Jumat, 19 November 2010

Bencana dalam Perspektif Alkitab

Gunung Merapi
             
Bencana demi bencana terus saja terjadi di negeri ini. Dalam kurun waktu singkat terjadi tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, dan sejumlah bencana lain di berbagai tempat yang nyaris tak jadi berita karena sudah merupakan kejadian sehari-hari. Sejumlah bencana beruntun itu telah menelan banyak korban jiwa yang membuat hati kita pilu. Lalu, sampai kapan semua bencana ini terjadi? Alih-alih berharap semua akan baik-baik saja, kita pun diingatkan agar selalu waspada dengan bencana-bencana susulan yang sulit diprediksi kedatangannya.
Sebagai umat yang percaya kepada Tuhan, kita sering menjadi bingung dan bertanya-tanya: Kenapa bencana selalu terjadi? Kenapa Tuhan seperti membiarkan malapetaka mengerikan itu menimpa kita? Apakah semua bencana itu terjadi murni karena kesalahan kita? Seperti nyanyian Ebiet G Ade dalam lagu Berita Kepada Kawan: “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...?”Namun, bukankah Tuhan itu adil, pemurah dan penyayang? Bukankah di antara banyak korban jiwa termasuk mereka yang belum berdosa seperti anak-anak, bayi-bayi...?
Menyikapi musibah demi musibah itu, kita perlu belajar dari Ayub, seorang kepala keluarga yang tinggal di Us (Timur Tengah) pada sekitar tahun 2000 SM. Ayub adalah seorang lelaki yang kaya raya, terhormat, dan beriman kepada Allah. Menurut Charles R Swindoll, pengarang biografi Ayub, kekayaan Ayub bisa disejajarkan dengan orang-orang yang terkaya di dunia seperti Bill Gates, Donald Trump, dan Ross Perot. Adapun Alkitab menulis, tidak seorang pun di bumi seperti Ayub: saleh, jujur, dan selalu berdoa kepada Tuhan. Dia pun selalu memperhatikan kehidupan keluarganya. Kalau anak-anaknya usai pesta, maka Ayub pun berdoa kepada Allah karena dia takut anak-anaknya telah berbuat dosa. Tentu saja, Allah memberkati keluarga Ayub. Namun, iblis tidak senang melihat Ayub. Iblis berkata, wajarlah Ayub menyembah Allah karena dia kaya raya, terpandang, dan diberkati. Coba kalau semua yang ada pada Ayub diambil, apakah Ayub akan masih menyembah Allah?Maka, atas seijin Allah, musibah demi musibah pun menimpa Ayub. Seorang hambanya yang luput dari maut berlari membawa kabar buruk: orang-orang Syeba menyerang tanah peternakan milik Ayub. Mereka membunuh hamba-hambanya dan merampas banyak ternak. Kemudian, datang lagi kabar mengejutkan: ada kilat mengguntur seperti api turun dari langit, menghabisi domba-domba dan semua penjaganya dalam sekejab. Tentu saja, Ayub sedih sekali. Namun, datang lagi musibah lain. Tiga pasukan orang Kasdim menyerang daerah yang ditinggali unta-unta. Mereka membunuh para penjaganya dan merampas unta-unta. Tak lama setelah peristiwa itu, datang angin puting beliung memporak-porandakan  kediaman anak Ayub. Dilaporkan, semua anak Ayub –tujuh laki-laki dan tiga perempuan– tewas ditimpa reruntuhan!

Desa Argomulyo luluh lantak akibat meletusnya Merapi
Dapatkah kita merasakan kesedihan yang menimpa Ayub? Penderitaan apa lagi yang kurang padanya? Dia yang disebut sebagai warga kota yang kaya raya, terhormat, dan taat kepada Allah, dalam waktu singkat menjadi jatuh miskin, terhina, dan sakit-sakitan. Yang paling menjijikkan adalah melihat tubuhnya yang luka-luka dan mengeluarkan bau busuk. Dulu, orang-orang ingin dekat dengannya, tapi sekarang semua menjauh. Bahkan isterinya sendiri, bukannya bersabar mendampingi sosok malang itu, malah turut menghinanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” Namun, apakah jawaban Ayub? “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:9-10). 
Sesungguhnya, Allah tidak pernah membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya ditimpa musibah tanpa makna. Ketika musibah datang, Allah seolah-olah meninggalkan kita. Kita merasa sedih, kesepian, dan tak berpengharapan. Namun, ingatlah, Allah punya rencana dalam setiap peristiwa. “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.” (Mazmur 46: 2-4).
Meskipun Ayub didera oleh musibah demi musibah, dia tetap setia kepada Allah. Ayub menegaskan, tidak akan menjual integritasnya (harga diri) atau kesetiaannya kepada Allah sampai mati. Dia sadar bahwa dia datang ke dunia ini tidak membawa apa-apa, dan sekiranya dia pergi meninggalkan dunia ini, juga tidak membawa apa-apa! Alkitab menyebut bahwa pada akhirnya Allah memulihkan kekayaan dan kehormatan Ayub. “Lalu Tuhan memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.” (Ayub 42:10). 
Perlu kita renungkan, sebagai pengikut Kristus, kita begitu berharga di hadapan Allah. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19). 
Di dunia ini kita hanya tinggal sementara. Di dunia fana ini kita menderita. Namun, percayalah, masih ada dunia lain, dunia baru yang diimpikan anak-anak Tuhan, di mana ratap dan tangis tak terdengar lagi: Kerajaan Surga! Mengingatkan kita pada kalimat Rasul Paulus yang begitu terkenal: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Dan tahukah kita, kematian Rasul Paulus bagi kebanyakan orang adalah merupakan suatu bencana yang mengerikan: menurut tradisi kepalanya dipenggal dalam pemerintahan Romawi. Bisakah kita bayangkan, musibah itu menimpa seorang yang saleh, gigih memberitakan Injil, dan selalu menyandarkan hidupnya kepada Tuhan? Sebelum musibah itu menimpa dirinya, dari sel penjara Rasul Paulus berkirim surat kepada muridnya, Timotius: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya, tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4: 6-8).  
Dalam perspektif Alkitab dengan jelas dapat kita lihat bahwa tidak ada satu pun peristiwa tanpa seijin Allah seperti musibah beruntun yang dialami oleh Ayub. Namun, satu hal yang dituntut dari kita adalah kesetiaan kepada Allah, sebagaimana Ayub dalam menghadapi bencana demi bencana yang dihadapinya. Maka, pada hari-Nya, kita juga akan tinggal bersama Bapa di sorga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar