Sabtu, 30 April 2011

Puisi Buat Rachel

Catatan: cerpen ini dimuat di majalah Anita Cemerlang, 28 Januari 1991. Edisi ke-360.

Aku berteriak begitu mataku menangkap sosok Rachel.
            “Rachel...!”
            Gadis itu menoleh. Seperti ragu-ragu memandangku. Lalu, senyumnya pun mengembang.
            “Hai, Robert Salemba!” teriaknya sambil melambaikan tangan.
            Kubetulkan letak ransel di bahu. Lalu, berlari kecil menghampirinya.
            “Mau balik ke Cirebon, ya?” tanyaku begitu tiba di hadapannya.
            Gadis itu tersenyum. “Benar. Seratus buat kamu.”
            Aku tertawa. Kapan saja bertemu dia memang selalu menyenangkan.
            “Tampaknya sudah rindu pada ayah bunda, nih.”
            “Seratus lagi buat kamu.”
            “Pasti juga sudah rindu pada si dia yang jauh di sana.”
            Gadis itu tersipu malu.
            “Nilaimu dikurangi seratus,” ujarnya.
            Aku terbahak. Lucu.
            “Kok dikurangi?”
            “Jawabanmu ngawur, sih.”
            “Ooo, kamu sudah putus sama pacarmu, toh?”
            Aih, kali ini kulihat dia mulai cemberut.
            “Nilaimu dikurangi lagi seratus.”
            “Eh, kalau gitu kamu belum punya pacar, dong?”
            Wajah gadis itu bersemu merah. Wih, kelihatan sekali pemalunya. Namun, alangkah manisnya dia begitu.
            “Liburan ini mau kugunakan untuk berkelana keliling Jawa,” ujarku bangga. “Kalau bisa sih, terus ke Bali.”
            Bola matanya membulat.
            “Menyenangkan sekali!”
            “Ya, kira-kira begitulah.”
            Kurasakan bahuku sudah agak penat. Ransel kuturunkan.
            “Yuk, kita ke kantin dulu! Kamu juga sudah haus, kan?”
            Kutarik lengannya tanpa lebih dulu mendengar jawabannya. Sembari melangkah mataku mengitari suasana stasiun. Belum begitu ramai.
            “Menurut kamu tujuanku ke mana dulu, ya?” tanyaku begitu minuman tersedia di meja.
            Ragu-ragu dia memandangku.
            “Ke Cirebon saja, deh,” senyumnya. “Supaya ada temanku di jalan. Lagi pula kan katanya di sana kamu punya tante.”
            “Cirebon sunyi,” jawabku.
            “Sunyi atau tidak tergantung dari suasana hati. Bisa saja seseorang berada di tempat ramai, tapi hatinya merasa sunyi. Sebaliknya, dia berada di tempat sunyi, tapi hatinya merasa ramai. Ya, bukankah begitu?”
            Aku tertawa.
            “Oke deh, kalau begitu aku ke Cirebon saja.”
            Matanya memandangku seolah tak percaya.
            “Sungguh?”
            Aku mengangguk serius.
            “Namun, kamu yang akan bertanggung jawab sekiranya badanku bau udang,” ujarku bercanda.
            Gadis itu tertawa. Sementara aku tersenyum-senyum sambil mengaduk-aduk air jeruk dingin. Kusedot sampai habis. Lalu, mengeluarkan dompet, dan mengambil uang… tapi, tiba-tiba, slip! Ada sesuatu yang melayang ke lantai. Hah!? Aku terkejut, lalu buru-buru memungutnya, tapi aku kalah cepat.
            “Eh, jangan lihat!” teriakku tertahan.
            “Foto pacarmu, ya?”
            Astaga! Wajahku merah padam. Aku tertunduk, rasanya tidak berani lagi memandang wajahnya yang tiba-tiba bersemu merah itu. Aku berusaha menguasai diriku. Kutarik napas dalam-dalam.
            “Foto itu kutemukan tergeletak di kelas Ruang 6,” jelasku dengan suara gemetar. “Maaf, aku sampai lupa mengembalikannya.”
            Kembali dipandanginya foto ukuran 2x3 cm itu. Dia sedang tersenyum manis di sana.
            “Pantas kucari-cari di buku harian tidak ada. Kok bisa jatuh, ya?”
            “Sini deh, biar aku saja yang nyimpan!”
            “Jangan ah! Lagi buat apa kamu nyimpan fotoku?”
            “Ya, untuk dilihat-lihat.”
            “Ih, kamu aneh.”
            “Lho, kok aneh?”
            “Foto begini aja dilihat-lihat.”
            “Memangnya kenapa?”
            “Ngga apa-apa.”
            “Nah, kalau ngga apa-apa, sini dong!”
            Gadis pemalu itu menggeleng. Namun, aku segera menjamah tangannya. Dan mengambil foto itu. Senyum nona manis yang ada di foto itu kubalas.
            “Dia selalu mendatangkan inspirasiku,” tunjukku pada foto itu.
            Kali ini, gadis itu benar-benar kulihat tertunduk. Ah, makin suka saja aku padanya.

***
            Di Cirebon kami tiba menjelang senja.
            “Jadi benar, kamu tidak usah aku antarkan?” sekali lagi gadis itu bertanya padaku dengan wajah serius. Ya, aku memang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota udang ini.
            “Nyombong nih yeee… mentang-mentang anak sini, boleh deh kamu begitu. Kan ngga lucu, cewek nganterin cowok?”
            Tawanya berderai lagi.
            “Bukan apa-apa. Soalnya aku takut kamu nanti hilang di jalan. Kan aku juga nanti yang repot.”
            Wih, keki juga digodain begitu.
            “Besok pagi jangan lupa!” aku mengingatkannya ketika angkutan kota berhenti di depan kami. Setelah gadis itu menghilang, aku memanggil becak. Menurut Rachel, dari stasiun kereta api Cirebon ke alamat rumah yang kutuju, tidak begitu jauh. Dan memang benar. Hanya sekitar 15 menit aku sudah tiba.
            Di gerbang, tante, adik mama yang paling muda itu, langsung ngomel-ngomel begitu kujelaskan siapa diriku padanya.
            “Minta ampun!” desisnya. “Sudah segede ini baru datang. Sampai tante kirain kamu ini bandit.”
            “Wah, orang seganteng ini mana mungkin jadi bandit, Tante,” ujarku.
            “Abangmu yang di Ekonomi Undip itu juga, sekali pun tak pernah datang,” ujar tante geleng-geleng kepala.
            “Mungkin lagi sibuk ngurusi skripsinya, Tante,” jelasku. “Oh ya, Tante, tadi dari Jakarta aku berdua dengan Rachel, adik kelasku. Cakep, lho, Tante. Dia anak sini. Apa Tante mengenal Rachel?”
            “Rachel?” Tante sejenak berpikir.
            Aku mengangguk. “Ya, namanya Rachel.”
            Tante seperti masih berpikir. Ah, pasti tante tidak mengenalnya.
            Tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu. Ooo, cantik sekali! Agi Kakana? Aku berseru dalam hati. Wah, sudah segitu gedenya?
            “Dia Agi Kakana?” tunjukku seperti tak percaya.
            “Pertanyaan anak bodoh!” Tante menyindir. “Sampai adikmu sendiri pun tak kenal lagi.”
            Ah, tante sama saja seperti mama. Suka cerewet. Bagaimana mungkin aku bisa mengenalnya lagi? Bayangkan saja, sudah hampir sepuluh tahun tante meninggalkan kota Medan mengikuti suaminya yang pindah tugas ke Cirebon. Sedang Agi Kakana dulu masih bocah, belum ketahuan cantiknya. Lagi, cowok mana sih yang suka ngelirik-ngelirik cewek kecil yang ke mana-mana selalu gendong boneka? Dan siapa sangka, kalau sekarang jadi cantik molek begitu? Wah, wah, alangkah cepat waktu berlalu…!
            Nona molek itu ragu-ragu memandangku.  Siapa ya? Di mana pernah aku lihat, ya? Mungkin begitu matanya yang bulat jernih itu bertanya-tanya.
            Namun, aku tak peduli. Segera kudekati dia. Kuacak-acak rambutnya yang lurus tergerai di bahunya itu. Rambutnya baru habis dikeramas. Sungguh, aku begitu gemas melihatnya. Wah, nyesal juga selama empat tahun di Ekonomi UI tak pernah datang melihat “barang antik” ini. He, he!
            Setelah memporak-porandakan rambutnya yang sewangi kenanga itu, aku pun masuk kamar. Biarkan saja gadis itu bertanya pada mamanya aku ini siapa. Sungguh, badanku sudah begitu penat rasanya.

