Rabu, 08 Desember 2010

Gereja dan Politik

Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 2 Maret 2008.

"Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu (Yeremia 29:7)
Adolf Hitler (1889-1945)
Bolehkah gereja mencampuri urusan politik? Pemimpin Jerman, Adolf Hitler (1889-1945) pernah berkata kepada Pendeta Niemoller: “Saya mengurusi politik, Anda mengurusi agama. Saya tidak akan mencampuri urusan Anda, dan saya minta Anda tidak akan mencampuri urusan saya!” Meskipun Pendeta Niemoller tidak bersependapat, pada waktu itu, banyak orang Kristen (gereja) bersetuju dengan Hitler: gereja dilarang mencampuri urusan politik! Akibat kebijakan politik   Hitler, sekitar  enam juta orang Yahudi tewas dibantai   demi   ambisinya mendirikan Jerman Raya.
Menurut Pendeta Dr Eka Darmaputera, dalam buku Iman dalam Kehidupan, kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada orang-orang Kristen (gereja) di Indonesia, sebagian besar dipastikan menjawab, gereja sebaiknya tidak boleh mencampuri politik. Namun, kenapa demikian? Apakah ada yang salah dengan politik?
Tidak bisa dipungkiri, istilah “politik” (politics)   sering dikonotasikan secara negatif: politik itu kotor; politik itu boleh menghalalkan segala cara; dan bidang politik sebaiknya tidak dimasuki oleh orang baik-baik, karena kalau tidak ikut  arus, cepat atau  lambat  akan  tersingkir.   Ya,    dalam sejarah politik, sejak mulai dikenal dari Yunani kuno, politik memang sering diwarnai kecurangan dan kekerasan. Kita lihat saja perjalanan politik Pakistan terkini. Tokoh kharismatis, ketua partai Pakistan Peoples Party, Benazir Bhutto, tewas mengenaskan pada 27 Desember 2007 (diduga dibunuh oleh lawan-lawan politiknya), sebelum dia sempat mengubah citra buruk politik negerinya. Dan bukankah peribahasa politik menyatakan, “Tidak ada kawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi?” Kita ingat pula, pernyataan klasik sejarawan Inggris, Lord Acton (1834-1902) yang sering dikutip: “Power tends to corrupt….” (Kekuasaan cenderung menyimpang). Maka, jangankan rakyat awam, kalangan tertentu yang seharusnya paham tentang politik pun menjadi ragu.   Pakar   politik,   Dr  Sutradara  Gintings, dalam suatu ceramah yang diadakan oleh Moderamen GBKP mengatakan, acap kali dia enggan berbicara tentang politik di hadapan kaum rohaniawan. Sebab politik sering dipahami dalam arti sempit, yakni suksesi. “Kalau bicara politik di hadapan mereka, saya sering berpikir, jangan-jangan nanti saya dicurigai untuk mendukung seseorang,” ujarnya.
Tentu saja, politik memiliki arti luas. Prof Miriam Budiardjo dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik menulis, “Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik (negara) yang menyangkut proses menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuan dari sistem itu.” Roger F Soltau dalam buku Introduction to Politics menulis, “Ilmu politik mempelajari negara, tujuan-tujuan negara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu; hubungan antara negara dan warga negaranya serta dengan negara-negara lain.” J Barents dalam Ilmu Politika menulis, “Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara… yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat; ilmu politik mempelajari negara itu melakukan tugas-tugasnya.”   
Jadi, politik pada hakikatnya menawarkan berbagai pilihan kebijakan untuk mengurus negara dan hal-hal lain yang berkaitan dengannya. Bahwa terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya, tidak bisa kita pungkiri, tapi yang jelas politik bertujuan agar pemerintahan suatu negara terselenggara dengan baik. Dengan definisi tersebut, maka warga gereja seharusnya tidak perlu merasa “tabu” berbicara tentang politik, atau mengatakan bahwa politik itu bukan urusan gereja dengan alasan dapat mencemarkan kekudusan gereja. Ketika tinggal di bumi, Yesus sendiri tidak menghindar dari kegiatan politik. Ia pernah ditanya oleh orang-orang Farisi dan Herodian tentang  pajak, “Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Matius 22:17). Apa tanggapan-Nya? “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Matius 22:21). Bukankah membayar pajak kepada negara merupakan bagian dari aktivitas politik?
   Kita bisa pula mengambil pengalaman Nabi Yeremia pada masa Perjanjian Lama tentang kegiatan politik. Allah berpesan melalui Yeremia agar disampaikan kepada orang-orang Israel yang tinggal di pengasingan: “Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada Tuhan, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yeremia 29:7). Bukankah kegiatan politik begitu jelas terbaca dalam pernyataan itu?
Gereja di Jerman
Gereja harus turut bertanggung jawab terhadap kegiatan politik. Gereja tidak bisa berpangku tangan terhadap keputusan politik yang menindas rakyat. Sejarah mencatat, gereja berperan besar atas tumbangnya kediktatoran Marcos di Filipina (1986). Namun, dicatat pula, tewasnya jutaan orang di Jerman akibat membisunya gereja terhadap kebijakan penjahat perang Adolf Hitler.
Suksesi atau pemilihan kepemimpinan adalah salah satu bagian penting dari kegiatan politik. Sebagai warga negara, terlebih warga gereja, kita harus ikut bertanggung jawab untuk mensukseskannya. Ketiadaan pemimpin atau memilih pemimpin yang buruk akan membuat negeri di mana kita tinggal, (semakin) tidak sejahtera. Bukankah Allah meminta orang-orang Israel yang tinggal di pengasingan agar turut mengambil bagian dalam menyejahterakan negeri musuh (Babel) sekali pun? Adalah suatu keharusan kalau kita pun berdoa dan ikut ambil bagian dalam menyejahterakan negeri sendiri.
Patut kita perhatikan, biasanya sebelum pemilihan diadakan, sejumlah calon  akan mengunjungi rumah-rumah ibadah secara intensif. Menebar pesona. Membuat sejumlah janji. Tentu saja tidak ada yang salah dengan kegiatan-kegiatan itu. Semakin mereka mendekatkan diri kepada kita (calon konstituen), bukankah merupakan suatu kesempatan bagi kita untuk lebih jauh mengenal karakter mereka? Namun, pertanyaan kita adalah di antara calon-calon, siapakah yang kelak akan kita pilih? Sebagai warga yang takut akan Tuhan, tentu saja kita memilih calon pemimpin bukan karena diiming-imingi oleh uang (money politics) atau faktor lain (suku, agama, hubungan keluarga). Namun, ingatlah, ketika kita memilih pasangan calon setelah menerima sesuatu dan mengabaikan karakter kepemimpinan, maka kita turut membuat bangsa ini selalu kerdil dalam berpolitik.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar