Kamis, 10 Maret 2011

Iklan IN LOVING MEMORY= Okultisme?

Catatan: Artikel ini dimuat di majalah Maranatha edisi Oktober 2008


            Tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting dari Batam bertajuk Koreksi Iklan dan Tulisan di Maranatha edisi September 2008 patut kita tanggapi. Dia mengatakan, iklan-iklan yang mengenang kepergian keluarga kita ke rumah Bapa di sorga seperti sering dimuat di Maranatha merupakan bentuk okultisme. Dia mengutip salah satu iklan yang pernah dimuat, “Sudah dua tahun bapa kami yang tercinta menuju rumah Bapa di sorga, dan kerinduan kami dan kenangan yang bapa tinggalkan, tidak pernah terlupakan oleh kami, sewaktu engkau memimpin kami menuju kepada cita-cita kami….”
            Tentang iklan-iklan semacam itu, Pertua Arnol Raymon Ginting menasihati kita, khususnya jemaat GBKP, “Penting sekali untuk disampaikan agar kita jangan terjerat pada tipu muslihat iblis.” Dan kepada redaksi Maranatha dianjurkan agar menjadi pendidik iman bagi warga GBKP, dan lebih selektif menerima iklan-iklan.
            Kenapa pembaca dan redaksi Maranatha memuat iklan-iklan semacam itu? “Dan secara iman, saya mau katakan bahwa dasar kekristenan kita masih dangkal,” tulis Pertua Arnol Raymon Ginting. Ditambahkannya, “Gereja kita memang adalah gereja suku, yang notabene segala tindak lanjut kita hanya kita orang Karo saja yang tahu. Tapi sekali lagi, saya mau katakan bahwa GBKP adalah gereja Tuhan untuk semua suku dan bangsa, dan ini adalah aset Tuhan yang perlu untuk dilindungi. Jadi bila ada gereja lain (bukan GBKP) mengatakan kita mengadopsi okultisme, kita sepertinya marah besar, dan sebenarnya kita dihargai adalah karena perbuatan dan pemahaman kita sendiri. Bagaimana kita bisa menyatakan salah kepada orang lain padahal kita sendiri belum hidup dalam kebenaran?”
            Dua pertanyaan saya terhadap tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting adalah pertama, benarkah karena GBKP sebagai gereja suku sehingga tanpa sadar banyak jemaatnya memuat iklan yang dikatakan sebagai bentuk okultisme? Kedua, apakah iklan-iklan itu merupakan bentuk okultisme?
            Baiklah, saya jawab sendiri kedua pertanyaan di atas. Pertama, sudah jelas bahwa bukan hanya GBKP yang membuat iklan kenangan terhadap sesorang yang telah menghadap kepada Tuhan. Dalam bahasa Inggris ditulis: In Loving Memory. Dari sini saja kita bisa menyimpulkan, tradisi mengenang kepergian seseorang (atau lebih) yang telah mendahului kita menghadap Tuhan, bukan dari GBKP. Mungkin saja dari barat (Eropa dan Amerika). Justru kita yang ikut-ikutan. Coba saja kita simak pada harian SIB terbitan Medan. Pada pekan pertama September 2008 saja, saya sudah melihat dua iklan kenangan seperti yang termuat di Maranatha. Dan keduanya bukan jemaat GBKP. Jadi, kalau dikatakan karena GBKP sebagai gereja suku sehingga banyak jemaatnya tanpa sadar memuat iklan yang dikatakan sebagai bentuk okultisme, sesungguhnya tidak tepat.
            Kedua, iklan-iklan In Loving Memory (Ibas Ingeten dalam bahasa Karo) yang banyak kita lihat di berbagai media massa, apakah itu sebenarnya merupakan bentuk okultisme? Pt Arnol Raymon Ginting menulis bahwa okultisme, yaitu berbicara kepada orang yang sudah mati walaupun hanya melalui tulisan.
            Terus terang, saya suka sekali berbicara sendiri kepada alam semesta beserta isinya yang indah ciptaan Allah, Bapa kita. Ketika melihat bunga-bunga di taman, saya suka memuji keindahannya. Terkadang saya menulis keindahan itu dengan menulis beberapa puisi. Tentu saja, saya tidak sendiri. Ketika melihat purnama di langit, isteri saya suka bernyanyi, “O bulan indah cahayamu dalam malam yang gelap. Melihatmu lupa aku akan dukaku….  Apakah ini termasuk okultisme, berbicara kepada benda-benda tak bernyawa? 
