangi
di mana mereka bertukar janji?




rindu 2

kalau kamu sedang rindu
dan malu mengatakannya
karena kamu belia
meninggalkan rumah demi impian
katakan saja pada pianomu
lantunkan serenade menjelang tidur
atau katakan pada buku harianmu
tulis saja namanya sembunyi-sembunyi
atau katakana pada bantalmu
bisikkan namanya



rindu 3

kalau kamu lagi gundah
karena kekasih dan impian
jangan berdiam saja di kamarmu
keluarlah!
pernahkah kamu dengar tentang pangeran yang sendiri dan sunyi?
rembulan akan bercerita untukmu
tentang kerinduannya

Kabanjahe, 9 Oktober 2009


  
rindu 4

gerimis turun menjelang senja
kulihat kotaku cantik sekali
berdandan dengan guguran bunga
aku mau pergi ke balik bukit itu
ke suatu taman di seberang pelangi
tapi langkahku terhenti
pada jalan setapak di dekat hutan pinus
karena terciumku semilir angin seharum pipimu


Kabanjahe, 16 Oktober 2009



rindu 5

rinduku pada tanah leluhur
pada jejak-jejak langkah kita
di jalan setapak di kaki gundaling
pada harum kenanga di rambutmu
pada suaramu
pada kata-katamu
pergi aku ke bukit sunyi
karena aku mau bercakap-cakap
dengan rembulan
aku mau bilang, aku rindu padamu

Kabanjahe, 25 September 2009

Minggu, 19 Desember 2010

Tuan Tanah dan Tuan Otak

Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 20 Maret 2004.


Ludwig van Beethoven (1770-1827)

