Jumat, 17 Desember 2010

Iman Tanpa Perbuatan=Mati

Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 29 Juli 2007

Demikian juga halnya dengan iman: jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati (Yakobus 2:17)

Rombongan penginjil di bandara sebelum  berangkat ke Afganistan 

            Sebanyak 23 orang (18 wanita dan lima pria) warga Korea Selatan diculik dari sebuah bus carteran oleh kelompok Taliban di Afganistan pada 19 Juli 2007. Mereka adalah jemaat Gereja Komunitas Protestan Saem-Mui, Bundang, Seoul. Kenapa mereka berada di sana?
Afganistan adalah sebuah negeri yang sarat dengan konflik. Nyaris setiap hari terjadi  penculikan, serangan bunuh diri, dan pengeboman yang disebut sebagai cara Taliban untuk menggulingkan pemerintah Afganistan yang didukung Barat. Bisa dipastikan, ke-23 orang muda berusia sekitar 20-30 tahun itu tidak sedang berpiknik atau sekadar cari sensasi. Meskipun pemerintah Korsel sudah berupaya mencegah warganya berkunjung ke Afganistan karena mengkhawatirkan keselamatan mereka, pada tahun lalu saja tercatat sekitar 2.000 warga Korsel  berhasil menginjakkan kaki di negeri itu. Sebagian besar melakukan misi penginjilan. Jika tidak ada kesempatan untuk memberitakan Injil, mereka pun mengadakan kegiatan ssial (Kompas, 21 Juli 2007).
Mungkin banyak orang menganggap aksi mereka itu terlalu mengada-ada, tidak bijak, dan tidak sayang nyawa. Benarkah demikian?
Tentu saja, anggapan itu merupakan suatu kekeliruan. Jemaat-jemaat dari Korsel itu pasti tahu risiko menjadi pengikut Kristus. Dan mereka rela menanggungnya. Jangan lupa, ketika komunis menyergap China, sebagian   besar  penginjil   meninggalkan negeri tirai bambu.  Watchman  Nee    (1903-1972)  salah   seorang    penginjil    yang punya banyak kesempatan untuk pergi, dan rekan sepelayanannya juga telah mengingatkannya akan kejamnya rezim komunis, tapi dia ternyata memilih tetap tinggal. Apakah dia termasuk orang bodoh dan tidak bijaksana? “Kalau aku juga pergi, siapakah yang akan menggembalakan domba-domba Kristus itu?” ujarnya. Iman di dalam Kristus membuat dia mendekam dalam penjara yang kotor dan dingin, disiksa dengan kejam selama sepertiga dari usianya hingga dia tiba di rumah Bapa di sorga. Namun, imannya tidaklah sia-sia. Banyak orang yang hidup dalam penjara bersamanya akhirnya bertobat. Kehidupan Watchman Nee selama di penjara adalah bukti iman yang kelak menjadi berkat bagi orang-orang percaya di bumi ini. Dan bukankah hal yang sama lebih dahulu dialami oleh Yesus? Yesus juga tahu bahwa Dia akan diserahkan untuk dianiaya, dan Petrus juga telah berusaha untuk mencegah-Nya, tapi Dia tetap meneruskan misi-Nya.
Alkitab menulis, “Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai  perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati” (Yakobus 2:17). Apakah tanda-tanda seseorang dapat disebut beriman?  Bukti adanya iman tidak cukup dengan sekadar pengakuan bahwa kita percaya pada Tuhan, dan oleh karena itu kita pergi beribadah setiap minggu. Alkitab menyatakan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-ku yang di sorga” (Matius 7:21). Jadi jelas, orang beriman adalah “dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”. Iman adalah kata kerja. Proaktif melakukan kehendak Allah.
Perumpamaan Yesus tentang orang Samaria yang murah hati (Lukas 10: 25-37) sungguh relevan untuk kita kaji di sini. Waktu itu ada ahli Taurat hendak mencobai Yesus. Dia bertanya, apa yang harus diperbuatnya untuk memperoleh hidup yang kekal? Maka, Yesus balik bertanya, apa yang tertulis dalam hukum Taurat? “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” jawab ahli Taurat itu dengan mudah. Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.”  Namun, untuk membenarkan dirinya, ahli Taurat itu bertanya lagi, “Dan siapakah sesamaku manusia?” Lalu, Yesus menyampaikan sebuah perumpamaan: Ada seseorang turun dari Yerusalem ke Yerikho. Di tengah jalan penyamun-penyamun merampok dan memukulnya. Dan dia ditinggalkan dalam kondisi sekarat. Kebetulan ada seorang imam lewat melalui jalan itu, tapi dia melewati korban begitu saja. Kemudian, orang Lewi lewat, dia juga tidak bergegas menolong korban. Lalu, datang orang Samaria. Melihat korban, hatinya tergerak oleh belas kasihan. Dia pun menolong sang korban. Alkitab secara detail menceritakan perbuatannya: membalut luka-luka korban setelah menyiraminya dengan minyak dan anggur (barang mahal). Kemudian, dia menaikkan korban ke atas keledai tunggangannya sendiri, membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya dia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan dengan menyampaikan pesan: Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya waktu aku kembali.” Kemudian Yesus bertanya, siapakah di antara ketiga orang ini menurut pendapatmu adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Jawab ahli Taurat itu: orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya. Maka, kata Yesus kepadanya: Pergilah, dan perbuatlah demikian!”
Siapakah ahli Taurat? Sudah jelas, merasa dirinya orang beriman. Lalu, siapakah pula imam dan orang Lewi? Sudah jelas pula, orang-orang yang selalu berseru memanggil-manggil nama Tuhan, dan dengan sendirinya menganggap dirinya sebagai orang-orang beriman. Adapun orang Samaria adalah orang yang selalu dikucilkan dan direndahkan oleh orang-orang yang merasa dirinya beriman karena menganggap mereka tidak berkenan kepada Allah. Namun, Yesus melihat iman dari orang-orang beragama itu sering kali hanya sekadar teori. Tanpa perbuatan. Meskipun orang Samaria itu dianggap tidak beriman,  pada kenyataannya memiliki belas kasihan. Patut diperhatikan, perbuatan orang Samaria itu bisa mendatangkan risiko berat. Ia menolong korban di jalur yang sering diintai oleh penyamun-penyamun. Dia bisa menjadi mangsa empuk. Orang Samaria itu bukan hanya rela berkorban harta, bahkan juga nyawanya.
Ketika jemaat-jemaat Korsel itu pergi ke Afganistan dengan misi penginjilan dan sosial, bukankah mereka sebenarnya sedang menjalankan perintah Allah: mengasihi Allah dan sesama manusia? Bukankah banyak hal yang perlu dilakukan di sana? Bukan untuk berjihad, melainkan mencari orang-orang yang mungkin perlu ditolong. Perlu kita ketahui, kelompok Taliban menyatakan akan membebaskan warga Korsel dengan tuntutan: agar dalam waktu dekat pasukan Korsel ditarik dari Afganistan. Jika tidak, mereka akan diesekusi mati.
Ya, orang beriman berani mengambil risiko. Tentu saja, kita tidak harus pula pergi berbondong-bondong ke Afganistan untuk menunjukkan  iman kita. Apa yang dapat  kita renungkan adalah sebuah pesan penting bagi pengikut-pengikut Kristus bahwa kita tidak cukup diam berpangku tangan atau rajin ke gereja sebagai perwujudan iman kita. Banyak sekali orang miskin dan sekarat di sekitar kita yang perlu dan mendesak untuk diperhatikan. Kalau bukan kita, lalu apakah bedanya kita dengan imam dan orang Lewi itu? Iman tanpa perbuatan pada hakekatnya adalah mati. Kita berdoa, kiranya Allah memberkati perbuatan saudara-saudara kita dari Korsel itu bagi perdamaian dunia.  






Tidak ada komentar:

Posting Komentar