Jumat, 17 Desember 2010

Menjadi Calon Bupati, Kenapa Tidak?

Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 22 November 2010.

Artikel Prasasti Perangin-angin bertajuk Mengapa Berlomba Menjadi Bupati Karo? (Analisa, 29 Oktober 2010), perlu kita tanggapi mengingat tulisan itu  berpotensi menyulut apatisme rakyat terhadap kepemimpinan yang selama ini merindukan sosok-sosok pemimpin yang didambakan. Bukan itu saja, tulisan itu juga akan meramaikan suatu perbincangan di tengah-tengah masyarakat awam pada umumnya bahwa siapa pun yang akan menjadi pemimpin sama saja (koruptor, raja-raja kecil, penindas), dan sebagai konsekuensi bahwa “siapapun pemimpin sama saja”, maka rakyat pun berpikir, kalau begitu yang memberi uang saja yang dipilih. Dengan kata lain, tulisan itu juga berpotensi menyuburkan money politics yang seharusnya menjadi tugas kita untuk memeranginya.
Dalam artikel itu, disebutkan tiga hal yang harus dipertanyakan, yakni pertama adalah  banyaknya calon bupati memberi suatu gambaran bahwa orang Karo sulit untuk membangun kesatuan gerak untuk membangun gagasan yang sama, yakni membangun Tanah Karo. Dia bertanya, kalau semua calon mengusung suatu gagasan membangun Tanah Karo lebih baik, kenapa semua calon tidak bisa mencapai titik temu untuk menyatukan tekad bersama? Jika ini terjadi barangkali pilkada Karo akan diikuti oleh dua atau tiga calon saja untuk mengerjakan gagasan tersebut. “Mengapa bangsa sebesar Amerika Serikat bisa mengusung hanya dua calon untuk maju menjadi presiden?” tanyanya.
Pertanyaan kedua muncul sebagai konsekuensi titik temu  itu tidak ada, yakni sepuluh calon yang berlomba menjadi Bupati Karo (padahal seharusnya bisa dua atau tiga), maka ditulisnya: “Wajar dong kita akhirnya mempertanyakan apakah memang benar kesepuluh calon ini ingin ‘membangun’ atau ‘menguras’ Tanah Karo?” Dia menyebut sebagai suatu fakta bahwa sosok menteri dan gubernur yang ingin menjadi kepala daerah karena jabatan itu sangat menggiurkan.
Hal ketiga menurutnya yang patut dipertanyakan adalah bukti kegagalan demokrasi di Indonesia dengan melihat banyaknya calon kepala daerah. Menurutnya, hal ini harus menjadi kajian untuk mencapai kehidupan demokrasi yang matang. Disebutkan, kehidupan demokrasi (pilkada) yang semula bertujuan untuk menjadi jawaban untuk pembangunan bangsa ternyata tak lebih dari ajang melahirkan para penindas atau raja-raja kecil. “Logikanya bagaimana mungkin seorang kepala daerah bisa menutupi dana kampanye yang bisa mencapai milyaran itu dengan hanya bergaji pokok sekitar sepuluh juta rupiah per bulan?” tanyanya. Dia menjawabnya, “Tentunya dengan korupsi.” 
Usai membaca tulisan Prasasti Perangin-angin, saya menyimpulkan pemikirannya, yakni siapapun yang berkompetisi menjadi kepala daerah di negeri ini akan dicurigai sebagai koruptor, menjadi raja-raja kecil, para penindas! Kalaulah benar demikian, maka jika ada anak kita saat ini menuntut ilmu dan bercita-cita mulia menjadi bupati atau gubernur, harus dengan tegas kita melarangnya karena akan menjadi bejat moralnya! Sekali lagi, betulkah demikian? Pertanyaan kita adalah tidak adakah lagi sedikit pun tampak sisi-sisi baik dari ratusan mungkin ribuan calon kepala daerah yang hendak berkompetisi dalam pilkada secara baik dan benar di negeri ini?