Ada satu kisah menarik dari surat-menyurat antara komponis besar, Ludwig van Beethoven (1770-1827) dengan saudara laki-lakinya. Setiap mengakhiri suratnya, saudaranya yang kaya itu membubuhkan tanda tangan lengkap dengan menyebut statusnya sebagai "Tuan Tanah". Mungkin maksudnya untuk mengeritik pilihan hidup Beethoven yang membuatnya tetap miskin hingga akhir hayatnya.
Namun, kemiskinan  tidak membuat Beethoven minder. Di dalam suratnya, Beethoven malah menasehati: “Baik-baiklah mendidik anak kalian, karena yang dapat membuat seseorang sungguh-sungguh bahagia adalah kepribadiannya, bukan uang….!” Dan ketika musikus tersohor yang sering gonta-ganti rumah kontrakan itu mengakhiri tulisannya, tak lupa pula membubuhkan tanda tangan, dan menyebut dirinya sebagai “Tuan Otak”.
            Karena saudaranya mengandalkan dirinya sebagai Tuan Tanah, kita jadi tidak begitu mengenalnya. Sebab, sejarah memang tidak pernah mencatat sesuatu yang penting, kecuali surat-menyurat itu. Kalaupun sejarah pernah menyinggungnya, tentu saja karena  ia punya hubungan dekat dengan nama besar Beethoven.
Tony Buzan, pengarang Head First, bukan hanya menulis satu paragraf kecil kisah itu di halaman terakhir bukunya tanpa  menyebut nama saudaranya. Ketika dia berlalu, kita tidak perlu tahu. Dia dan kekayaannya menghilang bersama rumput kering abad kesembilan belas.
Namun, tidak demikian Beethoven. Nama dan karya-karyanya harum abadi. Hati siapa yang  tak   tersentuh mendengar alunan Moonlight Sonata di   tengah   malam  yang senyap? Dan apakah kita pernah mengamati, tukang es keliling, masuk gang ke luar gang, dari satu kampung ke kampung lain,  menjajakan dagangannya sembari “memainkan” Fur Elise?
            Jane Stuart Smith dan Betty Carlson dalam buku The Gift of Music:  Great Composers and Their Influence menulis, “Beethoven merupakan salah seorang pemikir teragung dalam dunia musik. Sejak dini ia telah menjauhkan diri dari kesembronoan. Rasa ingin tahunya besar, dan ia terus belajar sepanjang hidupnya”. Bahkan, ketika pendengarannya terganggu (tuli), ia tidak menyerah. Ia justru berjuang keras untuk meningkatkan kinerja otaknya. Ia bukan saja menjadi Tuan Otak, melainkan juga adalah seorang manusia berintegritas tinggi. Simfoni-simfoni agungnya lahir pada masa-masa sulit dalam hidupnya.
            Henry David Thoreau (1817-1864) menyatakan, sesungguhnya tidak ada fakta yang lebih membesarkan hati selain kemampuan manusia yang tidak diragukan untuk dapat meningkatkan kehidupan melalui upaya yang disadarinya. Kita bisa menyaksikan, bangsa-bangsa maju terus berusaha meningkatkan kemampuannya untuk menghasilkan hal-hal menakjubkan. Setelah tiba di bulan untuk kali pertama  pada 1969, dan sukses mengirim robot Spirit yang “cerdas” ke Mars, AS berencana akan mengirimkan orangnya ke sana. Eropa dan Jepang juga tidak ketinggalan untuk menjajaki kemungkinan manusia bisa tinggal di planet merah itu. Perlu dicatat, China telah berhasil pula mengirimkan orang pertamanya ke ruang angkasa.  “Lompatan terbesar umat manusia pada gelombang keempat adalah era luar angkasa. Ini benar-benar revolusi maha besar”, ujar Alfin Toffler (Tempo, 15-21 Desember 2003).
            Futurolog terkenal itu memerkirakan, gelombang keempat terjadi sekitar 50 tahun lagi. Ia membayangkan, pada saat itu manusia ingin bermukim di bulan atau planet lain.  
            Lalu, bagaimana kita menghadapi masa depan? Kalau kita pernah bangga dengan visi Indonesia, mungkin ketika kita punya sejumlah Repelita (rencana pembangunan lima tahun) pada zaman Soeharto. Waktu itu, para pemimpin kia pastilah berjuang keras untuk menyusun visi dan misi bangsa ini. Kalau terwujud, Indonesia menjadi negeri industri. Kita akan sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya. Apalagi setelah Profesor BJ Habibie pulang membawa ilmu dari Jerman. “Kita akan melakukannya dengan lompatan teknologi,” ujarnya optimis. Dan rakyat bertepuk tangan ketika menyaksikan pesawat terbang canggih buatan anak bangsa mengudara. Dasar otak jenius, kata ibu-ibu waktu itu.
            Namun, visi indah itu tidak pernah terwujud. Kesalahan utama kita tentu saja bukan karena otak kita yang salah, melainkan karena nihilnya integritas. Visi tanpa integritas adalah bohong belaka.
Kita bisa  belajar dari runtuhnya kerajaan terkuat, Romawi, yang pernah ada di bumi ini. Sejarah mencatat hingga abad kedua Masehi, orang-orang kaya Romawi hidup bersenang-senang, tidak ada yang merangsang kerja keras, tidak ada semangat untuk mengukir sejarah gemilang seperti ketika menaklukkan Eropa, Timur Tengah, dan sebagian Afrika Utara. Prajurit-prajurit yang biasanya memilih seorang jenderal cemerlang sebagai kaisar, digantikan orang setengah barbar yang tidak punya kepedulian terhadap kebudayaaan. Pejabat-pejabat Romawi sangat melecehkan pendidikan. Rakyat dibuat menjadi sapi perahan. Kerajaan Romawi, suatu saat menjadi stagnan, akhirnya runtuh, bukan karena serangan hebat dari luar, melainkan karena tidak becus mengurus negerinya (Bertrand Russel, History of Western Philoshopy).
            Banyak orang skeptis, perjalanan bangsa kita akan terhenti karena  sudah habis dijarah. Sejumlah pengamat mengatakan, negeri kita berada di ambang keruntuhan (state failure). Tentu saja, kita tidak ingin mimpi buruk itu terjadi. Oleh karena itu,  kita harus bersungguh-sungguh berjuang untuk meningkatkan kemampuan otak kita, membangun karakter yang baik, dan bekerja keras.