***
            Malam menjelang tidur. Aku teringat Bonar Rajagukguk. Cowok Batak itulah sebenarnya yang mengilhamiku suatu saat bisa bertualang di kota udang ini. Jasanya padaku sungguh tak ternilai. Di samping dalam waktu dekat ini aku akan  menangkap “buruanku”, aku juga telah bertemu dengan keluarga tante yang sudah bertahun-tahun tak kulihat.
            Kucium lagi dengan mesra foto copian yang ada di tanganku. Namun, hih, kembali aku ngeri membayangkan tragedi apa yang bakal terjadi bila Rachel kemudian tahu bahwa buku hariannya pernah dikerjai orang. Ini semua, Bonar Rajagukguk pelakunya…!
            Sekarang kutatap foto gadis lembut itu. Dan samar-samar suara Bonar terngiang-ngiang di telingaku.
            “Aku tidak sempat mengembalikan fotonya yang terjatuh itu,” cemasnya. “Aku melihat dari jendela tiba-tiba dia datang sedang menuju kelas. Benar-benar foto sialan!”
            “Hush!” Aku membentaknya. “Kamu sendiri apa-apaan membaca buku harian orang dan memfotocopinya?!”
            “Bah! Sialan kamu! Sudah capek menolongmu malah ngatain aku macam-macam!”
            “Tapi, bukan begitu caranya. Pakai adat sedikit, dong!”
            Hmmm. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum membayangkan kecemasan Bonar itu. Dasar Bonar Rajagukguk! Kesetiakawanannya memang luar biasa, tapi caranya itu… bah!
            Tulisan Rachel di fotocopian begitu rapi. Aku merasakan ada ketulusan yang dalam dari hatinya. Rangkaian kata-katanya memikat hatiku. Betapa puitisnya.
            Hari ini ulang tahunku yang ke-19. Seorang cowok datang ke rumah membawa sebuah puisi untukku. Judulnya Puisi buat Rachel. Ah, romantis sekali. Namun, aku heran. Sebenarnya ulang tahunku ini tidak dirayakan. Aku tidak tahu bagaimana dia mendapatkan data kelahiranku sehingga malam itu dia datang tanpa pernah kuduga sebelumnya.
            “Aku tidak punya apa-apa,” ujarnya. “Tapi, hanya ini. Hanya sebuah puisi. Semoga kamu suka….”
            Aku mengangguk.
            “Terima kasih,” ujarku.
            Hatiku begitu terharu. Di ibukota yang serba sibuk dan hangar-bingar ini ternyata masih ada yang mengingat hari bersejarahku.
            Dia segera pulang. Ah, alangkah cepatnya. Padahal aku ingin sekali dia menemaniku bertukar cerita. Bukankah dia pandai mengarang? Aku pun menangkap kesan, dia tidak sedang terburu-buru untuk aktivitas lain. Namun, entah kenapa, hati ini tak kuasa menahannya. Ternyata, aku sama saja seperti dia. Sama-sama pemalu. Aku pun melamun di kamar. Walau sendiri, tapi hatiku bahagia. Berulang kali puisi itu kubaca.
            Remang-remang di ruang tamumu
            Seribu cawan terangkat
            Ah, alangkah nikmat
            Meneguk anggur sebelum berdansa
            Ayo, cepatlah tiup
            Nona yang melahirkan inspirasiku
            Lilin-lilin di meja cendana
            Aku ingin kita turun
            Seperti mereka

            Hmmm. Gadis itu mengaku seorang pemalu. Namun, apakah benar aku juga seorang pemalu? Aku jadi geli. Lalu, bagaimanakah kalau dua orang pemalu diam-diam saling jatuh hati…? Pasti lebih banyak merananya ketimbang manisnya. Sebab, cinta itu terpendam terus. Bisa jadi suatu saat lenyap tiada menentu. Nah, karena itulah nona manis, aku datang memburumu.

***
            Tok, tok, tok!  
            Ada yang mengetuk pintu kamar. Kulirik jam di lengan kiriku. Hampir pukul tujuh. Hop! Aku melompat dari pembaringan. Kubuka pintu. Ada Agi Kakana.
            “Heh, kamu ternyata, anak manis,” ujarku.
            “Ada tamu, tuh,” katanya.
            “Siapa?”
            “Cewek.”
            Pasti Rachel, seruku gembira dalam hati.
            “Cakep ngga?” tanyaku lagi. “Kalau ngga cakep suruh pulang aja, deh!”
            “Ayo, ah! Kasihan tuh, sudah lama nungguin.”
            “Jawab dulu dong! Cakep ngga?”
            “Cakeeep banget!”
            Aku tertawa.
            “Ssst… sini!” bisikku sambil menarik lengannya. “Dia calon kakakmu. Ayo, temani dulu dia. Aku mandi dulu, ya…!” Aku pun mengambil handuk.
            Seusai mandi, kudapati Rachel asyik ngobrol dengan Agi Kakana. Sementara oom dan tante belum pulang dari lari pagi. Kami segera ke luar.
            “Itu tadi Agi Kakana,” jelasku pada Rachel. “Dia anak tunggal tante. Eh, ngomong-ngomong, kita ke mana, nih?”
            “Kita jalan santai aja, ya,” ajaknya.
            Aku mengikuti langkahnya. Hmmm, udara pagi ini sejuk sekali. Aku menebarkan pandangan. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di sepanjang jalan. Burung-burung berkicau merdu.
            “Kapan ngelanjutin petualanganmu lagi?” suara gadis itu membuyarkan lamunanku.
            Aku menarik napas.
            “Belum tahu pasti,” jawabku. “Aneh, rasanya aku jadi betah berlama-lama di sini.”
            “Kenapa?” tanyanya heran.
            Aku mengangkat bahu.
            “Mungkin lagi dapat ilham untuk nulis cerita dengan latar belakang Cirebon, ya?”
            Aku menggeleng.
            “Lalu?”
            “Lalu, selesai liburan semester ini aku pulang ke Jakarta. Kamu juga pulang, kan?”
            “Kamu ini aneh.”
            “Kok aneh?”
            “Kamu pasti cepat bosan di sini.”
            “Kalau bosan, tentu saja aku segera pulang. Kupikir, aku tidak akan bosan.”
            Kami menyeberang. Melangkah lagi menelusuri sepanjang jalan yang amat teduh. Lalu membelok ke kiri.
            “Percaya, deh! Kamu pasti cepat bosan,” nasehatnya lagi.
            “Kalau begitu doakan, dong, supaya betah,” suruhku.
            “Percuma doain kamu. Kamu orangnya kan suka berpetualang. Apa masih belum sadar juga?”
            “Namun, belakangan ini aku ngga suka lagi bepergian,” jelasku. “Tahu ngga apa sebabnya?”
            “Enggak.”
            Aku tidak segera menjawabnya. Kuingat buku harian itu.
            “Kok jadi diam?”
            Aku menarik napas.
            “Kamu yang membuat aku betah di sini. Sebenarnya aku tidak pernah punya rencana keliling Jawa selain Cirebon, kota kelahiranmu. Ya, aku pikir di sini amat menyenangkan… karena ada kamu.”
            “Jadi….”
            “Jadi, selama ini aku membohongi kamu,” potongku. “Kemarin di stasiun Gambir aku bersembunyi, menunggu kamu. Jadi, pertemuan kita itu bukan secara kebetulan.”
            “Untuk apa kamu lakukan itu semua?”
            “Untuk bisa selalu bertemu kamu,” jawabku. “Dua bulan liburan rasanya terlalu lama berpisah dengan kamu.”
            Dia tertunduk. Namun, tiba-tiba dicubitnya lenganku dengan keras.
            “Ih, kamu jahat! Kamu curang!”
            Aku menangkap lengannya.
            “Kamu cakep. Kamu manis. Kamu membuat aku terpaksa lama tinggal di sini. Karena itu kamu juga harus bertanggung jawab kalau badanku nanti bau udang….”
            “Siapa suruh datang ke mari?”
            “Ooo, kamu, kamu yang nyuruh. Ingat kan waktu kemarin di Gambir?”
            Lenganku dicubitnya lagi. Ow, sakitnya minta ampun!
            “Kalau kamu cubit lagi, aku segera pulang!” ancamku.
            “Biarin! Pulang aja sekarang!”
            Aku tak berkata apa-apa. Kalau pulang, aku akan kesepian. Lalu, aku memandangnya. Seketika dia tertunduk. Ah, alangkah manisnya dia. Alangkah makin suka aku padanya. Tanpa ragu-ragu aku meraih lengannya. Kubawa dia ke ujung jalan sana.



Kamis, 28 April 2011

Aku Punya Impian

Catatan: Tulisan ini bertajuk Sekolah Masa Depan: Kenangan dan Harapan untuk SMA Immanuel Medan, dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 7 Juli 2003

Ketika belajar di Jepang
Ketika melintas di bawah pepohonan rimbun pada sebuah jalan di Penang, Malaysia, guide tour yang memandu perjalanan kami,  menunjuk ke gedung tua yang berdiri kokoh di atas halaman rumput yang luas. “Itu bekas sekolah saya. Kami dulu menggunakan English sebagai bahasa pengantar,” ujarnya bangga.

Tentu saja, sahabat dari negeri jiran itu tidak bermaksud pamer. Diam-diam aku pun merasa kagum melihat bangunan tua itu. Mungkin sudah ratusan tahun usianya tapi kelihatan sangat terawat. Di negeri kita gedung-gedung kuno dibiarkan tak terurus (lihatlah, apa yang terjadi dengan istana Maimun di Medan). Atau lenyap satu demi satu ditelan waktu digantikan gedung-gedung  seperti susunan kotak korek api. Peninggalan-peninggalan masa silam yang merupakan saksi-saksi bisu dalam mengungkap proses panjang sejarah negeri kita, sudah begitu langka.