Dalam konteks pilkada Karo, Prasasti Perangin-angin perlu menyadari bahwa dua atau tiga calon kepala daerah yang berkompetisi dalam pilkada bukan suatu jaminan adanya kesatuan dalam orang Karo. Dengan kata lain, dua atau tiga pasang calon yang maju tidak bisa dijadikan suatu gambaran adanya kesatuan itu. Mungkin Anda lupa, pernah dua pasang calon saja yang maju dalam pemilihan Bupati Karo, yakni Daulat Daniel Sinulingga dan Sinar Perangin-angin. Masih ingatkah Anda apa yang terjadi? Rakyat berdarah-darah dan rumah rakyat (gedung DPRD Karo) dibakar oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab karena tidak puas dengan hasil pemilihan. Bukan hanya di Kabupaten Karo, di sejumlah daerah lain juga ternyata pernah mengalami hal yang sama.
Lalu, adanya  menteri yang ingin menjadi gubernur,  dan gubernur yang ingin menjadi wali kota, apakah ini bisa dijadikan suatu kesimpulan bahwa jabatan kepala daerah dengan kekuasaannya memang  begitu menggiurkan dan semata-mata untuk menguras daerahnya?  Lalu, bagaimana pendapat Anda dengan artikel pengamat politik paling kritis seperti Sukardi Rinakit yang menyatakan hormatnya kepada Wali Kota Surakarta Joko Widodo  dan Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto yang baru-baru ini menerima Bung Hatta Anti Corruption Award? “Sekali lagi, mereka membenarkan hipotesis saya selama ini, yaitu masih banyak tokoh lokal yang luar biasa (local geniuses) di republik ini. Mereka tersebar dari Merauke sampai Sabang.... Di wilayah mereka, praktik korupsi sulit mencari pintu. Semua proses birokrasi cepat, transparan, dan akuntabel,” tulis Sukardi Rinakit (Kompas, 2 November 2010). Mari kita simak pula laporan Tempo edisi khusus Desember 2008 tentang “10 Tokoh 2008”. Para tokoh pilihan Tempo adalah sepuluh kepala daerah (bupati dan wali kota) berprestasi. “Banyak inovasi dan terobosan. Banyak pemimpin yang menjanjikan,” tulis Tempo. Perlu pula saya sebutkan prestasi cemerlang Basuki Tjahaya Purnama sewaktu menjabat Bupati Belitung Timur. Dia adalah keturunan Tionghoa dan beragama Kristen, tapi kepemimpinannya sungguh dikagumi rakyatnya yang 92 persen adalah umat muslim. Dengan kata lain, ciri-ciri yang Anda sebutkan: raja-raja kecil, koruptor, dan para penindas... jauh sekali dari kepribadian sosok-sosok wali kota dan bupati yang dikagumi itu.
Pertanyaan terakhir Anda adalah bagaimana mengembalikan dana kampanye yang milyaran rupiah itu padahal gaji bupati sekitar sepuluh juta rupiah per bulan? Anda menjawab, korupsi!
Saya pernah baca juga pertanyaan senada melalui Facebook: bagaimana  Bupati Karo terpilih yang telah menghabiskan dana milyaran rupiah sewaktu pencalonan mengembalikan modalnya kecuali dengan korupsi? Waktu itu  segera saya tanggapi, dan jawaban yang sama tentu berlaku pula untuk Prasasti Perangin-angin: saya bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa untuk menjadi calon Bupati Karo dari jalur perseorangan (independen) tidak lebih dari Rp 300.000.000. Baca saja berita-berita di harian Kompas tentang biaya menjadi calon kepala daerah melalui jalur perseorangan. Disebutkan, biaya terbesar adalah untuk pengumpulan fotokopi KTP dukungan atau surat keterangan lain pengganti fotokopi KTP.