Oh ya, pada saat membaca tulisan tentang iklan di Maranatha terlihat oleh saya buku harian yang sudah berumur sebelas tahun. Saya membuka lembaran-lembarannya, dan di satu halamannya, saya membaca tulisan saya sendiri, “Jumat, 22 Agustus 1997. Bapak meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya…. Aku lihat tubuh bapak dibaringkan di tanah (Bapak saya seorang muslim dan haji). Lalu, ditutup dengan tanah. Ya, bapak telah tiada. Bapak sudah bersatu dengan tanah. Selamat jalan, bapak! Aku takkan pernah melupakan Bapak. Apakah bapak tahu, hatiku begitu sepi….”
            Sepuluh tahun setelah kepergian bapak, dan untuk mengenang kebaikannya, saya atas nama keluarga menulis kata-kata ini di Maranatha edisi September 2007: “Tiada terasa betapa cepat waktu berlalu. Meskipun bapak telah lama pergi, kami tetap mengenang kasihmu.”  Apakah itu bentuk okultisme? Apakah saya termasuk orang Kristen yang telah terjerat tipu muslihat iblis dengan iklan itu? Ketika menulis kata-kata itu, saya seperti menulis puisi, tanpa pernah membayangkan bapak akan membacanya dari alam sana, sehingga dia bangga dan terhibur melihat anak-anaknya yang selalu mengenangnya. Terus terang, saya adalah orang yang paling menantang okultisme. Ketika bapak masih hidup, dia seperti umumnya kaum muslim suka sekali berjiarah ke kuburan. Pernah dia menasihati saya agar rajin berjiarah ke kuburan ibu saya agar sehat-sehat dan tercapai cita-cita. Dan dengan kalem saya berkata, “Saya meminta dan menerima semua itu hanya dari Tuhan.” Waktu itu, saya lihat bapak agak berkecil hati.
            Saya kutip saja satu artikel oleh Tikwan Raya Siregar bertajuk Inside Tan Malaka yang dimuat dalam majalah pariwisata Inside Sumatera edisi Agustus 2008: “Engku, entahlah kau komunis atau nasionalis, tapi kami tahu bahwa kau bukan seorang opurtunis, kutu loncat, dan pemakan daging-keringat rakyat sendiri. Itu saja sudah cukup bagi kami untuk memahami garis perjuangan yang kau pilih…. Dan aku mengingatnya sendirian bersama dua cangkir kopi di sebuah lobby yang ramai, yang satunya seharusnya kau (maksudnya Tan Malaka- penulis) yang minum. Sebagai imbalan kecil atas pujianmu pada kota Medan yang kami cintai ini.” Tulisan ini mengingatkan saya pada sajak terkenal Antara Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar yang mengenang pahlawan-pahlawan tanpa nama yang berguguran pada masa perjuangan kemerdekaan.
            Ya, ketika kita mengenang pahlawan-pahlawan kemerdekaan, apakah tiada yang terucap dalam hati? Sebagai orang Kristen, apakah tidak boleh mengungkapkan kekaguman kepada pahlawan-pahlawan yang telah gugur dalam bentuk syair dan puisi, lalu mengirimkannya ke Maranatha? Ya, boleh saja. Karena, iman saya masih dangkal. Itu adalah okultisme. Begitukah?
            Ketika saya membaca tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting, saya hanya berpikir, tulisan itu tidak lebih dari nasihat yang paralel dengan pesan pengkhotbah-pengkhotbah paling bersemangat yang banyak bermunculan akhir-akhir ini: Jangan mengikuti adat! Itu adalah okultisme; Jangan sembarang makan di desa-desa! Banyak begu ganjangnya; Waspadalah dengan lukisan-lukisan dari Bali! Banyak roh jahatnya. Harus dibakar di dalam nama Tuhan Yesus (Pesan saya, kalau punya lukisan Bali, jangan dibakar. Kirim saja buat saya. Dijamin seribu persen, setannya akan lari begitu melihat saya); Jangan suka merokok (saya tidak merokok), karena tubuhmu adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19)! Merokok itu merusak bait Roh Kudus! (Lalu, bagaimana dengan Pendeta dan Pt/Dk yang suka merokok bahkan pada saat sidang runggun? Apakah mereka ini termasuk orang-orang yang sedang merusak bait Roh Kudus?), dsb-dsb!
            Pada akhirnya, saya kutip saja defenisi okultisme dari kamus Webster’s New World Dictionary, yakni percaya kepada kuasa gaib. Dengan demikian, ketika kita berkirim iklan kenangan ke Maranatha atau menulis syair untuk mengenang pahlawan-pahlawan kita, tentu saja bukan termasuk bentuk okultisme karena sebagai orang Kristen, kita tidak pernah berharap akan ada kuasa gaib, misalnya, roh orang tua kita yang sudah meninggal akan melindungi kita dari marabahaya. 

5 komentar:

  1. Bahasan dan alasan yg cukup kuat bg.. saya sangat setuju dgn anda... terkadang duduk dan berpikir untuk mengartikan sesuatu itu lebih baik dari pada kita langsung menhakimi org lain....
    semoga pertua yg mengatakan iklan tsb okultisme sadar dan mengerti arti okultisme itu yg sebenarnya,...
    Salam..
    Yesus memberkati.... :)

    BalasHapus
  2. Saya sependapat, itu memang bukan okultisme. Cuma pandangan sy agak melenceng dari inti persoalan. Sy melihat iklan itu justru sebagai Narsis, "meganjang ukur", "jile-jile". Tak salah memang, tp kalau isi maranatha sudah didominasi In Loving Memory dgn halaman lux, bukankah lebih baik kita terbitkan lagi satu majalah, "RIP" mungkin namanya sehingga pandangan negatif spt okultisme td bs diminimalkan? Kalau kita mau jujur benarkah memang itu kita iklankan karena kerinduan kita akan yg tlh pergi, ataukah kerinduan kita agar orang lain bisa melihat siapa kita, dalam artian perlukah kita "pembarken" rasa kita itu? Tp bila mmg kepergian org yg kita cintai itu msh baru terjadi mungkin msh bisa diterima. Smua baik bila memang demikaian adanya, tapi kalau ada apa2nya itu yg perlu kita renungkan bersama. Syalom Pt.

    BalasHapus
  3. @Sakaria Sebayang: setuju jg dengan pendapat kam, tapi menurutku tergantung "motivasi" dibuatnya iklan itu. Bisa karena kerinduan, bisa kampanye terselubung, bisa agar orang2 lain tahu, bisa macam2lah....hehe! Trims atas komenndu, ya! Tuhan si masu2!

    BalasHapus
  4. @Nels: sudah saling komen kita di fb ya. Trims atas perhatianndu! Gbu!

    BalasHapus
  5. Saya setuju dengan Uncle..
    mau nambahi, okultisme yang sebenarnya kita perlu khawatirkan adalah tendensi anak-anak muda yang suka bermain2 dengan astrologi, tarot, dan kawan-kawannya, juga apapun yang kita agungkan diatas Tuhan. Oh satu lagi, pemberontakan adalah sihir (aku lupa ayatnya). Tanpa kita sadari banyak pemberontakan dilakukan generasi kita, ternyata itu juga bagian okultisme.. okultisme terselubung,

    BalasHapus