Sabtu, 12 Maret 2011

Taat


Alkitab mencatat, berulang kali rakyat Israel memberontak terhadap Musa. Jelas, ini menunjukkan ekspresi kekecewaan dan ketidakpercayaan terhadap pemimpin pilihan Tuhan itu. Padahal melalui nabi besar itu, mereka sudah menyaksikan mukjizat-mukjizat Tuhan. Ya, bangsa Israel tercekam ketakutan saat menyaksikan nyawa setiap anak sulung Mesir direnggut. Mereka takjub menyaksikan Laut Merah dibelah sehingga mereka yang berjumlah sekitar dua juta orang itu dapat berjalan menuju seberang, akhirnya luput dari kejaran pasukan Firaun.
Antara Mesir yang makmur dan Tanah Perjanjian yang berlimpah susu madunya terbentang jarak sekitar 300 km. Dalam keadaan normal dapat ditempuh hanya sekitar dua minggu dengan berjalan kaki. Namun, sejarah mencatat bahwa bangsa itu  menempuhnya selama hampir 40 tahun (menurut perkiraan berlangsung pada 1446 SM-1406 SM). Kenapa begitu lama? Ya, karena kejahatan mereka sendiri.  “Kamu ini bangsa yang tegar tengkuk,” ujar Tuhan. Bangsa pemberontak itu membuat Musa sebagai pemimpin sangat menderita. Di Mara, mereka bersungut-sungut karena kehausan. Di padang gurun Sin, mereka menantang Musa karena kelaparan. Bahkan nyawa Musa sering terancam, mereka pernah nyaris melemparinya dengan batu, membuat Musa ketakutan dan  berseru-seru kepada Tuhan agar segera mengirimkan tuntutan kebutuhan bangsa itu.
Sesungguhnya, Tuhan tidak pernah membiarkan umat yang dikasihi-Nya itu menderita. Ketika haus, Tuhan menyediakan air minum. Ketika lapar, Tuhan menurunkan  hujan roti (manna) dari langit. Ya, tak seorang pun dibiarkan Tuhan binasa karena kehausan dan kelaparan. Perbuatan ajaib Tuhan selalu datang tepat pada waktunya. Hanya bangsa itu tak sudi menahan diri. Alih-alih bersyukur, mereka malah menista Tuhan. “Makanan hambar ini kami telah muak,” ujar mereka.
Mereka juga mempersoalkan kepemimpinan Musa. Mereka mengatakan, akan mengangkat seorang pemimpin yang membawa pulang ke Mesir. Sekali waktu, Musa tak dapat lagi menahan diri. Ia begitu sedih. “Akukah yang mengandung seluruh bangsa ini dan akukah yang melahirkannya...?” (Bilangan 11:12). Aku sendiri tidak dapat memikul tanggung jawab atas seluruh bangsa ini, sebab terlalu berat bagiku.” (Bilangan 11:14).
Ya, bangsa Israel keliru. Musa sekali-kali tak pernah ingin menjadi pemimpin sekalipun sebenarnya layak sekali, mengingat integritasnya yang tinggi, memiliki keberanian, dan tentu saja  kecakapan intelektual, sebab ia adalah didikan Mesir, pusat kebudayaan tinggi pada masa itu. Patut diingat, Musa adalah mantan orang dalam istana. Status sosialnya begitu tinggi dan terhormat. Apakah ia pantas menerima caci-maki dari rakyat Israel yang adalah budak-budak Mesir? Dan bukankah ia  sendiri pernah menolak Tuhan yang memilihnya menjadi pemimpin Israel? Ia sudah mengaku tak pandai berbicara. Ia juga  meminta Tuhan agar menyuruh orang lain yang dianggapnya lebih baik darinya. Namun, Tuhan terus saja mendesaknya. Pada akhirnya, ia taat kepada Tuhan. Dan satu hal lagi, Musa bersedia menjadi pemimpin karena ia begitu mengasihi bangsanya yang telah diperbudak Mesir selama 400 tahun dengan kejam.
Sesungguhnya, Musa bisa balas dendam terhadap Israel. Ya, kalau mau, ia bisa menghindar dari beban tanggung jawab berat yang tidak seharusnya dipikulnya, dan membiarkan mereka binasa. Bukankah Tuhan sering murka terhadap bangsa itu? Beberapa kali Tuhan berniat melenyapkan mereka. “Oleh sebab itu biarkanlah Aku, supaya murka-Ku bangkit terhadap mereka dan Aku akan membinasakan mereka, tetapi engkau akan Kubuat menjadi bangsa yang besar,” ujar Tuhan kepada Musa. Namun, Musa menangis di hadapan Allah. Ia memohon, kiranya Tuhan masih mengingat sumpah-Nya kepada leluhur Israel: membuat keturunan mereka sebanyak bintang di langit. Mendengar ratapan Musa, menyesallah Tuhan karena malapetaka yang dirancang-Nya. Israel akhirnya luput dari kebinasaan (Keluaran 32).
Kenapa Israel sering memberontak? Bila kita simak Alkitab, apa yang menjadikan mereka tidak taat kepada Tuhan ternyata karena hal-hal lahiriah, yakni makanan dan minuman. “Ah, kalau kami mati tadinya di tanah Mesir oleh tangan Tuhan ketika kami duduk menghadapi kuali berisi daging dan makan roti sampai kenyang! Sebab kamu membawa kami ke luar ke padang gurun ini untuk membunuh seluruh jemaah ini dengan kelaparan,” sungut mereka kepada Musa di padang gurun Sin (Keluaran 16:2-3). Di Masa dan Meriba, saat kehausan, mereka bahkan dengan lantang berkata, “Adakah Tuhan di tengah-tengah kita atau tidak?” (Keluaran 17:7).
Alkitab mencatat, Tuhan akan berkenan memberikan tanah perjanjian yang berlimpah susu madunya dengan persyaratan Israel tetap taat kepada-Nya. “Hanya, janganlah memberontak kepada Tuhan,” tulis Alkitab (Bilangan 14:9). Namun, mereka tak perduli dengan suara Tuhan. Mereka lebih memilih makanan dan minuman daripada janji Tuhan. Itulah yang membuat mereka terus saja memberontak.
Kisah bangsa Israel yang dilepaskan Tuhan dari perbudakan Mesir sungguh relevan dengan kehidupan kita pada masa kini. Siapakah kita? Sebagai pengikut Kristus, kita adalah orang-orang yang telah menerima anugerah Tuhan. Kita telah dibebaskan dari perbudakan dosa dengan darah Kristus. Kalau nyawa anak-Nya yang tunggal itu rela dikorbankan bagi kita, lalu apa arti sekadar makanan dan minuman? Raja Daud mengatakan, “Jika aku melihat langit-Mu buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8:4). 
Sebagai orang-orang yang sudah dibebaskan dari perbudakan dosa, sesungguhnya kita sedang menuju tanah perjanjian baru. “Di rumah Bapa-Ku banyak tempat tinggal,” kata Yesus Kristus. Rasul Paulus mengatakan, kita mengharapkan kota yang akan datang. Ke sanalah visi kita harus tetap tertuju.  Namun, apakah kita taat kepada Tuhan dalam menjalani pahit getir padang gurun kehidupan menuju negeri yang dijanjikan? Pada kenyataannya, kita masih sering bersikap lebih jahat dari umat Israel itu padahal Tuhan sudah memberikan kecukupan. Kita masih terpikat dengan hal-hal duniawi. Ketika susah, seperti orang-orang Israel itu, kita pun meragukan eksistensi Tuhan: “Adakah sebenarnya Tuhan?”
Kita patut belajar taat seperti Musa. Kenapa ia begitu konsisten dengan sikapnya sekalipun nyawanya menjadi taruhannya? Rahasianya adalah Musa betul-betul mengenal Tuhan. Firman Allah kepada Musa, “Aku adalah Aku” (Keluaran 3:14). Artinya, tiada yang sebanding dengan-Nya. Tuhan adalah Tuhan. Ya, Tuhan adalah Maha Pencipta. Maha Pengasih. Dahsyat dan ajaib perbuatan-Nya. Lalu, siapakah manusia? Who am I?  Tuhan membentuk manusia dari debu tanah, suatu benda yang paling tak berguna. Manusia adalah makhluk lemah. Ya, Musa mengenal siapa sesungguhnya dirinya. Karena itulah ia selalu tergantung sepenuhnya kepada Tuhan. Ia percaya kepada panggilan-Nya. Sebagai penulis kitab Pentateukh (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan, Ulangan), Musa menyadari perbuatan-perbuatan ajaib Tuhan terhadap Abraham, Ishak, dan Yusuf. Ya, betapa di dalam setiap krisis yang dihadapi tokoh-tokoh leluhur Israel, Tuhan selalu bertindak tepat pada waktunya.
Ketaatan diperlukan untuk mencapai negeri yang dijanjikan Tuhan. Taat bukan sekadar beribadah kepada Tuhan, melainkan juga rela berkorban. Musa rela meninggalkan istana yang penuh kesenangan untuk berjalan melintasi padang gurun penderitaan. Abraham taat dengan mengorbankan Ishak, anak yang telah lama dinantikan ketika diminta Tuhan. Yesus taat kepada Allah dan tetap bertahan hingga mati di kayu salib. Dan Rasul Paulus tetap taat kepada Tuhan sekalipun dianiaya. Bagaimana dengan kita? Marilah kita introspeksi diri. Kalau kita sungguh-sungguh taat kepada Tuhan, apakah kita rela berkorban untuk-Nya? Alkitab menyatakan,  orang-orang yang taat kepada Tuhan, pada akhirnya menerima mahkota kemuliaan. Seperti kata Raja Daud, “… dan aku akan diam dalam rumah Tuhan sepanjang masa” (Mazmur 23: 6).
           

Kamis, 10 Maret 2011

Iklan IN LOVING MEMORY= Okultisme?

Catatan: Artikel ini dimuat di majalah Maranatha edisi Oktober 2008


            Tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting dari Batam bertajuk Koreksi Iklan dan Tulisan di Maranatha edisi September 2008 patut kita tanggapi. Dia mengatakan, iklan-iklan yang mengenang kepergian keluarga kita ke rumah Bapa di sorga seperti sering dimuat di Maranatha merupakan bentuk okultisme. Dia mengutip salah satu iklan yang pernah dimuat, “Sudah dua tahun bapa kami yang tercinta menuju rumah Bapa di sorga, dan kerinduan kami dan kenangan yang bapa tinggalkan, tidak pernah terlupakan oleh kami, sewaktu engkau memimpin kami menuju kepada cita-cita kami….”
            Tentang iklan-iklan semacam itu, Pertua Arnol Raymon Ginting menasihati kita, khususnya jemaat GBKP, “Penting sekali untuk disampaikan agar kita jangan terjerat pada tipu muslihat iblis.” Dan kepada redaksi Maranatha dianjurkan agar menjadi pendidik iman bagi warga GBKP, dan lebih selektif menerima iklan-iklan.
            Kenapa pembaca dan redaksi Maranatha memuat iklan-iklan semacam itu? “Dan secara iman, saya mau katakan bahwa dasar kekristenan kita masih dangkal,” tulis Pertua Arnol Raymon Ginting. Ditambahkannya, “Gereja kita memang adalah gereja suku, yang notabene segala tindak lanjut kita hanya kita orang Karo saja yang tahu. Tapi sekali lagi, saya mau katakan bahwa GBKP adalah gereja Tuhan untuk semua suku dan bangsa, dan ini adalah aset Tuhan yang perlu untuk dilindungi. Jadi bila ada gereja lain (bukan GBKP) mengatakan kita mengadopsi okultisme, kita sepertinya marah besar, dan sebenarnya kita dihargai adalah karena perbuatan dan pemahaman kita sendiri. Bagaimana kita bisa menyatakan salah kepada orang lain padahal kita sendiri belum hidup dalam kebenaran?”
            Dua pertanyaan saya terhadap tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting adalah pertama, benarkah karena GBKP sebagai gereja suku sehingga tanpa sadar banyak jemaatnya memuat iklan yang dikatakan sebagai bentuk okultisme? Kedua, apakah iklan-iklan itu merupakan bentuk okultisme?
            Baiklah, saya jawab sendiri kedua pertanyaan di atas. Pertama, sudah jelas bahwa bukan hanya GBKP yang membuat iklan kenangan terhadap sesorang yang telah menghadap kepada Tuhan. Dalam bahasa Inggris ditulis: In Loving Memory. Dari sini saja kita bisa menyimpulkan, tradisi mengenang kepergian seseorang (atau lebih) yang telah mendahului kita menghadap Tuhan, bukan dari GBKP. Mungkin saja dari barat (Eropa dan Amerika). Justru kita yang ikut-ikutan. Coba saja kita simak pada harian SIB terbitan Medan. Pada pekan pertama September 2008 saja, saya sudah melihat dua iklan kenangan seperti yang termuat di Maranatha. Dan keduanya bukan jemaat GBKP. Jadi, kalau dikatakan karena GBKP sebagai gereja suku sehingga banyak jemaatnya tanpa sadar memuat iklan yang dikatakan sebagai bentuk okultisme, sesungguhnya tidak tepat.
            Kedua, iklan-iklan In Loving Memory (Ibas Ingeten dalam bahasa Karo) yang banyak kita lihat di berbagai media massa, apakah itu sebenarnya merupakan bentuk okultisme? Pt Arnol Raymon Ginting menulis bahwa okultisme, yaitu berbicara kepada orang yang sudah mati walaupun hanya melalui tulisan.
            Terus terang, saya suka sekali berbicara sendiri kepada alam semesta beserta isinya yang indah ciptaan Allah, Bapa kita. Ketika melihat bunga-bunga di taman, saya suka memuji keindahannya. Terkadang saya menulis keindahan itu dengan menulis beberapa puisi. Tentu saja, saya tidak sendiri. Ketika melihat purnama di langit, isteri saya suka bernyanyi, “O bulan indah cahayamu dalam malam yang gelap. Melihatmu lupa aku akan dukaku….  Apakah ini termasuk okultisme, berbicara kepada benda-benda tak bernyawa? 
Oh ya, pada saat membaca tulisan tentang iklan di Maranatha terlihat oleh saya buku harian yang sudah berumur sebelas tahun. Saya membuka lembaran-lembarannya, dan di satu halamannya, saya membaca tulisan saya sendiri, “Jumat, 22 Agustus 1997. Bapak meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya…. Aku lihat tubuh bapak dibaringkan di tanah (Bapak saya seorang muslim dan haji). Lalu, ditutup dengan tanah. Ya, bapak telah tiada. Bapak sudah bersatu dengan tanah. Selamat jalan, bapak! Aku takkan pernah melupakan Bapak. Apakah bapak tahu, hatiku begitu sepi….”
            Sepuluh tahun setelah kepergian bapak, dan untuk mengenang kebaikannya, saya atas nama keluarga menulis kata-kata ini di Maranatha edisi September 2007: “Tiada terasa betapa cepat waktu berlalu. Meskipun bapak telah lama pergi, kami tetap mengenang kasihmu.”  Apakah itu bentuk okultisme? Apakah saya termasuk orang Kristen yang telah terjerat tipu muslihat iblis dengan iklan itu? Ketika menulis kata-kata itu, saya seperti menulis puisi, tanpa pernah membayangkan bapak akan membacanya dari alam sana, sehingga dia bangga dan terhibur melihat anak-anaknya yang selalu mengenangnya. Terus terang, saya adalah orang yang paling menantang okultisme. Ketika bapak masih hidup, dia seperti umumnya kaum muslim suka sekali berjiarah ke kuburan. Pernah dia menasihati saya agar rajin berjiarah ke kuburan ibu saya agar sehat-sehat dan tercapai cita-cita. Dan dengan kalem saya berkata, “Saya meminta dan menerima semua itu hanya dari Tuhan.” Waktu itu, saya lihat bapak agak berkecil hati.
            Saya kutip saja satu artikel oleh Tikwan Raya Siregar bertajuk Inside Tan Malaka yang dimuat dalam majalah pariwisata Inside Sumatera edisi Agustus 2008: “Engku, entahlah kau komunis atau nasionalis, tapi kami tahu bahwa kau bukan seorang opurtunis, kutu loncat, dan pemakan daging-keringat rakyat sendiri. Itu saja sudah cukup bagi kami untuk memahami garis perjuangan yang kau pilih…. Dan aku mengingatnya sendirian bersama dua cangkir kopi di sebuah lobby yang ramai, yang satunya seharusnya kau (maksudnya Tan Malaka- penulis) yang minum. Sebagai imbalan kecil atas pujianmu pada kota Medan yang kami cintai ini.” Tulisan ini mengingatkan saya pada sajak terkenal Antara Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar yang mengenang pahlawan-pahlawan tanpa nama yang berguguran pada masa perjuangan kemerdekaan.
            Ya, ketika kita mengenang pahlawan-pahlawan kemerdekaan, apakah tiada yang terucap dalam hati? Sebagai orang Kristen, apakah tidak boleh mengungkapkan kekaguman kepada pahlawan-pahlawan yang telah gugur dalam bentuk syair dan puisi, lalu mengirimkannya ke Maranatha? Ya, boleh saja. Karena, iman saya masih dangkal. Itu adalah okultisme. Begitukah?
            Ketika saya membaca tulisan Pertua Arnol Raymon Ginting, saya hanya berpikir, tulisan itu tidak lebih dari nasihat yang paralel dengan pesan pengkhotbah-pengkhotbah paling bersemangat yang banyak bermunculan akhir-akhir ini: Jangan mengikuti adat! Itu adalah okultisme; Jangan sembarang makan di desa-desa! Banyak begu ganjangnya; Waspadalah dengan lukisan-lukisan dari Bali! Banyak roh jahatnya. Harus dibakar di dalam nama Tuhan Yesus (Pesan saya, kalau punya lukisan Bali, jangan dibakar. Kirim saja buat saya. Dijamin seribu persen, setannya akan lari begitu melihat saya); Jangan suka merokok (saya tidak merokok), karena tubuhmu adalah bait Roh Kudus (1 Korintus 6:19)! Merokok itu merusak bait Roh Kudus! (Lalu, bagaimana dengan Pendeta dan Pt/Dk yang suka merokok bahkan pada saat sidang runggun? Apakah mereka ini termasuk orang-orang yang sedang merusak bait Roh Kudus?), dsb-dsb!
            Pada akhirnya, saya kutip saja defenisi okultisme dari kamus Webster’s New World Dictionary, yakni percaya kepada kuasa gaib. Dengan demikian, ketika kita berkirim iklan kenangan ke Maranatha atau menulis syair untuk mengenang pahlawan-pahlawan kita, tentu saja bukan termasuk bentuk okultisme karena sebagai orang Kristen, kita tidak pernah berharap akan ada kuasa gaib, misalnya, roh orang tua kita yang sudah meninggal akan melindungi kita dari marabahaya.