Sabtu, 28 Mei 2011

Yuzu dari Umajimura


Jepang, pada bulan Januari. Temperatur mendekati nol derajat Celsius. Suhu udara sedingin es. Setiap orang tampak mengenakan sepatu, sarung tangan, syal melilit leher, topi, dan pakaian berlapis-lapis, agar terhindar dari sengatan dingin. Aku pikir, dengan kondisi alam yang sepertinya akan membekukan apa saja,  mustahil sayur-mayur dapat tumbuh. Pikiran itu ternyata keliru. Di Tsukuba, sekitar 75 km di sebelah utara Tokyo, aku memasuki ladang tomat yang pada musim dingin diubah menjadi suatu ruangan berpenghangat. Betapa tanaman yang rentan penyakit itu tumbuh dengan buah-buahnya yang lebat merah merona.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tentu saja karena Jepang melakukannya dengan teknologi canggih. Para petani di negeri sakura tidak tergantung lagi sepenuhnya pada alam. Sekalipun salju turun, dan suhu sedingin es selama berbulan-bulan, tanaman bisa tumbuh dengan subur.  Sungguh mengagumkan, Jepang bukan negeri agraris, tapi mampu menghasilkan berbagai kejutan di bidang pertanian. Bukankah berita ini telah lama tersiar? Mereka mampu menghasilkan semangka berbentuk segi empat, sehingga sangat membantu dalam hal pengiriman. Mereka menanam strawberry di  larutan air (hydroponics). Mereka bercocok tanam tanpa menggunakan pestisida. Berita  ini tentu membuat kita semakin terkagum-kagum: pada 11 Januari 2005, para tokoh masyarakat Jepang secara bersama memanen padi di Pasona Corp, sawah berteknologi hidroponik yang terletak di ruang bawah tanah sebuah gedung di Otemachi, Tokyo (Kompas, 12 Januari 2005). Bukan mustahil, orang-orang Jepang akan bercocok tanam di kutub utara mengingat lahan yang semakin sempit.
Bagaimana harga sayur mayur di sana? Di suatu pasar swalayan aku mengamati yang kalau dikonversikan ke dalam rupiah,  tercatat harga tomat Rp. 40.000 per kg;  kol Rp. 30.000 per kg. Bisa kita bandingkan dengan di negeri kita, harga tomat di tingkat petani rata-rata Rp 2.000 per kg, dan kol Rp 500 per kg. Harga inipun tak selalu stabil. Terkadang jauh di bawah harga itu sehingga petani-petani kita terpaksa membiarkannya membusuk di ladang. Patut pula dicatat, para petani kita mengeluarkan dana yang yang lebih besar untuk pupuk dan pestisida. Ironisnya, sayur-mayur kita sering dihindari di pasar luar negeri karena diberitakan megandung zat-zat beracun.
Tak kalah mengesankan adalah saat aku berkunjung ke pabrik pengolahan yuzu di Umajimura. Desa itu terletak di prefektur (setingkat propinsi) Kochi yang ibukotanya juga bernama Kochi. Dari Tokyo kami terbang sekitar dua jam menuju kota yang terletak di pulau Shikoku bagian selatan. Pemandu kami, Takagi-san mengatakan, Umajimura terletak di pegunungan yang berada di wilayah pedalaman. Hasrat untuk tiba di sana  terpendam di hati sejak mendengar kata “pedalaman.” Mengingatkan aku pada tokoh legendaris Oshin, Musashi, dan kuil-kuil kuno tempat berlatih kaum samurai. Ya, seperti apakah Jepang di sana? Seperti apa ladang-ladangnya? Bagaimana kehidupan sehari-hari para petaninya? Berbagai pertanyaan memenuhi benakku.
Dari Kochi kami menumpang bus menuju Umajimura.  Melintasi jalan-jalan sunyi. Tiga jam kemudian kami tiba di tujuan.  Namun, pengertian pedalaman yang aku bayangkan dengan kenyataan sungguh jauh beda. Katanya pedalaman, tapi aku melihat para petani berseliweran mengendarai mobil-mobil keluaran terbaru di jalan-jalan yang mulus. Tak ubahnya seperti orang-orang kantoran di Tokyo. Dan di mana-mana tampak sudah tersentuh teknologi modern. Kata Takagi-san, mereka menjual hasil panen bukan dengan menerima uang tunai, melainkan secara otomatis jumlah uang di rekening bank akan bertambah. Hebat!
Yuzu merupakan jeruk yang sangat terkenal di seantero Jepang. Sastrawan terkemuka Jepang, Natsume Soseki (1867-1916) pernah menulis tentang yuzu, “Kamu mungkin bertanya-tanya, apa hubungan yuzu dengan mandi air hangat pada musim semi. Tak terhitung, pada musim dingin yuzu digunakan untuk berendam di air hangat. Itu adalah mandi malam yang sudah dilakukan sejak dahulu kala. Aroma yuzu dipercaya akan melindungi orang-orang yang berendam dari segala penyakit.”
Konon, yuzu berasal dari Sichuan dan Yunan, negeri Tiongkok. Masuk ke Jepang pada masa dinasti Heian (794-1185). Pada awalnya, penduduk desa memiliki kebiasaan menggunakan air perasan (cuka yuzu) untuk memasak. Penggunaan yuzu semakin berkembang terutama berkat peranan koperasi pertanian (Nokyo). Awal industri yuzu dimulai pada tahun 1965 dengan 10 peneliti. Pada saat panen, buah yuzu menggunung di lemari pendingin karena belum memiliki pasar. Penampilannya tidak menarik, kulitnya yang kuning berbintik-bintik hitam. Yuzu ditawarkan ke tempat penginapan dan usaha katering di Kochi yang hanya mengandalkan wisatawan lokal. Hingga tahun 1980, yuzu dari Umajimura nyaris tak dikenal. Suatu hari datang permintaan Departmen Store dari prefektur lain untuk ikut pameran dagang. “Dengan rasa malu karena belum memiliki jalur pemasaran, akhirnya diputuskan untuk mengikuti pameran dagang itu,” ujar pengurus Koperasi Pertanian Umajimura. Keikutsertaan dalam pameran menghasilkan penjualan lebih dari 1,2 juta yen, dan ini membawa secercah harapan. Sejak itu, yuzu sering ikut dalam pameran dagang.
Kalau hanya digunakan untuk bahan memasak,  penjualan yuzu pasti akan sulit berkembang. Apalagi produksinya terus berlimpah. Lalu,  dikembangkan cara agar yuzu dapat diolah menjadi bahan utama bermacam produk.  Misalnya, menjadi minuman ringan, campuran air untuk mandi, rempah-rempah, parfum, hand & body lotion, shower gel dan sebagainya. Berkat kerja keras, impian itu akhirnya menjadi kenyataan. Tercatat, angka penjualan produk olahan yuzu semakin meningkat. Pada Desember 2000 mencapai 2,57 milyar yen. “Kami ingat, pada awalnya betapa kewalahan  menjual yuzu. Sekarang yang terjadi adalah mulai kekurangan bahan baku. Perlu diambil langkah untuk menambah bahan baku, kemudian mengembangkan produk baru,” ujar pegawai pabrik pengolahan yuzu.
Disebutkan, bertanam yuzu tidak menggunakan pestisida yang mengandung zat-zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan. Lalu, apa yang dilakukan ketika hama dan jamur perusak menyerang? Mereka mengatasinya dengan bahan-bahan organik ramah lingkungan. Kulit yuzu yang diserang penyakit tampak bercak-bercak hitam. Penampilannya menjadi tidak menarik. Namun, hal itu tidak menjadi persoalan serius. Di dalam proses pengolahan bisa diatasi dengan baik. Patut dicatat, tidak ada bagian yuzu yang terbuang. Termasuk kulitnya bisa dimanfaatkan. Bagaimana harga yuzu? Sekitar Rp. 12.000 per kg. Ah, andai sepertiga saja dari nilai itu harga jeruk Brastagi, betapa petani-petani  kita akan makmur.
Pada tahun ke-35 sejak industri yuzu, konsumen semakin terkesan. Orientasi bisnis pun difokuskan pada mutu. Mengejar target penjualan memang penting, tapi diputuskan untuk tidak mengutamakannya. Dikatakan, sekadar mengejar target penjualan pasti ada lubang perangkapnya. “Paling penting adalah agar penggemar yuzu dari Umajimura yang telah membesarkan kami merasa puas. Kalau kami tidak peka pada konsumen, kami akan dilupakan,” ujar pimpinan pabrik pengolahan yuzu. Dalam hal pemasaran, baik melalui penampilan kemasan, poster, pamflet, maupun iklan di televisi  selalu pula diperbaharui agar tetap memikat konsumen.
Yuzu mirip jeruk citroen yang banyak tumbuh di negeri kita. Rasanya kecut dan asam. Untuk mengkonsumsinya harus diolah lebih dulu. Menurutku, yuzu tidak punya keistimewaan khusus dibandingkan dengan berbagai jenis jeruk kita. Begitupun, yuzu telah  mengubah banyak petani Jepang menjadi lebih makmur.
Lalu, bagaimana dengan jeruk kita? Sejauh mana kita sudah melakukan riset terhadapnya? Bermacam jenis jeruk yang tumbuh subur di negeri ini sebenarnya bisa juga dimanfaatkan seperti yuzu dari Umajimura untuk meningkatkan perekonomian para petani kita.

Jumat, 20 Mei 2011

Rumah Bapa di Sorga

Setelah menyampaikan Amanat Agung, Yesus memberkati murid-muridNya, dan pada saat itulah Ia terangkat ke sorga. Peristiwa itu terjadi sekitar dua ribu tahun silam dekat Betania, tidak jauh dari Yerusalem.
Peristiwa kenaikan Yesus ke sorga semestinya menjadi momentum bagi kita untuk merenungkan kembali eksistensi kita sebagai orang Kristen.  Socrates mengatakan, “Hidup yang tidak dikaji, tdak layak untuk dihidupi.” Ya, kita perlu mengkaji diri: kenapa saya menjadi pengikut Kristus? Apa yang harus saya lakukan di dunia ini? Apakah saya kelak tinggal di sorga bersama Yesus?
“Betapa indah dan mulia Sorga itu, kebanyakan orang Kristen tidak memikirkannya,” tulis penginjil besar, Dr Billy Graham dalam buku Facing Death and the Life After.
Suatu penelitian oleh Gallup (1982) yang dikutip Billy Graham menunjukkan, banyak anggota gereja  memiliki kepastian yang begitu lemah tentang hal masuk sorga. Di antara kelompok denominasi, hanya 24 persen Protestan yakin bahwa mereka akan masuk sorga, sedangkan Katolik sebanyak 41 persen. Menurutnya, orang-orang Kristen percaya akan mengalami kehidupan kekal di tempat indah bernama sorga, tapi pada kenyataannya masalah amat penting itu sering diabaikan seolah-olah sorga itu buikan apa-apa. Kenapa? Karena kita begitu terpesona dengan kehidupan di dunia ini. Kita terlalu sibuk mengejar sukses. Masalah setelah kematian urusan belakangan.
Alkitab dengan tegas mengatakan sorga itu ada. Alkitab versi King James mencatat 582 kali kata “sorga”. Lalu, apa yang dimaksud dengan sorga? Di dalam bahasa Ibrani (Perjanjian Lama), kata”sorga” adalah shamayim,  merupakan kata benda jamak yand secara harafiah berarti puncak atau tempat yang paling tinggi (the highest).
Di dalam bahasa Yunani (Perjanjian Baru), kata “sorga” adalah auranos. Kata ini menunjukkan pada suatu tempat yang tinggi dan mulia. Kedua kata itu tidak secara spesifik menunjukkan ke arah atas, melainkan lebih menekankan  dimensi di atas atau pada tingkat yang berbeda dengan bumi ini. Kalau kita menunjuk letak sorga secara geografis sembari menunjuk langit, maka kita salah. Sorga tidak terletak pada suatu area yang batas-batasnya ditentukan oleh panjang, lebar, dan tinggi. Sorga melampaui semua dimensi itu.
Sorga dirancang oleh arsitek agung, yakni Allah sendiri. Kita sering takjub melihat pemandangan di dunia ini. “Keindahan sorga adalah di atas. Keindahan bumi ada di Hangzhou,” tulis promosi wisata Tiongkok. Hawaii juga sering disebut sebagai sorga di dunia, sehingga banyak pelancong rindu untuk melihatnya. Namun, keindahan sorga melampaui batas imajinasi kita. Sorga adalah negeri yang mulia dan abadi. Sorga adalah Firdaus, di mana penjahat yang bertobat di kayu salib itu bersama orang-orang kudus sekarang ini tinggal. Rasul Paulus mengatakan, sorga adalah tanah air sorgawi yang ia rindukan. Ia mengatakan pula, sorga adalah kota kita yang akan datang, karena di bumi ini kita tidak punya tempat tinggal yang tetap.
Sebelum Yesus meninggalkan dunia  ini,  Ia berkata kepada Thomas, muridNya yang peragu itu. “Di rumah BapaKu banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat Bagimu” (Yohanes 14:2). Meskipun sudah lama menjadi pengikut Kristus, kita sering ragu seperti Thomas: Di manakah sorga? Bagaimana jalan ke sana?
Bukankah Yesus sudah tegas menyatakan, tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Dia? Pepatah mengatakan, banyak jalan menuju Roma. Namun, jangan sampai tersesat! Alkitab mengatakan, hanya Yesus satu-satunya jalan menuju sorga. Tidak ada  alternatif lain. Siapakah tokoh luar biasa yang pernah berani mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jalan menuju sorga selain Yesus?
Alkitab mengatakan, sekalipun dosa kita merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju. Ya, sebagai orang yang beriman di dalam Kristus, bila dosa-dosa kita telah ditebus seperti penjahat di kayu salib itu, Yesus berjanji akan menyediakan tempat bagi kita di sorga. Ketika kita meninggalkan dunia ini, kita bisa berkata seperti  Rasul Paulus bahwa tinggal bersama Kristus jauh lebih baik. “Tidak ada janji yang lebih besar yang pernah di ucapkan dari pada janji Yesus untuk memberikan kepada umatNya kehidupan di dalam sorga sesudah kita mati,” tulis Dr Daniel A Brown dalam buku What The Bibie Reveals About Heaven.
Kemana orang-orang yang bertobat di dalam Kristus saat meninggal? “Begitu kita meninggal, kita akan tinggal bersama Tuhan Yesus,” tulis Billy Graham. Menurut tokoh besar Kristen ini, begitu kita menghembus nafas terakhir di dunia, kita mengambil nafas pertama di sorga. Ingat pertobatan seorang penjahat yang digantung di samping Yesus. Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada beersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Lukas 23:43).
Rasul Paulus mengatakan, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu. Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus itu memang jauh lebih baik; tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu” (Filipi 1:21-24). Demikianlah orang-orang beriman di dalam Kristus yang meninggal dapat kita baca di berbagai koran : “Telah pulang ke rumah Bapa di sorga.” Ada pula yang menulis In Loving Memory. “Setahun sudah engkau meninggalkan kami, tapi kami yakin engkau saat ini berada di rumah Bapa di sorga.
Nasihat bijak mengatakan., hiduplah dengan visi yang jelas. Visi abadi orang Kristen adalah tinggal di rumah Bapa di sorga. Alkitab mengatakan, orang Kristen yang telah ditebus dosa-dosanya adalah ciptaan baru, warga kerajaan sorga, bangsa yang kudus. Kita harus menyadari, hidup di dunia ini hanyalah sementara. Kalau kita mati,  kita tidak usah takut. Sebab maut, musuh terakhir itu, sudah dikalahkan Yesus. Bila membayangkan betapa rumah Bapa di sorga sedang menantikan kita, semestinya menggairahkan kita untuk menjalani peran sebagai “garam dan terang”. Benar kata Rasul Paulus, penderitaan kita di dunia ini belumlah apa-apa dibandingkan dengan kemuliaan yang akan kita peroleh. Kita sebagai orang Kristen tenrtunya selalu bersuka cita menyampaikan Amanat Angung dari Yesus Kristus Tuhan kita, yakni memberitakan Injil sampai ke seluruh dunia.


Kasih Allah

Catatan: artikel ini dimuat di majalah Maranatha

            Hidup di bumi ini sering membuat kita minder dan tak berpengharapan. Terlebih bagi sesama kita yang hidup dalam kemiskinan, yang sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit diperoleh. Namun, Alkitab mengingatkan, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah….” (1 Yohanes 3:1).  
Kasih Allah adalah agape. Kasih yang rela berkorban diri; kasih tanpa pamrih.  “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai tebusan bagi kita yang berasal dari debu tanah sehingga dilayakkan menjadi anak-anak Allah.
Sebagai pengikut Yesus, Alkitab mengingatkan pula hak istimewa kita: “jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah (Galatia 4:7).
Ahli waris selalu mengingatkan kita pada hak warisan yang akan kita terima. Majalah Forbes, seperti dikutip Kompas (17 Maret 2008), menobatkan investor kawakan Wall Street, Warren Buffet (77)  sebagai orang terkaya di bumi saat ini. Ia memiliki kekayaan bersih  62 milyar dollar AS (Rp 570 triliun). Jika kekayaannya didepositokan dengan bunga 5 persen saja per tahun, maka dihasilkan sekitar Rp 80 milyar per hari! Bayangkan saja, kalau kita diangkat menjadi ahli warisnya. Wow! Betapa senang dan kayanya kita.
Dan bukankah menjadi ahli waris Allah Bapa kita jauh lebih penting dan mulia? Anggap saja seluruh kekayaan di bumi ini milik manusia, ternyata itu tak seberapa dibandingkan dengan kekayaan-Nya. Lihat saja bintang-bintang yang bertaburan di alam semesta. Dalam satu galaksi Bimasakti di mana kita tinggal bersama bulan, dan planet-planet lainnya, terdapat milyaran bintang. Bimasakti adalah satu di antara milyaran galaksi, di mana setiap galaksi memiliki milyaran bintang pula. Ah, betapa kecilnya bumi di antara milyaran bintang, sebab bintang terkecil adalah  Matahari yang ukurannya lebih seratus kali dari Bumi. Bayangkan pula ukuran manusia di antara bintang-bintang. Betapa kecilnya kita, seperti debu. Dalam perspektif ini, kita bisa membayangkan kekaguman Daud kepada Bapa-Nya, “Jika aku melihat langit-Mu buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah anak manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8: 4-5).
Bisa pula disebut kekayaan Bapa kita: creatio ex nihilo (menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada). Allah menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah melakukan banyak mukjizat. Kalau Allah yang bertahta di Kerajaan Surga itu sebagai pemilik alam semesta, menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, dan penguasa atas semuanya, bukankah sungguh tak terhingga kekayaan-Nya?
Sebagai anak Allah dan ahli waris-Nya, Alkitab juga menyatakan kita memiliki kewargaan baru, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan  dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat” (Filipi 3:20). Kewarganegaraan adalah identitas penting. Bahkan pada zaman Romawi, setiap orang bangga menyandang kewarganegaraannya. Penafsir Alkitab terkenal William Barclay (1907-1978) dalam buku Ambassador for Christ: the Life and Teaching Paul menulis, menjadi warga negara Romawi berarti mendapat hak-hak istimewa. Tidak sembarang orang bisa menjadi warga negara terhormat. Kepala pasukan Romawi mengatakan, “Kewarganegaraan itu kubeli dengan harga yang mahal” (Kisah Para Rasul 22:28). Adapun Rasul Paulus, dilahirkan di Tarsus (sekarang Turki), yang dulu bagian dari wilayah Romawi, mendapatkan hak kewarganegaraannya karena status kelahirannya. Ia punya pengalaman-pengalaman pahit ketika memberitakan Injil, tapi kemudian dibebaskan oleh status kewarganegaraannya.  (Kisah Para Rasul 16:37-39). Pada zaman modern ini, kecuali kita memiliki kelebihan, misalnya seperti Albert Einstein yang jenius diundang untuk menjadi warga AS dengan perayaan pesta meriah yang diadakan oleh pemerintah negeri adidaya itu, rasanya sulit sekali untuk mendapatkan warga negara terhormat dunia.   
Kita disebut sebagai anak Allah, ahli waris-Nya, dan warga Kerajaan Surga bukan karena hasil usaha kita atau kelebihan kita, melainkan berkat kasih karunia Allah yang diberikan dengan cuma-cuma. Namun ingatlah, status mulia itu kita miliki  bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan harga yang tak ternilai, yakni darah Kristus (1 Petrus 1:19). Kita mungkin bertanya-tanya, kalau kita memang disebut anak Allah, ahli waris-Nya, dan warga Kerajaan Sorga, tapi kenapa hidup ini  semakin sulit? Apa arti semua status itu bagi kita?
Ingatlah, harta tidak menjamin kebahagiaan sejati. Alkitab menulis tentang orang kaya yang begitu susah hatinya justru karena banyaknya hartanya (Markus 10:22). Apa gunanya kita memperoleh seluruh kekayaan dunia tetapi kehilangan nyawa? Tanpa bermaksud meremehkan penderitaan kita, terlebih bagi sesama kita yang hidup dalam kemiskinan, kita patut senantiasa merenungkan kehidupan Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipetahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8).
Kesulitan yang kita hadapi belumlah apa-apa dibandingkan dengan penderitaan-Nya. Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Roma 8:18). Bersama Yesus ada masa depan gemilang. Itulah satu-satunya pengharapan yang kita miliki sehingga kita bisa menanggung perkara apapun (Filipi 4:13). Terpujilah Tuhan! Karena kasih Allah Bapa-lah, kita yang beriman di dalam Kristus Yesus dilayakkan tinggal di Kerajaan Surga. Kiranya  anugerah akan masa depan yang kekal membuat kita semakin giat bekerja di ladang-Nya.

Janji Tuhan

            Catatan: Artikel ini dimuat di majalah Maranatha edisi Pebruari 2008
       
Janji-Mu seperti fajar pagi hari
Yang tiada pernah terlambat bersinar....

Akhir-akhir ini, pada saat  daya beli masyarakat merosot, harga-harga kebutuhan pokok meningkat pesat. Bisa dibayangkan, betapa suramnya prospek perekonomian kita kalau harga BBM kelak dinaikkan. Ya, di negeri ini (ada yang menyebut negeri bencana dan republik alpa) kita berharap-harap cemas membicarakan masa depan. Apakah yang akan terjadi? Bagaimana kita harus mengantisipasinya? Kepada siapa kita harus meminta tolong untuk mengetahui masa depan kita?
“Di hari-hari pertama tahun baru, peramal kebanjiran pengunjung….” tulis Pojok Kompas, 7 Januari 2008. Di Tanah Karo, saya mendengar cerita tentang dua guru, yakni guru agama dan guru sibaso (bahasa Karo: peramal, dukun). Kenapa banyak orang meskipun mengaku percaya kepada Tuhan meminta nasihat menyangkut masa depan justru bukan kepada guru agama, melainkan guru sibaso? Jawabannya mudah. Guru agama tidak bisa memberitahukan masa depan kita, sedangkan guru sibaso dengan fasih meramalkannya, apa yang harus dilakukan, apa yang harus dihindari, dan akhirnya  merasa nyaman karena itu  rela membayar jasanya.
Berbicara tentang masa depan, pada umumnya yang kita ingat adalah hal kesejahteraan atau keberuntungan. Kalau kita coba mewujudkan apa kira-kira bentuk “kesejahteraan  atau keberuntungan” mungkin yang paling mendekati adalah materi (uang). Namun, jangan mudah terkecoh. Uang tidak akan menjamin kebahagiaan sejati kepada kita. Pepatah Perancis mengatakan, “Le mieux est l’ennemi du bien.” Keadaan lebih baih adalah musuh utama kebaikan. 
Ada baiknya kita menoleh ke Jepang. Negeri itu begitu makmur. Pendapatan per kapitanya sekitar 34.023 dollar AS per tahun (2005). Dengan kata lain, rata-rata  penghasilan orang Jepang lebih Rp 26 juta setiap bulan (bandingkan dengan UMR/Upah Minimum Regional Indonesia, tidak sampai Rp 1 juta per bulan). Saya pernah tinggal di Jepang, dan melihat banyak lowongan pekerjaan yang tertempel di kaca. Tampak ditulis antara lain, sedang dibutuhkan karyawan di  toko dengan gaji (dikonversikan dalam rupiah) sekitar Rp 15 juta per bulan. Meskipun Jepang tercatat sebagai negeri yang serba mahal (secangkir kopi, misalnya, Rp 50.000), kita masih bisa menabung setengah dari gaji kita. Bukan hanya makmur, negeri matahari terbit memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi (rata-rata di atas 80 tahun). Jangan heran kalau melihat banyak kakek dan nenek berseliweran di pasar dan stasiun kereta api melangkah dengan sigap tak kalah dengan kaum mudanya. Tidak hanya makmur dan sehat, warga Jepang juga pintar-pintar. Bukankah dunia sudah sejak lama mengakui teknologinya yang luar biasa itu? Meskipun Jepang tidak disebut sebagai negeri pertanian, dengan teknologinya, misalnya, bercocok tanam semangka dan buah yang dihasilkan berbentuk segi empat, supaya mudah disusun ketika hendak dikirim.
Perlu diketahui, apa yang menjadi pokok-pokok doa orang Kristen (sehat, kaya, pandai) ternyata sudah dimiliki sejak lama oleh umumnya orang Jepang yang  justru tidak  berdoa memintanya kepada Allah yang kita kenal dalam Yesus Kristus. Namun, harus direnungkan, bahagiakah orang-orang Jepang itu dengan segala yang dimilikinya? Tidak usah kita jawab, tapi yang jelas, dilaporkan Jepang tercatat sebagai salah satu negeri yang memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir ini, tercatat lebih 30 ribu orang mati bunuh diri setiap tahun di Jepang. Dengan kata lain, rata-rata 82 orang mati bunuh diri setiap hari di Jepang. Kenapa itu terjadi?  Matthew Firestone dalam gadling.com menulis judul artikelnya dengan pertanyaan, “Why Japan leads the world in suicide?” Ya, sekali lagi, mengapa orang Jepang begitu banyak yang bunuh diri? Dalam konprensi pers, Kepala Sekretaris Kabinet Nobutaka Machimura mengatakan, ekonomi dan tekanan pekerjaan (job stress) adalah faktor utama di balik tingginya angka bunuh diri di Jepang. “Bunuh diri bisa dicegah. Itu adalah masalah kejiwaan yang dapat disembuhkan,” katanya sembari menyebutkan program pemerintah untuk menekan tingginya angka bunuh diri.
Artikel itu mendapat banyak komentar, antara lain saya kutip dari Bree, setelah diterjemahkan kira-kira begini katanya “Tuhan  tidak ada, jadi mereka bunuh diri seperti yang mereka kehendaki. Kalau mereka mau mati, ya menurut saya, mati sajalah!” Adapun James menulis, “ Pemerintah tidak akan berhasil mengatasi masalah tingginya angka bunuh diri kalau Tuhan tidak dilibatkan.” Ada juga yang menulis, tingginya angka bunuh diri di Jepang tidak bisa dilepaskan dari faktor kebudayaan: Kalau mereka gagal, merasa malu, dan merasa tidak memiliki lagi harapan, maka lebih baik bunuh diri saja.
Lalu, bagaimana kita sebagai orang Kristen menghadapi masa depan? Seperti ditulis dalam Pojok Kompas, banyak orang mendatangi peramal. Ingatlah, Alkitab menyatakan, “Cemburu-Mu berkobar-kobar seperti api” (Mazmur 79:5). Allah sangat membenci anak-anak-Nya yang terlibat dalam penyembahan-penyembahan berhala.  “Janganlah kamu melakukan telaah atau ramalan” (Imamat 19:26b).
Kita hidup di bumi ini hanya sementara. “Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita menanti kota yang akan datang” (Ibrani 13:14). Tanpa bermaksud mengecilkan kesusahan-kesusahan kita (terutama saudara-saudara kita yang hidup dalam kemiskinan), “penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita” (Roma 8:18). Ya, Allah yang maha pengasih itu melalui Yesus Kristus telah menghadiahkan masa depan bagi kita. Banyak orang mati bunuh diri di seluruh dunia melebihi jumlah kematian akibat perang karena merasa tidak lagi memiliki harapan. Namun, bagi orang-orang yang mengandalkan Tuhan, “masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18). Janji Tuhan itu murni dan sangat teruji, tulis Raja Daud dalam Mazmur. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.
    


   










Minggu, 15 Mei 2011

Karakter

Pada suatu pagi musim dingin di stasiun kereta api bawah tanah Shinjuku, Tokyo. Aku melihat sebuah tas tangan perempuan tergeletak persis di depanku. Beberapa orang lain di antara ribuan orang yang lalu lalang melihatnya juga, tapi mereka terus saja berjalan,  seperti biasa tampak selalu terburu-buru. Namun, kemudian seorang pemuda menghentikan langkahnya. Ia mengambil tas itu. Lalu, perlahan-lahan mengedarkan pandangan ke sekitar, seperti ingin tahu: siapa gerangan pemilik tas itu? Kemudian, ia berlari mengejar seorang perempuan, dan entah bagaimana, ia seperti yakin, lalu menunjukkan tas itu. Perempuan itu tampak terkejut, menyadari tasnya rupanya  terjatuh, dan ada yang sedang mengembalikannya. Ia pun membungkuk berkali-kali, sebagai ungkapan terima kasihnya.
Adalah Jepang disebut sebagai bangsa yang memiliki karakter kuat. Ketika terjadi gempa besar disusul tsunami yang menyapu tempat tinggal dan merenggut ribuan nyawa pada 11 Maret 2011, rakyatnya dipuji oleh berbagai media karena tidak terjadi penjarahan, disiplin, dan bersabar meskipun pemerintahnya dianggap tidak memuaskan dalam menanggulangi bencana.
Tentu saja, karakter yang membentuk harga diri sebagai harga mati dimiliki rakyat Jepang, disebut telah diwariskan turun-temurun sejak beberapa abad silam. Karakter misalnya,  membentuk budaya malu yang peka. Mungkin bukan berita baru lagi, ada murid Jepang memilih bunuh diri karena tak tahan menanggung malu yang muncul gara-gara gagal dalam ujian. Dan baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara mengundurkan diri karena ketahuan menerima donasi politik ilegal sebesar 250.000 yen (sekitar Rp 27 juta) dari seorang warga negara asing (Kompas, 8 Maret 2011). 
Berada di stasiun Shinjuku adalah satu di antara banyak kenangan tak terlupakan selama aku belajar di negeri sakura. Bisakah Anda bayangkan kalau peristiwa jatuhnya tas itu terjadi di tempat keramaian di negeri kita? Kita tentu pesimis barang berharga kita yang hilang akan kembali. Lihat saja, petugas keamanan sering mengingatkan kita lewat pengeras suara: waspadalah, jangan sampai barang berharga kita berpindah tangan (baca: dicopet atau dirampok). Dan bukankah kerap terjadi pula barang berharga raib di rumah ibadah?
Betapa semakin tidak nyaman hidup di negeri ini. Padahal sejak reformasi  digulirkan (1998), kita berharap adanya perubahan yang membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, terutama korupsi diperangi, angka pengangguran dan kemiskinan sebagai pemicu tingginya tingkat kriminalitas berkurang secara signifikan. Pendek kata, Indonesia akan menjadi negeri yang adil dan makmur! Kita pun larut dalam eforia.
Pada kenyataannya, yang terjadi adalah seperti bunyi ungkapan, “jauh panggang dari api.” Korupsi yang disebut sebagai penyebab negara diambang keruntuhan atau negara gagal (state failure) malah semakin menjadi-jadi. Bukti teranyar yang bisa kita lihat mengikuti kasus-kasus korupsi besar sebelumnya yang belum tuntas penyelesaiannya (Bank Century, BLBI, Deputi Bank Indonesia) adalah kasus Gayus dan korupsi dana pembangunan fasilitas SEA Games XXVI/2011 yang terindikasi melibatkan pejabat-pejabat negara.
Sebuah anekdot yang sungguh tepat menggambarkan betapa gawatnya korupsi telah melanda negeri kita adalah: “Pada zaman Orde Lama, korupsi berlangsung di bawah meja. Pada zaman Orde Baru, korupsi berlangsung di atas meja. Pada zaman reformasi, berikut mejanya dikorupsikan.”
Korupsi dan berbagai kejahatan moral lainnya terjadi karena nihilnya karakter.  “Karakter, dalam jangka panjang adalah faktor penentu dalam kehidupan individu maupun bangsa,” ujar Theodore Roosevelt (1858-1919), Presiden AS ke-26, sebagaimana dikutip penulis buku-buku kepemimpinan, Stephen R Covey dalam buku The 8th Habit.
Kata “karakter” berasal dari perbendaharaan kata kuno Perancis, yakni caractere, yang berarti alat-alat untuk mengukir. Kata “ukir” mengingatkan kita pada benda-benda seni ukiran Bali yang begitu detail, membutuhkan waktu lama dan rumit dalam proses pembuatannya, tapi menghasilkan karya seni tinggi. Seperti itulah kata “karakter” berproses dalam diri manusia. Dengan kata lain, untuk menjadi manusia yang berkarakter, yakni sosok yang berintegritas maka harus dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan yang tak berkesudahan dalam mencapai cita-cita luhur. 
Sejarah mencatat proses pembentukan karakter Presiden AS pertama, George Washington (1732-1799). Dalam buku Character is Destiny karya John McCain dan Mark Salter disebut, Washington terkenal karena sikap pendiamnya dan selalu bersikap sopan. Ia memiliki temperamen yang peka dan bergejolak, tapi ia selalu berusaha keras dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk memperbaiki diri. Pada usia 14 tahun,  ia menulis “110 Aturan” di buku tulis untuk mengatur sikapnya dalam setiap hal yang ia terapkan sepanjang hidupnya. Ia juga disebut suka mengamati karakter orang lain. “Ia tahu bahwa jika rakyat tidak mengatur karakter mereka sendiri, maka hal itu akan menghambat kemajuan republik. Namun, ia selalu yakin bahwa manusia dapat memperbaiki sifat; bahwa karakter rakyat dapat diatur oleh teladan dan bimbingan yang tegas. Ia berjanji akan menjadi teladan itu,” tulis John McCain dan Mark Salter. 
Terbukti memang, setelah masa kepemimpinanannya, ia menjadi teladan bagi bangsanya. Bahkan Abraham Lincoln (1809-1865), Presiden AS ke-16  yang memiliki karakter mulia dan merupakan tokoh yang dikagumi Barack Obama, semasa remajanya berulang-ulang membaca biografi Benyamin Franklin (1706-1790)  dan George Washington (1732-1799), dan menjadikannya sebagai teladan
Lalu,  bagaimana dengan kita? Belakangan ini, wacana tentang pembangunan karakter agar digalakkan kembali ramai dibicarakan oleh sejumlah kalangan, terutama guru dan pengamat sosial. Disebutkan, miskinnya moral dan terjadinya korupsi merambah ke segala bidang disebabkan karena nihilnya karakter. Ya, tanpa disertai pembangunan karakter mustahil kemajuan suatu bangsa dapat diwujudkan.