Secara garis besar bisa saya perinci: syarat dukungan untuk Kabupaten Karo adalah 16.843 lembar fotokopi KTP atau surat keterangan pengganti KTP. Katakanlah kita kumpulkan sebanyak 20.000 lembar dukungan. Untuk setiap lembar, tim kami membayar biaya operasional sebesar Rp 5.000. Maka total biaya persyaratan untuk menjadi calon Bupati Karo melalui jalur perseorangan, Rp 100.000.000.  Kami perhitungkan pula biaya baliho dan lain-lain yang dikemas secara murah meriah seperti kunjungan ke desa-desa dan pertemuan-pertemuan yang kami taksir sekitar Rp 200.000.000. Dengan demikian total biaya mencapai Rp 300.000.000. Bayangkan pula, biaya itu ditanggung bersama dengan calon wakil bupati dan handaitolan lainnya. Di Facebook, untuk menanggapi komentar bernada menghakimi itu, saya mengusulkan kepada para mahasiswa untuk membuat seminar sehari dengan tema menjadi calon Bupati Karo dengan biaya sekitar Rp 300.000.000, saya menjadi pembicaranya, gratis, dan saya menyumbang Rp 1.000.000 untuk acara itu. Namun, sampai sekarang tak seorang pun yang memberi respon.
Biaya pencalonan tersebut malah bisa semakin berkurang kalau kita memiliki jaringan yang luas disertai banyaknya relawan untuk tujuan bersama. Kami adalah pengusaha yang memiliki sekitar 300 mitra bisnis yang tersebar di lebih 200 desa. Jika saja 200 mitra bisnis kami masing-masing membawa 100 lembar fotokopi KTP dukungan secara gratis, maka jumlah yang kami peroleh adalah 20.000 lembar dukungan. Makanya, jangan heran kalau ada rohaniawan juga yang bercita-cita jadi kepala daerah melalui jalur perseorangan mengingat luasnya jaringan yang dimilikinya.
Perlu kita ketahui bahwa UU Nomor 12 Tahun 2008 merupakan Perubahan atas UU No 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur hak pasangan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah. Pengaturan calon perseorangan menjadi kepala daerah merupakan implementasi instruksi putusan Mahkamah Konstitusi No 5/PUU-V/2007 yang menyatakan perlunya menyertakan calon perseorangan dalam pilkada. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Udayana Prof Yohanes Usfunan menyebutkan sejumlah keuntungan pengaturan calon perseorangan yang menjadi kepala daerah. Pertama, memberi kesempatan tiap WNI yang profesional, bersih, dan demokratis mencalonkan diri. Kedua, keikutsertaan calon perseorangan memaksa parpol lebih selektif memilih calon kepala daerah. Ketiga, mencegah arogansi dan biaya “kendaraan politik” yang mahal dalam pencalonan kepala daerah melalui parpol/gabungan parpol (Kompas, 20 Juni 2008).
Anda mengatakan, sepuluh calon dalam pilkada Karo adalah jumlah yang sangat mengherankan. Ingat, tuntutan rakyat kepada Mahkamah Konstitusi yang membuat hal itu memungkinkan.  Jumlah penduduk Kabupaten Karo yang bisa memilih adalah sekitar 250.000 orang. Kalau jumlah syarat dukungan adalah 16.843, maka secara matematis calon Bupati Karo yang bisa maju dari jalur perseorangan adalah 14 pasang calon. Jika ditambah enam pasang calon dari partai, maka jumlah calon yang bisa maju dalam pilkada Karo adalah 20 pasang calon.
Silahkan tercengang, tapi ini adalah sah-sah saja! Kalau kita mau meniru  Amerika Serikat yang mengusung dua calon menjadi presiden (seperti yang Anda sebut),  tentu saja UU harus dirubah lebih dahulu, alih-alih menyuruh semua calon berembuk untuk menetapkan sebaiknya dua atau tiga calon saja yang maju dalam pilkada. Jangan menyimpulkan dengan banyaknya calon yang maju sebagai gagalnya demokrasi kita. Ingat pula, dua pasang calon dalam pilkada bukan merupakan suatu jaminan akan menghasilkan kepemimpinan yang kita dambakan. Dan kualitas demokrasi sama sekali tidak ditentukan oleh dua atau sepuluh pasang calon kepala daerah yang berkompetisi dalam pilkada.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar