Rabu, 15 Desember 2010

Cita-cita

Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Analisa, 27 Januari 2008.


Albert Einstein (1879-1955)

Dalam suatu ceramah, tokoh terkenal dari AS, Dr Billy Graham, pernah menyampaikan satu pesan: betapa pentingnya kita memiliki tujuan. Ia mengambil sebuah ilustrasi yang sering diceritakan tentang ilmuwan besar, Albert Einstein (1879-1955) yang sedang melakukan perjalanan dengan menumpang kereta api. Ketika itu kondektur muncul untuk memeriksa karcis para penumpang. Seketika Einstein yang kelihatan sering tampak linglung itu sibuk merogoh satu demi satu sakunya, tapi karcis itu tidak juga ditemukannya. Diam-diam sang kondektur mengamati kakek tua itu, dan akhirnya ia tersadar, sosok di depannya ternyata orang besar  yang gambarnya sering terpampang di media massa. Ya, dia adalah pemenang hadiah Nobel di bidang Fisika pada 1921. “Ah, jangan kuatir. Saya kenal Anda. Tidak perlu menunjukkan karcis itu,” ujarnya, lalu melanjutkan pemeriksaannya.
Tak lama kemudian, kondektur muncul lagi melewati bangku Einstein dengan sebuah kantungan berisi potongan karcis. Namun, ia melihat sosok terkenal itu masih sibuk mencari karcisnya. Bahkan ia merangkak sampai ke kolong kursi. Kondektur itu menjadi iba, lalu berbisik kepadanya. “Profesor, saya percaya pada Anda. Anda tidak mungkin naik kereta api tanpa membeli tiket,” ujarnya. Einstein pun memandang sang kondektur. “Anak muda, ini bukan soal kepercayaan, tapi saya ingin mengetahui tujuan saya. Saya perlu karcis itu karena di situ tertulis tujuan saya,” ujarnya.
Ya, sebuah ilustrasi menarik yang menggambarkan betapa ilmuwan besar seperti Einstein serius sekali mencari tujuannya. Tujuan adalah suatu petunjuk, seperti  kompas yang dibutuhkan kapal ketika berlayar mengarungi samudera luas. Tujuan memberi spirit bagi kita untuk menghadapi kehidupan yang serba tidak menentu.  Tujuan membuat kita bergairah dalam menghadapi segala tantangan.
Masih ingat dengan Marie Curie (1867-1934)? “Marie Curie adalah perempuan paling hebad di abad ke-20,” tulis Paul Strathern dalam buku Curie and Radioactivity. Sebagai ilmuwan, hanya segelintir orang yang berprestasi seperti dia. Bayangkan saja, ia adalah pemenang hadiah Nobel sebanyak dua kali. Hebatnya, di dua bidang yang berbeda pula,  Fisika (1903) dan Kimia (1911).
Tentu saja mudah mengatakan, Tuhan mengaruniakan Marie Curie otak yang jenius. Namun, jangan lupa, ia bekerja keras sepanjang hidupnya untuk menggapai cita-citanya. Seperti tulis Eiji Yoshikawa, dalam buku Musashi yang tersohor itu, “Karena Musashi tahu dirinya orang biasa, maka ia selalu mencoba meningkatkan diri. Tak seorang pun menghargai usaha mati-matian yang harus ia lakukan. Namun sekarang, ketika latihannya yang bertahun-tahun itu sudah memberikan hasil demikian hebat, tiap orang lalu bicara bahwa ia memiliki ‘bakat pemberian dewa’. Begitulah cara orang yang tidak tekun berlatih menyenangkan diri.”
Marie Curie (1867-1934)
Jangan pernah berpikir, seabrek prestasi cemerlang diperoleh Curie tanpa usaha keras seperti yang dikatakan orang-orang tentang pemain pedang legendaris Musashi. Seperti Musashi yang udik itu, Marie Curie berasal dari kaum pinggiran. Ia lahir di Polandia, 7 November 1867. Pada masa itu, negerinya dijajah oleh Rusia.  Ketika berusia sepuluh tahun, ibunya meninggal karena TBC, dan ayahnya kehilangan pekerjaan sebagai guru. Meskipun kehidupannya serba sulit, Curie mampu lulus ujian sekolah menengah dengan menyabet penghargaan medali emas. Namun, sayang sekali, pada masa itu, wanita Polandia tidak diijinkan melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Masa depan tampak begitu suram bagi kebanyakan orang, terutama kaum wanita. Sampai di sini, biasanya sebagian besar orang memilih untuk menyerah. Ya, mau bagaimana lagi? Bukankah alasannya sudah cukup meyakinkan? Keluarga miskin dan tidak tersedia pendidikan tinggi bagi kaum perempuan. Di luar negeri memang terbuka peluang untuk kaum perempuan belajar di perguruan tinggi, tapi biayanya dari mana? “Dalam benak mereka, mereka tidak akan pernah mencapai cita-cita itu. Untuk bertahan hidup saja berat sekali,” tulis Beverley Birch dalam biografi Marie Curie.
            Adanya cita-cita membuat Marie Curie tidak sudi menyerah. Karena di negerinya tidak tersedia pendidikan tinggi untuk perempuan, maka ia bertekad untuk melanjutkan studi di Perancis. Sekilas memang tampak muluk-muluk. Ya, bisakah kita bayangkan, kita ingin kuliah di luar negeri, sementara kita hidup di bawah garis kemiskinan? Seperti judul dalam acara televisi saja: Mimpi kali, yeee! Namun, Curie punya ide yang hampir tidak masuk akal untuk mewujudkan impiannya, yakni menjadi pengasuh anak-anak orang kaya, dan untuk itupun ia harus pergi jauh meninggalkan keluarganya. Ya, mau bekerja apalagi? Negerinya dalam keadaan terjajah. Angka pengangguran begitu tinggi. Hanya menjadi pembantu rumah tangga tersedia pekerjaan baginya. Ia pun menjalani profesinya dengan tabah. Dan ia tak pernah kehilangan cita-citanya. Sebab pandangannya selalu tertuju ke sebuah cita-cita di mana seperti mustahil untuk membuat kemajuan sekecil apapun, tapi ia tetap berkeyakinan untuk mencapainya. Empat tahun kemudian uang  terkumpul. Ia pun berangkat ke Paris.
Lagi-lagi, ia terbentur pada sebuah rintangan yang tak mudah untuk ditaklukkan! Bayangkan, baru pertama kali ia menginjakkan kaki di negeri Eiffel, dan ternyata sedikit pun ia tidak memahami materi kuliah yang disampaikan dalam bahasa Perancis. Bahasa yang selama ini dipelajarinya ternyata belum memadai untuk mengikuti kuliah di Universitas Sorbonne yang tersohor itu. Namun, ia membajakan tekadnya lagi. Siang malam ia berkutat dengan bahasa Perancis di samping bahan-bahan kuliahnya. Perlu ditambahkan, ia pun sering menahan lapar karena putus uang.          
            “Seluruh pikiranku hanya terpusat pada pelajaranku. Semua hal baru yang kulihat dan kupelajari membangkitkan semangatku. Seolah ada dunia baru yang terbuka di hadapanku, dunia ilmu pengetahuan, dunia yang akhirnya boleh kumasuki dengan bebas,” tulis Marie Curie dalam sebuah surat pada 1892. Pepatah mengatakan, kesabaran itu pahit, tapi buahnya manis. Akhirnya, sejarah mencatat prestasi cemerlangnya, dua kali meraih hadiah Nobel: di bidang Fisika dan Kimia.
Apakah Anda sudah memiliki tujuan yang jelas? Kalau belum, cobalah secara proaktif menemukannya, seperti Einstein dalam ilustrasi: sibuk mencari-cari tujuannya (tentu saja karena ia tidak ingin tersesat). Adapun sekolah adalah ibarat kereta api yang sedang membawa kita ke suatu tujuan. Tanpa memiliki tujuan jelas, kita akan tersesat. Hidup tanpa tujuan seperti kapal tanpa kompas. Tentu saja, ada ongkos yang harus dibayar, yakni rela berkorban untuk menaklukkan tembok-tembok penghalang itu. Lagipula, hidup ini kalau tidak diisi dengan perjuangan, apa sih maknanya? Kisah perjalanan sukses Marie Curie yang telah berhasil menyabet dua hadiah Nobel yang bergengsi itu tentu saja masih relevan hingga kini, dan hendaknya menjadi inspirasi bagi kita dalam mengejar cita-cita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar