Rabu, 29 Desember 2010

Karena Sayang Bunga

Catatan: Cerpen ini dimuat di majalah Anita Cemerlang, 20-30 Agustus 1993 edisi 449.

Sore yang teduh. Kampus telah sepi. Bunga Mewangi  di sampingku, memeluk dua buku tebal yang baru saja dipinjamnya dari perpustakaan. Tas kuliah yang juga penuh dengan buku itu tergantung di bahu kirinya. Aku memasukkan kedua telapak tangan pada saku celana. Melangkah perlahan, menyelusuri lorong kampus yang lengang.
“Kenapa sih, kalau kamu nulis cerita sering pakai nama Bunga?” tanyanya memecah keheningan. Kami melewati cemara-cemara di samping bursa mahasiswa Ekonomi yang sudah tutup. Dan sesaat aku menoleh padanya.
“Menurut kamu sendiri, kenapa?” selidikku.
Nona itu seketika menghentikan langkahnya. Menatapku sejenak.
“Bunga yang butuh jawaban dari kamu, malah balik ditanya?” nada suaranya terdengar seakan memprotes.
Hop! Kutendang sebuah kerikil. Batu kecil itu menyelinap di balik akar sebatang pohon tua yang rimbun. Kunaikkan tali tas yang melorot ke bawah.
“Kenapa, ya?” gumamku. Bimbang juga karena pertanyaannya begitu tiba-tiba. Aku mesti jawab apa? Atau terus terang bilang karena… jatuh cinta pada nona yang banyak dikejar cowok-cowok kampus ini? Olala!
“Masa tidak tahu? Kan kamu sendiri yang nulis?” suaranya kini seperti mendesak.
Kami meneruskan langkah dengan lebih lambat. Kupandang langit senja yang kemerahan. Betapa indahnya. Dan kurasakan sentuhan angin begitu lembut menerpa pori-pori kulitku. Lantas aku pun bersiul, penuh perasaan. Semoga dia mengerti maksudku.
When I fall in love
It will be forever
Or I'll never fall in love…
Ya, tentu karena aku ada perhatian pada kamu nona manis, bisikku dalam hati. Kenapa masih bertanya juga?
“Kok diam?”
Ah, aku tersadar dari lamunan.
“Apa tadi pertanyaan kamu?”
“Idih, malah melamun.”
“O, aku ingat sekarang. Tentang nama kamu itu,kan? Ya, sudah pasti karena nama kamu bagus, romantis. Lagi… enak dibaca dan perlu.”
Nona itu tertawa. Aduh, manisnya!
“Kayak iklan majalah Tempo saja. Nama Bunga kan jelek?”
“Hush! Siapa bilang?”
“Bukankah masih banyak nama yang lebih bagus? Misalnya, nama-nama teman kelompok diskusiku, Theresa, Miranda, Deasy…. Lagi, mereka pun cakep-cakep. Kok, kamu malah pilih nama Bunga? Apa kamu tidak terlalu subjektif memilih namaku?”
“Bagiku nama kamu paling bagus. Ya, kalau karena itu lantas aku dibilang terlalu subjektif, mungkin aku tidak bisa menyangkalnya. Namun, bagaimana sekiranya aku memakai nama salah seorang dari teman kamu itu, Theresa atau Miranda, misalnya. Menurut kamu, apakah aku masih terlalu subjektif? Kalau ya, lantas aku harus bagaimana? Habis, aku suka sih.”
“Ah, entahlah ya. Sulit memang mengalahkan pengarang kalau ngomong.”
Hap! Kutangkap setangkai daun kering yang melayang beberapa jengkal di atas kepala. Benda itu segera kuremas. Kami sekarang tiba di taman Ekonomi. Daun-daun berserakan di sekitarnya.
“Heh!” panggilku setengah berbisik.
Gadis itu menoleh. Menyibakkan helai-helai rambutnya yang dipermainkan angin, dan menyusunnya di belakang telinga.
“Tapi kamu suka kalau nama kamu kutulis dalam cerita-ceritaku?”
Tidak kudengar jawaban. Ah, adik kelasku itu malah tertunduk. Aku jadi sibuk dengan pikiranku sendiri. Kalau seorang cewek ditanya perihal persetujuannya, tapi dia hanya membisu, terlebih menunduk… itu pertanda setuju, bisik hatiku senang. Ya, kalau tidak salah begitu tulis buku psikologi yang pernah kubaca.
