Senin, 03 Januari 2011

Ngamen

Catatan: Cerpen ini dimuat di harian Suara Pembaruan, 4 Juni 1989.


            Aku bertemu lagi dengan Yohanes di lorong kampus  ketika sedang berjalan menuju perpustakaan. Wajahnya keruh, mengesankan keletihan. Mungkin dia baru selesai memimpin rapat persekutuan kampus. Atau, belum makan? Diam-diam aku mengamatinya.
“Kok balik lagi?” tanyanya. Kurasakan suaranya lesu.
“Mau pinjam buku,” ujarku. “Bagaimana, ada income baru?”
Dia tersenyum kecil.
“Yah, masih seperti tadi,” suaranya datar. “Kamu bagaimana, sudah makan?”
Aku mengangguk.
“Kapan?”
“Baru saja.”
“Hebat. Makan di mana?”
Kalau dalam keadaan normal, aku akan tertawa mendengarnya. Makan saja dibilang hebat.
“Di mana lagi kalau bukan di warteg. Kamu?”
Dia menggeleng. Benar dugaanku tadi. Dia lesu karena belum makan.
“Uangmu ada?” tanyaku.
“Ada.”
“He, rupanya ada income baru. Kamu pinjam dari siapa?”
“Aku tidak pinjam. Pokoknya uangku ada. Coba tebak berapa?”
Dia tersenyum. Seketika semangatku lenyap. Melihat tampangnya, aku yakin paling banter limaratus perak.
“Lima ratus,” tebakku.
Ha, ha! Dia tertawa.
“Salah. Cuma sepersepuluhnya.”
“Lima puluh perak?”
Dia tertawa lagi. Aku mengajaknya duduk-duduk di kaki lima perpustakaan. Suasana kampus sudah sepi.
“Siang tadi kamu sudah makan, kan?” tanyaku.
“Pagi tadi sudah,” jawabnya.
“Baru pagi tadi…?” Aku terkejut, tak percaya pada pengakuannya. Dia membisu. Baru pagi tadi makan, aku merenung. Dan malam ini dia makan apa, kalau uangnya cuma lima puluh perak?
Aku melemparkan pandangan jauh-jauh ke langit yang sunyi. Beginilah hidup di dunia, bisikku. Kuingat kisah Yose Rizal, pahlawan Filipina yang katanya pernah mengalami kelaparan semasa mahasiswa di perantauan. Lalu, bencana kelaparan di Afrika. Kesulitan kami ini masih kecil, tegasku pada diri sendiri. Ingatlah, masih banyak sekali orang yang kelaparan di dunia ini.
Kubuka dompetku. Mengambil selembar uang lima ratusan milikku yang begitu berharga. Sudah nasib uang ini barangkali buat Yohanes. Ya, baru saja aku mau membeli sebuah buku tulis untuk meringkas bahan kuliah, tapi aku ragu, dan akhirnya tidak jadi, sebab kalau kubeli, besok makan apa?
“Ini pakai buat kamu,” sodorku.
“Kamu punya uang? Pinjam dari siapa?” herannya seperti tidak pernah saja aku punya uang segitu.
“Seno Wibowo. Sewaktu pulang tadi aku singgah ke ruang senat. Kupinjam uangnya seribu.”
“Buat kamu sendiri nanti apa?”
“Ambil sajalah. Jual mahal lagi kamu.”
“Aku serius.”
“Uangku masih ada duaratus limapuluh.”
“Cukup itu?”
“Aku kan sudah makan. Masalah besok, ya besok lagi. Whatever will be, will be! Kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Yang utama, perutmu itu diisi dulu. Apa kamu tidak takut mati kelaparan?”
Dia tertawa. “Ini seharga nyawa,” ujarnya.
“Tapi, sini uangmu yang lima puluh perak itu!” todongku. “Lumayan buat beli shampo.”
Dia tertawa lagi. Aku kagum melihatnya. Dalam keadaannya seperti itu, dia masih bisa tertawa.
“Mudah-mudahan besok kirimanku datang,” ujarku.
“Ya, kita doakan saja.”
“Tapi kalau belum, kita pinjam uang siapa lagi?” tanyaku sambil merenung. “Ah, kalaupun ada, sungkan rasanya minjam terus. Atau, kita berusaha dengan cara lainlah.  Kerja apa kek begitu. Kalau tidak, ngamen….”
Pagi-pagi keesokan harinya aku menelepon bank, tapi kirimanku dari Medan belum datang. Aku disuruh agar siang nanti menghubungi bank lagi. Sebenarnya memang belum, tapi bapak sering mengirim uang lebih cepat walau tanggal akhir bulan belum habis. Karena keuangan kami benar-benar kering, akhirnya kuajak Yohanes ngamen di bus.
“Ngamen….” cengangnya. Rupanya dia menganggap ideku kemarin sekadar basa-basi. Aku serius mengajaknya.
“Kalau tidak, kamu nanti makan apa?” desakku. “Tidak usah gengsi atau malu. Kalau itu membuatmu enggan, aku kira kamu keliru. Kita mahasiswa, malu apa? Apa ngamen itu dosa? Kita ngamen karena kita butuh makan. Dengan perut kelaparan kita sulit belajar. Kepala berdenyut, tangan berkeringat dingin, lemas, lesu. Aku sendiri, untuk apaku ngamen kalau punya uang? Kita terpaksa!”
Ini semua memang karena Yohanes juga. Kami tidak akan putus uang kalau dia bertindak sedikit lebih bijaksana. Beberapa hari yang lalu dia nekat menghabiskan uangnya dengan memfotocopi bahan lokakarya untuk keperluan persekutuan kampus. Lalu dia meminjam uangku untuk makannya. Padahal aku sendiri nyaris bokek sebab sebelumnya uangku dipinjam teman, dan belum dibayarnya sampai saat ini. Menurutku, adalah lebih ringan meminjam uang waktu itu dari teman lain untuk keperluan persekutuan daripada nantinya meminjam uang untuk keperluan makan.
“Ayolah, kamu cuma menemaniku. Biar aku yang bernyanyi….”
Kami naik bus dari halte Salemba, persis di depan kampus. Sebelumnya aku selalu mengingatkan Yohanes agar menegarkan hati pada saat-saat seperti ini. Aku maklum, dia agak pemalu.
“Selamat pagi, saudara-saudara!” aku memberi salam kepada para penumpang. “Kami akan bernyanyi…” suaraku terputus dan tiba-tiba terasa kelu, sulit membuka suara. Itu Lestari, bisikku. Seketika dia tertunduk begitu pandangan kami bertubrukan. Namun, segera kukuasai diriku. Aku anggap ini pementasan biasa saja, sebagaimana aku biasa membaca puisi dan bernyanyi di Balai Mahasiswa, di taman Ekonomi….
“Kiranya lagu-lagu kami membuat saudara senang di perjalanan….”
Kupetik gitar dan bernyanyi. Aku sangat senang karena ternyata Yohanes mau dan tanpa malu-malu lagi mengimbangi suaraku. Di Kampung Melayu kami turun. Lestari terus ke arah Cililitan.
Dia tadi tertunduk terus,” ujar Yohanes.
“Ya, tapi kamu tadi mengutip uangnya?” tanyaku.
“Dia juga penumpang. Kenapa tidak?”
Seketika aku tertawa terbahak-bahak.
“Aku terpengaruh oleh gayamu. Kulihat kamu begitu tenang, sedang pacarmu ada di situ. Akhirnya, aku nekat nyanyi. Aku sekarang bahkan senang, punya pengalaman yang tidak mungkin kulupakan: pernah kelaparan, lalu ngamen buat makan. Dan bisa kelak diceritakan kepada anak cucu….”
Siangnya kuhubungi lagi bank. Ternyata kirimanku sudah datang. Setelah mengambilnya, aku mencari Yohanes ke kampus.
“Lestari ada di perpustakaan,” lapornya.
“Tadi sudah pulang, kan?”
Dia mengangkat kedua bahunya.
“Kalian sudah bicara?” tanyaku lagi.
“Belum. Aku melihatnya, tapi sepertinya dia tidak melihatku.”
Aku segera ke perpustakaan. Lestari ada di lantai 3, belajar dekat jendela.
“Halo!” sapaku. “Sedang apa?”
Dia menoleh. “Belajar. Sabtu ada ulangan.”
Bukankah dia tadi sudah pulang? Ingin kutanyakan, tapi aku ragu. Aku terbayang waktu ngamen tadi, dia tertunduk terus. Malu? Tiba-tiba, kurasakan suasana jadi kaku.
“Ulangan apa?” tanyaku lagi.
“Ekonomi Makro.”
Membisu lagi. Aku bertanya-tanya, apakah dia merasa malu begitu memergokiku ngamen di bus? Ah, semestinya aku tidak usah merisaukannya, bisikku. Kalau dia malu, biarkan saja. Ya, aku tidak ada alasan bersikap kaku padanya. Kami putus uang. Toh, kami butuh makan. Bodoh benar bersikap kaku.
“Lestari, bagus nggak kami tadi nyanyi di bus?”
Dia tidak menoleh. Aku sabar menunggunya, tapi dia tetap membisu. Kutarik kursi. Duduk di sampingnya. Membuka kotak pinsilnya, dan menutupnya lagi.
“Kamu malu aku ngamen di bus?” tanyaku akhirnya.
Masih tidak ada jawaban. Dia seperti tekun membaca. Tapi aku yakin, pasti pura-pura.
“Hai, kok diam saja?” desakku.
“Kenapa malu? Tapi kamu… kenapa kamu ngamen?”
“Sekadar latihan mental,” jawabku seadanya.
Tiba-tiba dia tertawa. O, alangkah senang hatiku.
“Dasar seniman,” ujarnya.
“Saya mau meneraktir kamu. Yuk, mau?” ajakku.
“Banyak dapat uang?” tanyanya.
Kali ini, aku yang tertawa.  Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam hidupku.


Sabtu, 01 Januari 2011

Perjalanan Kali Ini

Catatan: Cerpen ini dimuat di Suara Pembaruan, 20 September 1987.


Sudah menjadi kebiasaan saya bepergian kalau ada angka merah di kalender. Pergi ke mana saja. Ke Bandung, Solo, Surabaya… ya, ke mana saya suka. Maka, tidak usah heran, bila liburan panjang tiba, saya sudah berada di luar pulau di mana saya tinggal sekarang.
Saya tidak tahu pasti kapan mulai menyenangi petualangan ini. Barangkali waktu saya mulai duduk di bangku kelas 2 SD. Pernah waktu itu saya pergi sendiri ke luar kota yang jaraknya 65 km dari Medan. Gilanya, saya pergi tanpa pamit pada tante, adik mama yang paling muda yang selama ini sangat kasih pada saya. Juga saya pergi tanpa ongkos. Cuma sedikit uang saku buat jajan di jalan. Di bus saya berdiri di depan ibu-ibu. Saya berspekulasi. Kondektur bus pasti menyangka saya ini anak salah satu dari ibu-ibu yang menjadi penumpang itu. Pikir saya, kalaupun ketahuan, paling diomeli. Saya merasa begitu aman di perjalanan.  Sedikit pun orang-orang tak curiga pada saya.
Pulangnya saya ulangi lagi perbuatan seperti itu. Dan… tetap aman. Hmm.
            Maka, tibalah saya di rumah. Pasti mudah menebak apa yang akan terjadi pada saya. Ya, benar! Tante mengomeli saya habis-habisan. Tidak itu saja. Paha saya pun membiru kemerah-merahan. Namun, saya tidak menyesal atas pengakuan saya pergi ke luar kota. Bukan tidak mudah saya membohongi tante. Bilang saja, tadi saya pergi dengan papa. Sebab, bukankah papa belakangan ini selalu misterius kedatangannya maupun kepergiannya dari rumah? Ah, tapi saya tidak berani berbohong pada tante. Habisnya, tante begitu baik pada saya. Selalu, tiap malam menjelang tidur, tante mengusap-usap rambut saya, sambil bercerita tentang Tuhan Yesus. Kata tante, Tuhan Yesus baik. Tapi, Tuhan Yesus tidak suka pada anak-anak yang suka berbohong. Kalau saya suka berbohong, kata tante, Tuhan Yesus tidak mau menjaga mama. Dan saat-saat begitu tak jarang saya lihat matanya berkaca-kaca. Dulu saya tak mengerti kenapa tante suka begitu. Tante… ah, kalaupun dia marah, pasti karena dia sayang pada saya. Supaya saya jangan nakal.
Mama? Oi, jangan tanya! Saya cuma kenal wajahnya dari foto-fotonya. Kata tante, mama sudah lama pergi ke surga, waktu saya berusia tiga tahun. Mungkin karena mama sudah pergi itulah, maka papa jadi suka misterius. Kata tante, mama juga pernah berpesan, kalau nanti sudah sekolah saya jangan suka berbohong.
            Begitulah saya dulu.
            Sekarang saya sudah gede. Tentu kalau pergi keluyuran, tidak usah bilang tante lagi, sebab saya sudah bisa menjaga diri sendiri. Dan sekarang sudah banyak daerah yang saya kunjungi. Bayangkan, selalu setiap liburan saya pergunakan untuk bepergian. Dari bus memandang hamparan sawah, memandang petani-petani berjalan di sepanjang pematang, dan memandang bukit-bukit biru, ah, saat-saat yang selalu saya rindukan. Ada kedamaian yang sulit saya ceritakan menikmati semua itu.
            Karena kesukaan saya itu, banyak teman yang bertanya pada saya, apakah saya masih kuliah atau sudah berhenti. Sebab saya sering berkirim kartu-kartu pos dari berbagai daerah kepada mereka. Namun, tante yang di Medan tentu saja tidak saya kirimi. Saya kuatir, tante mengira saya tidak serius kuliah di Jakarta.
            “Cirebon, Mas… Cirebon!”
            Lamunan saya buyar. Teriakan kondektur mereflekkan tangan saya teracung ke atas.
            “Jakarta! Jakarta!” teriak saya.
            Bus berhenti. Saya cepat-cepat naik. Karena penumpang sedikit, saya bebas memilih bangku. Saya duduk di sebelah pinggir kiri agak ke depan. Dari situ enak sekali memandang-mandang ke luar. Kota Semarang cukup ramai.
            Di Cirebon bus berhenti. Saya turun untuk minum. Waktu menunjukkan pukul 18.40. Namun, ketika sudah selesai istirahat dan duduk-duduk sekitar 30 menit di bus, tanda-tanda untuk segera berangkat belum juga nampak. Saya mulai gelisah. Saya lihat ke arah penumpang lain. Astaga! Ternyata tinggal beberapa orang lagi.
            “Bus ini hanya sampai Cirebon,” ujar seseorang ketika saya tanya mengapa begitu lama bus berhenti. Mendengar itu, wajah saya mendadak berubah. Jam berapa lagi nanti saya tiba di Jakarta?
            “Bagaimana ini, Mas?” tanya saya gelisah pada kondektur. “Katanya tadi sampai di Jakarta.”
            “Maaf Mas, ganti bus saja, Mas,” jawabnya sekenanya tanpa berusaha mengerti perasaan saya. Tentu saja, saya jadi sangat kesal. Saya memandangnya dengan tajam.
            “Ganti bus? Heh, ngomong jangan seenaknya, ya!” bentak saya mulai menunjukkan ketidaksenangan saya. “Kalau mau menipu, jangan coba-coba sama saya!”
            “Lho, siapa yang menipu?”
            “Siapa yang menipu? Kau yang menipu! Apa kau itu tidak menipu?”
            Matanya tajam memandang saya. Dasar tidak tahu diri! Saya pun memandangnya lebih tajam. Saya turunkan tas saya ke bangku.
            “Mau apa, heh! Apa kau itu tidak menipu namanya? Bus kalian kosong, tapi seenaknya mengangkut penumpang. Lalu, di Cirebon kalian pindahkan. Rupanya kalian tidak peduli di mana kami turun dan kapan sampai di tempat tujuan. Kamu kira, saya ini orang goblok! Heh!”
            Mulut kondektur itu terkatup rapat. Barangkali merasa malu karena permainan nakal mereka terbongkar, dan banyak orang mendengarnya. Saya merasa pasti bahwa mereka sering berbuat seperti ini. Seenaknya mengangkut penumpang saat bus mereka kosong, lalu sampai di Cirebon dipindahkan. Bukankah mereka juga dapat uang, ongkos para penumpang sampai Cirebon? Daripada kosong sama sekali, bukan? Dari segi ekonomisnya, mereka memang baik, tapi kami, terutama saya pribadi, tentu sangat dirugikan. Ya, tidak sedikit bus yang langsung menuju Jakarta. Satu hal yang membuat saya naik pitam, mereka sejak tadi tidak berterus terang, padahal saya sudah begitu lama menunggu.
            Akhirnya, saya tinggalkan bus itu. Mencari bus lain. Wajah saya masih sangat sepat walau sisa ongkos saya ke Jakarta mereka yang tanggung. Ya, bagaimana saya tidak kesal? Sekarang sudah jam 20.10. Padahal menurut rencana, saya harus tiba di Jakarta tidak lebih dari jam sebelas malam, supaya ibu kos tidak ngomel-ngomel pada saya. Lewat jam segitu, jangan coba-coba mengetuk pintu kalau tidak ingin penduduk satu RT gempar oleh suaranya.
            Di terminal Pulogadung saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali kesal setengah mati. Dalam hati saya berjanji, akan melaporkan bus itu ke Kontak Pembaca di media massa. Supaya penumpang-penumpang yang akan bepergian waspada. Agar tidak terulang lagi kejadian seperti saya.
            Malam semakin larut, semakin sepi, dan semakin dingin. Mata saya sudah berkunang-kunang. Sekali lagi, saya lirik jam. Pukul 01.45. Di sebuah kursi terminal, saya merebahkan badan yang sudah sangat penat. Tas saya peluk erat-erat.  Menahan dingin….
            Sungguh, saya sudah sering tidur di alam terbuka. Namun, tidak pernah disebabkan seperti perjalanan kali ini.
            Dan saya tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.