Aku pun terkenang bekas sekolah tercinta, SMA Immanuel Medan. Dalam hal “pamer” sekolah, sebenarnya aku juga sering melakukannya kepada siapa saja bila melintas di sepanjang jalan Slamet Riadi-Jendral Sudirman. Ya,  aku bangga sekali pernah bersekolah di sana. Dan aku tahu, banyak sekali pelajar ingin sekolah di sana.

Bagiku, menuntut ilmu di Immanuel merupakan satu perjuangan yang tak pernah terlupakan. Usai SMP (1981), aku memutuskan sendiri untuk melanjutkan sekolah  di sana. Aku tidak perlu meminta pertimbangan dari siapapun. Bapak pasti keberatan kalau aku beri tahu biaya pendaftarannya. Aku takut dianggap macam-macam saja. Lalu, dari mana aku memperoleh biayanya? Aku beruntung, aku dapat hadiah dari Tabanas sebesar Rp 1 juta setahun sebelum masuk SMA. Uang itulah aku gunakan untuk biaya pendaftaran.

Waktu itu aku sangat terpengaruh pesan Bung Karno yang tertulis dalam buku tulis, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit!”. Sebagai anak remaja, aku sudah punya impian, yakni kuliah di perguruan tinggi ternama di negeri ini, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia! Pada waktu itu, betapa heboh rasanya melihat orang-orang yang berhasil masuk perguruan tinggi negeri (PTN) bergengsi seperti UI, ITB, UGM,  dan UNPAD. Nama kita pun terkenal karena bagi yang lulus diumumkan di koran-koran. Banyak pula yang bilang, lulusan UI gampang cari kerja! Jadi, siapa tidak ingin kuliah di sana?

Tentu aku sadar, jalan yang akan ditempuh tidaklah mudah. Bayangkan, betapa berat kompetisi yang harus dihadapi ribuan pelajar untuk mendapat sedikit kursi yang tersedia. Mereka yang punya cita-cita “setinggi bintang di langit”, pastilah jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri.

Aku pun menggunakan strategi yang muncul dari diri sendiri. Aku harus mencari sekolah bermutu, tempat aku dilatih untuk menghadapi ujian-ujian berat. Oleh karena itulah, aku pilih Immanuel. Kenapa di sana? Informasi yang aku peroleh dari mulut ke mulut: sekolah itu adalah sekolah anak-anak orang kaya, pintar-pintar, dan memiliki disiplin tinggi.  Betapa sempurna, pikirku waktu itu. Sudah kaya, pintar, disiplin lagi. Aku selalu berkata keras kepada diri aku: jangan sampai menjadi orang yang sudah miskin, bodoh, malas lagi!

Adapun informasi resmi yang kuperoleh dari harian Sinar Indonesia Baru, setiap tahun sekitar 50 persen dari total siswa lulusan SMA Immanuel masuk PTN.  Informasi ini  penting sekali bagiku. Ini menjadi semacam pendorong semangat  bagiku untuk berjuang dalam menggapai cita-cita. Dalam hitunganku, kalau ada seratus murid yang lulus, dan andaikata aku termasuk dalam rangking 50 besar, maka secara statistik aku sudah lulus. Apalagi kalau aku masuk ranking sepuluh besar!

Bagiku, Immanuel adalah “The Real School”. Sekolah yang benar-benar aku impikan. Mula-mula aku heran menyaksikan penampilan guru-guru berdasi, apalagi lengkap dengan kacamatanya. Ya, mirip  dengan direktur perusahaan besar. Sungguh berwibawa. Materi-materi pelajaran disampaikan oleh guru-guru berdedikasi tinggi. Sampai sekarang aku ingat, guru Biologi, Bapak Sihombing menyampaikan metode belajar secara mudah. Misalnya, untuk mengingat nama planet-planet secara berurutan dari matahari, sebut saja “mamevebu mayu sauneplu”, yakni singkatan dari Matahari, Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto. 

Strategi lain adalah fokus pada pelajaran yang akan diuji di PTN, yakni Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan IPS (Ekonomi, Sejarah, Geografi, Pendidikan Moral Pancasila). Secara khusus aku menambah jam belajar untuk keempat  pelajaran tersebut. Meminjam istilah Stephen R Covey, dalam buku First Things First, keempat pelajaran itu merupakan kuadran kualitas. “Disinilah kita melakukan perencanaan jangka panjang, mengantisipasi, dan menanggulangi masalah-masalah untuk memperluas cakrawala pikir kita, dan meningkatkan keahlian kita”, tulisnya.

Menurutku, mempelajari seabrek pelajaran lain seperti Olah Raga, Tata Buku, Hitung Dagang, Seni Rupa, Kesenian (belajar baca not-not balok yang selalu membuat kami tertawa), Stenografi, dan Bahasa Jerman adalah …. bukan saja tidak perlu, tapi juga tidak penting! Aku dulu berjanji, tidak akan bersedih kalau ada angka merah dalam salah satu pelajaran tersebut. Visiku jelas: UI. Aku sudah cukup direpotkan dengan pelajaran-pelajaran yang akan diujikan untuk PTN. Kenapa kita mau direpotkan dengan pelajaran-pelajaran lain yang sama sekali tidak diperlukan untuk masuk UI? Kenapa kita harus buang-buang waktu?

Pernah aku berkunjung ke Singapura, dan  bertanya kepada seorang anak Medan yang melajutkan studi di sana tentang pelajaran di Indonesia. Jawabannya sungguh mencengangkan. Menurutnya, pelajaran di Indonesia terlalu banyak.  Bahkan, orang tuanya yang lulusan Inggris  menegaskan, dibandingkan dengan negeri David Beckham, pelajaran di Indonesia terlalu berat sangkin banyaknya.  Bayangkan, seorang siswa harus mempelajari banyak pelajaran yang belum tentu diminati.

Aku teringat komentar mantan Perdana Menteri legendaris Inggris, Winston Churchill dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century karya Colin Rose dan Malkolm J. Nicol: “Saya mau merayakan ulang tahun ke-12 ketika menghadapi  ujian-ujian sekolah yang tidak ramah, yang selama tujuh tahun berikutnya saya diwajibkan menempuh perjalanan itu. Ujian ibarat persidangan besar bagi saya. Subjek-subjek yang disukai para penguji hampir semuanya adalah materi-materi yang tidak saya sukai. Sebenarnya  saya   lebih  suka    diuji dalam subjek sejarah, puisi, dan esai. Tetapi, di pihak lain, para penguji lebih suka Bahasa Latin dan Matematika. Dan kehendak merekalah yang berlaku. Terlebih lagi pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentang kedua subjek tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama sekali tidak mampu saya jawab dengan memuaskan. Saya sebenarnya lebih suka jika diminta untuk mengatakan apa yang saya ketahui benar-benar, tapi mereka selalu mencoba menanyakan apa yang tidak saya ketahui. Ketika saya bermaksud hendak menunjukkan pengetahuan saya, mereka mencoba mencari-cari dan mengungkap ketidaktahuan saya. Perlakuan semacam itu hanya akan mengakibatkan satu hasil, saya tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik”.

Colin Rose dan Malcolm J Nicholl menegaskan, “Hampir di mana pun, kegembiraan belajar sering berubah menjadi cercaan kejam. Pembelajaran menjadi disamakan dengan pemerolehan serpihan-serpihan informasi yang diperlukan untuk lulus ujian dan memperoleh gelar. Subjek-subjek pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi saling tidak terkait dan terpisah dari dunia nyata. Belajar menjadi beban yang membuat stres.”

Sekarang, setelah mengevaluasi strategiku dalam belajar, aku pikir, itulah cara  terbaikku. Perlu aku   sampaikan,   salah satu strategi siswa-siswa Indonesia yang berhasil merebut perhatian dunia dengan menyabet sejumlah medali dalam Olimpiade Matematika, Kimia, dan Fisika, yakni mereka dikarantina sebelum bertarung ketat, dengan latihan-latihan yang fokus dan dilakukan secara menyenangkan. Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika dalam latihan itu mereka dijejali dengan pelajaran “gado-gado”?

Oh ya, perlu kusampaikan, kerja kerasku di Immanuel akhirnya membuahkan hasil: aku selalu masuk tiga besar di jurusan IPS, kemudian pada semester V-VI, aku ranking pertama! Aku berbisik dalam diriku, lihatlah aku menjadi juara pertama di sekolah terbaik di Medan.... Aku pun semakin mantap mendaftar ke UI. Demikian pesan guru bahasa Indonesia, Bapak Surbakti yang masih aku ingat, “Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut.” Artinya, “Sesuatu itu menjadi milik kita kalau diulang-ulang melakukannya”. Tersirat dalam pesan itu, menuntut ilmu  butuh kesabaran; tidak ada jalur cepat menjadi orang sukses.

Usai ujian masuk PTN, aku pergi ke Semarang. Berlibur di rumah kos abangku yang kuliah di Universitas Diponegoro. Aku pun berpikir, kalau gagal masuk PTN, aku akan ikut bimbingan tes selama setahun. Namun, abangku merasa yakin, aku akan berhasil dalam ujian, minimal masuk Komunikasi Massa USU sebagai pilihan kedua, mengingat hasil tesku sekitar 75 persen dari seluruh soal bisa aku kerjakan dengan benar.

Hasil tes Sipenmaru diumumkan pada Sabtu, 14 Juli 1984. Namun, pada hari itu aku belum tahu apakah berhasil atau tidak. Aku mengikuti ujian di Medan, termasuk rayon Barat, sedangkan Semarang masuk rayon tengah. Aku sempat pergi ke kampus Undip untuk mencari informasi, tapi yang kulihat hanya hasil ujian untuk rayon tengah. Maklum saja, pada waktu itu, informasi tidak secepat sekarang beredar. Abangku pun terpaksa berangkat ke Bandung untuk mencari informasi penting itu.

Keesokan harinya, seusai ibadah, seorang pengurus gereja mengatakan, namaku kayaknya ada tercantum di koran Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Membuat jantungku berdebar-debar. Benarkah? Ah, jangan-jangan dia sedang bercanda, menganggap cita-citaku masuk Ekonomi UI terlalu muluk-muluk? Bukankah dia sendiri mengatakan, “Kayaknya....” Ah, lebih baik jangan langsung percaya dulu, nanti kecewanya bukan main kalau ternyata  bukan namaku. Namun, untuk meyakinkanku, dia mengajakku ke rumahnya untuk melihat koran itu. Terlebih dahulu kami mengantarkan keluarganya ke stasiun kereta api, Tawang untuk tujuan Jakarta. Sembari menunggu kereta api berangkat, aku melihat penjaja koran lewat. Aku pun memanggilnya. Dengan tak sabar dan jantung semakin berdebar-debar kencang, aku membuka lembaran koran yang memuat nama-nama yang masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ya, Tuhan, ternyata ada namaku! Tanganku seketika gemetar, karena aku masih belum begitu yakin, toh banyak yang mirip namanya, bukan? Siapa tahu itu bukan aku? Lalu, aku menoleh ke nomor ujian yang juga dimuat dalam koran itu. Ya, itu nomor ujianku.  Aku ingat betul. Cihuy…! Aku lulus! Aku lulus! Tanpa sadar, aku berteriak keras dengan tangan terkepal di peron itu. Orang-orang melihatku. Mereka segera tahu apa yang sedang terjadi. Karena pada saat itu di seantero negeri ini sedang “demam” masuk perguruan tinggi dambaan.  Mereka pun mendatangiku, dan menyalamiku. Impianku menjadi kenyataan!    

Minggu, 24 April 2011

Sejarah Paskah

         Catatan: Artikel ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 16 April 2006.


         Sejarah mencatat, Paskah pertama terjadi pada malam tanggal 14 bulan Nisan sekitar 3.500 tahun silam ketika bangsa Israel meninggalkan Mesir. Empat hari sebelumnya, Tuhan berkata kepada Musa agar menyuruh setiap rumah tangga memilih seekor anak domba jantan berumur setahun dan tidak cacat. Setelah dikurung empat hari, domba itu disembelih pada waktu senja. Kemudian  darahnya dibubuhkan pada kedua tiang pintu dan ambang atas pada setiap rumah di mana orang memakannya. Pada malam itu juga Tuhan akan mengelilingi tanah Mesir untuk membunuh semua anak sulung dari anak manusia sampai anak binatang dan menghukum semua dewa di Mesir. Darah itu menjadi tanda di rumah-rumah orang Israel tinggal. Apabila Tuhan  melihat darah itu, maka Ia akan melewati mereka. Tidak akan ada tulah kematian di antara kaum Israel. Alkitab mencatat secara rinci peraturan Paskah sesuai dengan petunjuk Tuhan (Keluaran 12).
Tuhan berfirman pula agar mereka membuat peristiwa itu sebagai hari raya bagi Tuhan yang harus dirayakan turun-temurun. Paskah dalam bahasa Ibrani adalah Pesach atau Pesah, artinya melewati. Ketika melihat tanda darah itu, maka “Aku akan lewat dari pada kamu,” ujar Tuhan dalam Keluaran 12:13. Demikianlah orang Israel setiap tahun merayakan Paskah pada hari ke-14 bulan Nisan. Hingga kini, Paskah menjadi salah satu tanggal penting dalam kalender Yahudi. Bagi rakyat Israel, Paskah berarti mengenang saat pembebasan bangsanya dari perbudakan Mesir.
Hari Paskah pada zaman Yesus dirayakan-Nya pada malam sebelum Ia ditangkap (Matius 26:17). Dengan kata lain, setelah makan Paskah, Yesus bersama murid-murid-Nya menuju Getsemani, di mana kemudian orang-orang suruhan para pemimpin agama Yahudi menangkap-Nya. Namun, Rasul Yohanes mencatat, hari Paskah dirayakan setelah penangkapan itu. “Maka mereka membawa Yesus dari Kayafas ke gedung pengadilan. Ketika itu hari masih pagi. Mereka sendiri tidak masuk ke gedung pengadilan itu, supaya jangan menajiskan diri, sebab mereka hendak makan Paskah” (Yohanes 18:28).
Catatan di Alkitab menunjukkan, terdapat perbedaan sehari bagi Israel dalam merayakan Paskah. Kenapa demikian? Secara turun-temurun rakyat Yahudi mengikuti panduan Paskah dari Perjanjian Lama. Antara lain, mereka memilih korban sembelihan pada empat hari sebelum tanggal 14 bulan Nisan. Dengan kata lain, mereka telah disibukkan memilih domba-domba yang memenuhi persyaratan sebagai korban Paskah pada tanggal 10 bulan Nisan, yakni hari Senin pekan itu. Perbedaan hari perayaan Paskah kemudian muncul disebabkan bangsa Yahudi pada zaman Kristus memiliki dua metode penghitungan kalender. Orang Farisi, orang Galilea (Yesus berasal dari sini), dan distrik-distrik utara Israel, menghitung tiga hari dari matahari terbit sampai matahari terbit. Sedangkan orang Saduki, orang Yerusalem, dan distrik-distrik selatan Israel menghitung hari dari matahari terbenam sampai matahari terbenam. Menurut wilayah utara, tanggal 14 bulan Nisan berarti jatuh pada hari Kamis, sedangkan menurut wilayah selatan, jatuh pada hari Jumat.     
            Sebagai pengikut Kristus, kita percaya bahwa Yesus menjadi Anak Domba Allah yang dikorbankan untuk menebus dosa-dosa kita (Yohanes 1:29). Paskah terakhir Yesus pada malam itu tentu tak akan pernah kita lupakan. Seniman besar Leonardo da Vinci (1452-1519) mengabadikannya melalui lukisan terkenal Perjamuan Terakhir untuk mengenang peristiwa itu. Alkitab mencatat: “Dan ketika mereka sedang makan, Yesus mengambil roti, mengucap berkat, memecah-mecahkannya lalu memberikannya kepada murid-murid-Nya dan berkata, “Ambillah, makanlah, inilah tubuh-Ku.” Sesudah itu, Ia mengambil cawan, mengucap syukur, lalu memberikannya kepada mereka dan berkata, “Minumlah kamu semua, dari cawan ini. Sebab inilah darah-Ku, darah perjanjian, yang ditumpahkan bagi banyak orang untuk pengampunan dosa” (Matius 26:26-28).
            Tentu saja, Paskah sejati terjadi pada Perjanjian Baru, ketika darah Yesus, Anak Domba Allah itu, dicurahkan untuk melepaskan umat manusia dari perbudakan dosa. Seperti tulis Alkiab, “Sebab tidak mungkin darah lembu jantan atau darah domba jantan menghapuskan dosa” (Ibrani 10:4).
Lalu, sebagai pengikut Yesus Kristus, kapan tepatnya kita merayakan Paskah? Tidak seperti Natal, yakni mengenang kelahiran Yesus yang puncaknya jatuh pada setiap 25 Desember, kita tidak memiliki tanggal yang tetap untuk merayakan Paskah. Jangankan tanggal, bulan untuk merayakan Paskah juga sering tidak sama dari tahun ke tahun. Terkadang diperingati pada bulan Maret, terkadang  April.
Pada mulanya memang ada usulan dari jemaat Kristen asal Yahudi agar hari Paskah ditetapkan seperti dalam kalender Yahudi, tanggal 14 bulan Nisan. Artinya, Paskah bisa jatuh pada hari apa saja. Namun, ada pula pendapat agar Paskah tetap dirayakan pada hari Minggu setelah kebangkitan Yesus. Namun, tepatnya hari Minggu yang mana?
            Kemudian, pada tahun 325 dalam sebuah konsili (persidangan gerejawi) di Nicea, dikeluarkan sebuah ketetapan untuk hari Paskah yakni, pada hari Minggu pertama sesudah purnama, setelah tanggal 21 Maret permulaan musim semi. Jika purnama jatuh pada hari Minggu, maka Paskah dirayakan pada hari Minggu berikutnya. Keputusan itu dipegang terus oleh semua gereja di seluruh dunia hingga kini. Bisa dipastikan, setiap tahun Paskah jatuh antara tanggal 22 Maret-25 April. Karena  purnama bisa dihitung jauh hari sebelumnya, maka tanggal Paskah bisa dibuat beberapa tahun ke depan. Selamat Paskah!