Kami tiba di gerbang kampus. Naik jembatan penyeberangan. Kami masih saling membisu. Tercekam dengan perasaan masing-masing. Dan akhirnya berpisah di ujung anak tangga paling bawah setelah saling senyum. Ah, senyumnya yang aneh. Senyum yang kuyakini khusus untukku saja. Sungguh sulit aku memahaminya. Namun, aku bahagia, bahagia sekali. Ya, nona cantik itu suka kalau namanya kutulis dalam cerita-ceritaku. Padahal selalu dia kujadikan seorang tokoh sebagai pacarku. Banyak anak kampus membacanya, dan tahu soal itu.
Semestinya aku terus melangkah, lalu membelok ke kiri menuju Salemba Tengah, rumah kosku. Namun, aku tidak segera ke sana. Kubalikkan badan. Ya, aku ingin ngomong-ngomong lagi dengannya. Caranya adalah dengan pura-pura membeli majalah di dekat halte tempat dia menanti bus yang akan membawanya ke arah Cililitan. Ide bagus ini tiba-tiba saja melintas di pikiranku. Toh, bagaimanapun juga aku sudah semakin jelas melihat sikapnya padaku. Ya, kalau dia bertanya lagi tentang namanya itu, aku tidak akan bertele-tele lagi. Aku akan berterus terang saja, karena aku sayang dia. Titik! Ya, takut apa? Toh, hanya begitu saja. Aku pun memberani-beranikan diri.
Namun, baru beberapa langkah berjalan, bus yang sedang dinantinya sudah berhenti di depannya. Bah! Aku menggerutu. Dasar bus sialan!
Kulemparkan tubuhku ke pembaringan.
“Bagaimana, sudah kau nyatakan cintamu itu kepadanya?” Ucok Sinaga muncul di pintu kamar. Rambutnya basah. Baru selesai mandi.
Aku menggeleng lemah.
“Bah, sampai kapan lagi? Keburu kiamat dunia.”
“Kau sangka menyatakan cinta itu semudah membalikkan telapak tangan?” gemasku.
“Mudah sekali. Buktinya aku,” belanya. “Belum ada sebulan naksir bisa dapat cewek. Kau catat itu, tanpa pakai bahasa sastra segala macam.”
Sombong! Aku menggerutu dalam hati. Cewek model bibir petinju saja dibanggakan.
“Heh, lembu!” aku cepat melindungi wajahku dari titik-titik air dengan bantal. “Kau pikir ini Danau Toba? Kalau ngeringi rambut di luar dong!”
“Ah, sorilah. Tidak sengaja.” Dia menghentikan goyang-goyang kepalanya. Rambutnya yang gondrong kayak penyanyi metal itu digosok-gosoknya dengan handuk.
Aku kembali melamun.
“Sebenarnya apa lagi yang kau tunggu?” ocehnya lagi. “Tampang boleh. Penampilan meyakinkan. Bapak pengusaha. Bukti cewek itu suka pada kau, ada. Kan kau sendiri dulu bilang, dia tidak pernah mendatangimu, lalu marah-marah karena kau jadikan sebagai pacarmu di cerpen-cerpenmu. Sampai loncat-loncat kau di tempat tidur, bilang pipinya sampai bersemu merah dan malu-malu setelah membaca ceritamu. Lalu heh, apa lagi maumu? Orang tak bermodal saja berani lamar cewek. Kau punya nyali sedikitlah! Atau maumu dia dulu yang bilang cinta, baru kau percaya? Bah, enak kali kau jadi laki-laki.”
Aku termenung. Ya, aku setuju dengan apa yang diucapkannya.
“Tapi, kalau dia tiba-tiba nanti nolak, bagaimana?” tanyaku ragu.
“Gampang. Bunuh diri saja!”
“Sialan kau, Cok!” makiku.
“Pertanyaanmu itu terus. Sampai tua bangka kerjamu menunggu, menunggu, menunggu dia saja di perpustakaan. Keburu digaet orang baru kau tahu.”
Lelaki dari Tarutung itupun ke luar, meninggalkanku yang penuh dengan kebimbangan.

***
Aku terkejut. Dari Miranda aku mendapat kabar buruk. Bunga Mewangi sampai saat ini masih diopname di rumah sakit. Persisnya empat hari yang lalu dia menjalani operasi usus buntu. Aku memang terlambat mendengar berita itu karena ada seminggu lamanya aku tinggal di sebuah desa di Cianjur Selatan untuk mengadakan penelitian pendapatan masyarakat di sana. Tanpa sempat beristirahat, tidur seharian seperti rencanaku semula, aku pun bergegas menuju rumah sakit. Kubawa seikat kembang untuknya. Ah, semoga Bunga lekas sembuh.
“Selamat sore, Mbak!” aku menyapa dua orang perawat yang duduk berjaga di dekat pintu masuk.
“Selamat sore!” sambut mereka ramah.
“Saya ingin bertemu Bunga. Bunga Mewangi.”
“Oh ya,  silakan. Ruang Melati, kamar 199. Dari sini terus, lalu belok ke kanan.”
“Terima kasih, Mbak.”
Aku pun buru-buru melangkah. Ah, betapa kangen aku padanya. Kamar yang kucari sekarang ada di depanku. Namun, kamar itu terkunci. Aku ragu membukanya. Ya, siapa tahu di dalam ada papa-mamanya? Siapa tahu saat ini dia belum terjaga dari tidurnya? Dan siapa tahu di dalam dia bersama… cowoknya yang selama ini dirahasiakannya? Ah, betapa malunya nanti. Kenapa ya, tidak kuajak saja tadi Miranda, Theresa, atau Ucok Sinaga bersama pacarnya? Agar tidak ketahuan aku naksir berat pada Bunga, sampai bawa-bawa kembang segala macam. Pikiran-pikiran itu membuat aku bingung sendiri. Aku pun berusaha untuk mencari keputusan yang tepat, tapi sampai memakan waktu yang lama aku belum juga menemukannya. Bah, kenapa jadi begini?
“Lho, kok belum masuk?” Seorang perawat tiba-tiba saja sudah berdiri di sampingku dengan membawa baki berisi makanan dan minuman. Dia tampak keheranan.
“Saya boleh tahu, Mbak, selain Bunga siapa lagi di dalam?” tanyaku gugup.
“Mungkin sekarang hanya Bunga sendiri. Teman-teman kuliahnya tadi banyak yang datang, tapi kayaknya sudah pada pulang semua.”
“Papa mamanya….”
Belum sempat pertanyaanku dijawab pintu sudah dibuka perawat yang baik hati itu. Dari pandanganku sekilas ke dalam tidak seorang pun terlihat, kecuali Bunga yang sedang membaca sebuah majalah. Aku pun masuk mengikuti perawat.
“Hai!” sambutnya.
“Apa kabar? Bagaimana keadaan kamu?” sapaku.
“Sudah semakin membaik. Tapi, bosan deh rasanya tinggal di rumah sakit. Sepi sekali. Eh, kembangnya bagus sekali….”
“Oh ya, ini buat kamu,” ujarku salah tingkah.
“Ooo, aku suka sekali.” Bola matanya yang bagus itu membulat. Tampak indah walau dalam keadaan sakit. Ah, dia agak kurusan sedikit.
“Kamu suka?” tanyaku.
Dia mengangguk. Dan memeluk bunga itu dengan wajah berseri-seri.
“Nona Bunga makan dulu, ya,” ujar perawat mengingatkan.
“Ah ya, Mbak, terima kasih,” ujarnya.
Perawat itu bergegas ke luar. Aku senang Bunga menghabiskan makanannya. Bukankah itu menunjukkan tanda-tanda kemajuan kesehatannya? Lalu, aku pun menceritakan pengalamanku selama tinggal di Cianjur Selatan. Namun, tiba-tiba kepalaku mendongak ke atas, melihat sebuah benda yang cukup akrab denganku semenjak aku masih kecil. Biola!
“Kenapa?” tanyanya heran melihat mataku tak berkedip memandang ke atas lemari.
“Biola siapa?” tanyaku.
“O, itu ternyata. Bunga kira ada apa, kok tiba-tiba bengong. Itu biola papa.”
“Ah, papa kamu juga rupanya senang main biola.”
Gadis itu mengangguk.
“Kalau papa dan mama datang, papa suka menghibur Bunga dengan memainkan biola, lalu mama nyanyi.”
“Wah, menyenangkan sekali,” aku terkagum-kagum membayangkan betapa harmonisnya keluarga Bunga.
“Kamu bisa memainkan biola?” tanyanya.
“Ah, tentu saja tidak sehebat papamu,” ujarku.
“O, Bunga tidak peduli siapa di antara kalian yang lebih hebat, papa atau kamu. Bunga ingin mendengarnya….”
Aku pun bangkit. Mengambil biola itu. Membuka tasnya dengan hati-hati. Ah, sebuah biola yang indah, kagumku. Entah kapan aku bisa memiliki biola seperti ini. Dan ternyata ada juga buku-buku lagu di situ. Aku mengambil semuanya.
“Mau lagu apa? tanyaku.
“Terserah kamu.”
Kubuka halaman demi halaman buku itu. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah lagu. Ya, lagu ini, pikirku. Lagu yang telah lama kuimpikan, memainkannya untuknya. Aku pun berdiri di tepi pembaringan. Sesaat aku memandang wajahnya. Wajah yang lembut, tapi sedikit agak pucat. Gadis itu terbaring sembari memeluk guling. Lalu, kulemparkan pandangan ke luar jendela. Pada langit yang sunyi. Aku menarik napas. Merasakan keheningan. Dan kumulai dengan gesekan lembut.
When I fall in love
It will be forever
Or I'll never fall in love
In a restless world like this is....

***

“Berat, ya? Sini biar aku bantu bawa,” ujarku.
Gadis itu menggeleng.
“Tidak berat kok.” Buku-buku tebal itu erat dipeluknya. Bunga memang betul-betul kutu buku.
“Tapi, kamu kan baru sembuh?”
“Bunga bisa membawanya. Ringan begini kok. Eh, ngomong-ngomong fakultas Ekonomi kapan pindah ke Depok?”
“Ada yang bilang semester depan. Tapi aku sendiri belum tahu pasti. Memang kenapa?”
“Di sini menyenangkan, ya?”
“Ya, kampus Salemba banyak memberi kenangan manis,” ujarku sembari mengenang masa silam. “Di kampus ini pertama kali kita bertemu. Masih ingat waktu kalian baru masuk? Kalian disuruh minta tanda tangan senior-senior….”
“Tapi, kamu dulu kok galak, sih?” Matanya mendelik. “Minta tanda tangan saja suruh Bunga nyanyi.”
Ha, ha! Aku tertawa.
“Ya, aku dengar informasi kamu itu pintar nyanyi. Rugi kan kesempatan itu tidak digunakan.”
Kami tiba di halte. Aku membeli koran terbitan sore, sekaligus membuka-buka majalah yang memuat kumpulan cerpen.
“Ada cerpen kamu dimuat?”
Aku menggeleng.
“Aku sudah lama tidak menulis. Nanti kalau nulis lagi aku pakai nama kamu. Boleh ya?”
Dia tertunduk sesaat. Lalu memandangku.
“Seperti kata teman-teman, Bunga pun diam-diam sebenarnya setuju dengan pendapat mereka tentang maksud kamu nulis-nulis nama Bunga. Namun, Bunga tidak yakin betul kalau belum dengar sendiri dari kamu. Ah, jangan-jangan pendapat kami keliru. Ya, jujurlah sekarang, kenapa kamu selalu memakai nama Bunga kalau menulis cerita?”
Seketika aku gelisah. Ya, kenapa namanya? Kenapa Bunga, bukan Miranda, Theresa, atau Lily? Dia menanti jawabku. Apa yang harus kukatakan? Aku terdiam. Telah lama, ya telah lama dia menantikannya. Aku yakin, pasti teman-temannya, ah atau siapapun yang pernah membaca cerita-ceritaku, akan berkata pada Bunga bahwa aku punya maksud tertentu pada gadis itu. Lebih jelas lagi, aku naksir dia. Aku jatuh cinta padanya! Lalu, inikah saatnya aku harus berterus terang? Namun, ah, kenapa mulut ini terbungkam? Apa yang salah padaku? Kenapa aku tidak seperti Ucok Sinaga yang begitu fasih lidahnya dalam hal mengucapkan perasaannya?
Bus yang akan membawanya pulang sudah nampak di kejauhan, membuat hatiku semakin resah. Akan kubiarkan sajakah kesempatan ini berlalu lagi bersama angin? Ya, bukankah masih ada hari lain, pada saat hatiku tenang? Namun, sampai kapan, sampai kapan lagi aku menunda untuk mengatakannya? Ah, kubiarkan sajakah dia terus bertanya-tanya tanpa jawaban yang pasti?
Akhirnya, kuberanikan memandang gadis itu. Kurasakan dadaku berdebar tak menentu. Tuhan, sekali lagi tolonglah aku, luluskan permohonanku yang suci ini!
“Bunga,” ujarku perlahan dengan mulut yang rasanya sulit sekali digerakkan. Lalu, aku menunduk. “Sebenarnya….” Lanjutku terpatah-patah. “Aku sering menulis nama kamu, ngg… karena aku ada perhatian pada kamu. Ya, karena aku sayang kamu….”
Deg! Jantugku lepas rasanya. Bebanku yang berat itu lenyap entah ke mana. Kakiku serasa tidak menginjak bumi. Sulit mempercayai diriku, tentang apa yang baru saja kuucapkan.
“Kenapa tidak bilang dari dulu?” samar kudengar suaranya. Membuat perasaanku melayang-layang. Ah, adakah kata-kata yang lebih indah lagi dari itu? Kucoba memandangnya. Gadis itu cepat tertunduk. Namun, tanpa kuduga sama sekali lenganku dicubitnya kuat-kuat. “Dasar cowok yang ngga punya perasaan!” ketusnya.
Aku meringis.
“Yuk, daaah!” salamnya dengan wajah ceria. Bus yang hanya sebentar saja berhenti itu segera membawanya. Aku tidak sempat membalas lambaiannya. Duh, cubitannya masih terasa pedih sekali. Namun, aku bahagia. O, bahagianya! Dan, aku pun berlari, berlari kencang bagai kesurupan. Aku menuju rumah. Mendapati Ucok Sinaga yang asyik dengan tidur siangnya. Kubangunkan si metal yang lagi mendengkur itu dengan mengacak-acak rambutnya. Aku tidak akan peduli dengan caci makinya. Dia harus kusadarkan, dia harus tahu sekarang juga bahwa aku telah mengatakan, aku sayang Bunga. (Terima kasih buat Dewala Putri Sembiring yang telah membantuku untuk menemukan kembali cerpen ini).

1 komentar:

  1. A prototype that passes testing and meets the required specification will go into whole part manufacturing. After growing the prototype, purchasers and high quality control consider the product to make sure it meets their requirements. Screen printing, identified as|also called|also referred to as} silk-screening, employs fantastic polyester mesh and a blade to apply the ink to specific sections of the metallic part. During the process, stencils help to protect the areas where ink shouldn't attain. Type II– this amortization uses sulfuric acid best wrench organizer to produce a strong and corrosion-resistant layer on the product’s surface. K-factor considerations are necessary to avoid tearing and deformation.

    BalasHapus