Sabtu, 20 November 2010

Berkunjung ke Makam Sun Yat-sen

 Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 28 Novemeber 2004


Sun Yat-sen (1866-1925)
            Setelah menempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Shanghai, bus yang saya tumpangi akhirnya memasuki pinggiran Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu. Kota itu terletak di barat laut Sanghai. Nanjing adalah sebuah kota tua yang menyimpan banyak sejarah Tiongkok. Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644), Nanjing menjadi ibukota China. Di kota inilah kaisar dan keluarganya dimakamkan. Di sini pulalah, dimakamkan pahlawan besar China, Sun Yat-sen (1866-1925).
Bus berhenti di pinggiran hutan kecil. Begitu kaki menginjak bumi, angin musim gugur di awal November mulai terasa dingin. Betapa nyaman dan teduh berjalan di antara pepohonan tua rimbun yang daun-daunya mulai menguning. Mengigat saya pada  sajak Robert Frost (1874-1963), penyair Amerika Serikat yang terkenal itu.

Two roads diverged in a yellow word
And sorry I could not travel both
....
I took the one less travelled by
And that has made all the difference

Dua jalan bercabang di hutan kuning
Sayang, aku tak bisa menempuh keduanya
....
Aku pilih jalan yang jarang dilalui orang
Itulah yang membedakan segalanya

Tampak di hadapan saya anak-anak tangga yang terbentang mencapai punggung bukit. Itulah Zhongsan, satu dan empat pengunungan terkenal di selatan Sungai Yangtze yang termashur. Pada zaman Dinasti Qin (221-206 SM), pengunungan dengan ketinggian mencapai 448 m itu bernama Jinling. Konon, awan berwarna ungu sesekali menyelimuti puncaknya, sehingga orang-orang menyebutnya pula pegunungan ungu.
Di bukit itulah makam Sun Yat-sen berada. Makam indah yang bentuknya menyerupai  lonceng itu dibangun pada 1926 hingga selesai 1929. Kalau ingin mencapai makam itu, kita harus mendaki sebanyak 392 anak tangga. Itu berarti kita harus mulai  dari gerbang masuk (entrance) sejauh 700 m dengan ketinggian 70 m. Cukup membuat nafas ngos-ngosan dan kaki pegal. Namun, saya melihat ribuan pengunjung dengan penuh semangat menaiki anak-anak tangga itu.
Ide arsitek terkenal, Lu Yanzhi, yang merancang makam itu memang hebat. Disediakan sepuluh tempat perhentian yang cukup luas di antara ratusan anak tangga. Di setiap perhentian kita dapat memandang keindahan alam pegunungan, tentu saja termasuk pemandangan Nanjing yang tampak di kejauhan. Menambah semangat untuk mendaki lagi. Di situ, kita bisa pula memilih bermacam cenderamata menarik, seperti postcard bergambar Sun Yat-sen, patung kecilnya, buku-buku tentang perjuangan, dan baju-baju Tiongkok.
Dengan semangat tinggi akhirnya saya tiba di bangunan bergaya Tiongkok yang terbuat dari granit. Di ruang depan, tanpak patung pahlawan besar itu dalam posisi duduk. Wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Berjalan lebih ke dalam membuat banyak orang terpana memandang pusara itu, di atasnya terbaring tenang patung pualam Sun Yat-sen dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tampak teduh. Ribuan pengunjung yang datang setiap hari pastilah terkenang akan keberanian tokoh itu: dia berjuang gigih selama belasan tahun untuk mengakhiri sejarah ribuan tahun dinasti feodal; dia yang punya visi besar, China modern.
Sun Yat-sen lahir pada 12 November 1866 di Desa Cuiheng, wilayah Xiangshan (sekarang Zhongsan), Provinsi Guangdong. Ia adalah anak petani sederhana dengan nama keluarga Wen. Namun, ketika terjun ke dalam dunia politik, ia menggunakan nama Yat-sen alias Zhongsanqiao. Dari sinilah berasal nama Zhongsan. Sejak remaja ia  resah memikirkan masa depan China yang suram karena dinasti Qing yang korup. Dinasti itu didirikan oleh orang-orang Manchuria yang berkuasa sejak 1644.
Pada 1879, Sun berlayar ke Hawaii untuk belajar kedokteran di Tolani College dan Oahu College. Pada 1883, ia kembali ke China. Di negerinya, ia mendalami sejarah dan sastra China. Kemudian, ia  meninggalkan profesinya yang sangat menguntungkan. Ia  terpangil untuk tugas yang lebih besar, menyembuhkan bangsa China yang sakit. Pada 1894, Sun menyampaikan surat permohonan kepada Li Hong-zhang, pejabat teras Dinasti Qing, untuk mereformasi China secara total. Namun, keinginanya itu ditolak. Ia pun secara giat menyakan semangat orang-orang China perantauan untuk melakukan revolusi. Berulang kali ia memimpin pemberontakan, tapi selalu gagal. Akibatnya, ia pun terpaksa menyikir ke luar negeri.
Namun, ia tetap optimis dengan masa depan China. Selama di pengasingan ia mempelajari sistem ekonomi dan politik berat sambil merancang sistem yang cocok untuk China. Pada 1894-1895, ia mendirikan Xing Zhong Hui (Society for Revival of Cina) di Hongkong, Guangzhou, dan Jepang  dengan tiga program, yakni mengenyahkan orang-orang  Manchuria, kebangkitan kembali Cina, dan mendirikan pemerintahan oleh rakyat.
Di pengasingan, ia mendapat kabar bahwa pemberontakan di Wuchang (Provinsi Hubei) pada 10 Oktober 1911 berhasil. Ia pun semakin giat mencari sponsor dan bantuan diplomasi ke berbagai negara.
Pada bulan Desember 1911, ia pulang ke Shanghai. Sementara itu, delegasi dari semua propinsi yang terlibat pemberontakan mengadakan rapat penting di Nanjing. Mereka memutuskan Sun Yat-sen menjadi presiden sementara. Pada 1 Januari 1912, diambil sumpahnya untuk menjadi presiden sementara  Republik China. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Qing yang telah  berkuasa selama 268 tahun (1644-1911). Di bawah kepemimipinannya lahir konstitusi dasar sementara China. Sun  membuat doktrin Tiga Prinsip Rakyat: Nasionalisme, Demokrasi, dan Mata Pencaharian Rakyat. Ia memiliki visi, yakni China akan menjadi negara indenpenden, demokratis, dan makmur.
Namun, karena situasi politik semakin memburuk Sun mengundurkan diri dari jabatan presiden pada April 1912. Ia digantikan Yuan Shi-kai yang telah memaksa parlemen untuk memilih pada 1913.
Sejarah China mencatat, Yuan Shi-kai adalah penghianat revolusi. Setelah Yuan Shi-kai mengumumkan pembaharuan monarki China, Sun mendeklarasikan revolusi kedua yang bertujuan untuk menentangnya.
Pada 25 Oktober 1915 (dalam usia 49 tahun), Sun Yat-sen menikah dengan Soong Qing-ling di Tokyo. Istrinya adalah kakak kandung Soong May-ling, yakni istri Chiang Kai-sek (1887-1975). Baru-baru ini, dari berbagai media massa kita mendengar kabar bahwa Mayling meninggal pada Oktober tahun lalu di New York dalam usia 106 tahun.
Istrinya yang aktif dalam dunia politik, ikut membantu Sun mendirikan Partai Revolusioner Cina (Kuomintang). Pada 5 Mei 1921, ia dipilih lagi untuk menjabat presiden sementara. Namun, pada  12 Maret 1925 tersiar kabar sedih, pahlawan besar itu wafat di Beijing karena kanker hati. Untuk mengenang jasa-jasanya pemerintah membangun makam yang indah di pengunungan Zhongsan, Nanjing. Chiang Kai-sek seorang pengikut setianya, meneruskan kepemimpinannya.
Perlu ditambahkan, pada 1949, China jatuh ketangan orang-orang komunis. Memaksa Chiang Kai-sek yang anti komunis itu mengungsi ke Taiwan.  Sun Yat-sen sendiri (penganut Kristen) semasa kepemimpinannya dengan tegas menolak komunisme. Ia menganggap, ideologi itu tidak mendukung kemajuan bagi umat manusia, sehingga tidak cocok untuk China.
Pada tahun itu pula Republik China berganti nama menjadi Republik Rakyat China. Kita ketahui kedua negara akhir-akhir ini sedang dihangatkan lagi oleh isu pemisahan Taiwan dari China daratan. Namun, kedua negara sangat menghormati jasa-jasa besar Sun Yat-sen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar