Minggu, 19 Desember 2010

Kutub Utara Tak Jauh Lagi

Dari Flam ke Gudvangen mengarungi Sognefjorden- fjord terpanjang di Norwegia
Lebih enam jam meninggalkan Oslo, setelah menempuh 350 km jalan berbukit-bukit ke arah barat laut ibukota Norwegia, bus yang kami tumpangi tiba di Flam. Desa kecil ini tak lagi terpencil sejak terowongan Laerdal sepanjang 24,5 km yang menembus pegunungan terjal dibuka pada November 2000. Kami turun tak jauh dari pelabuhan. Feri yang akan membawa kami berlayar menuju Gudvangen hanya sepelemparan batu jauhnya dari tempat kami makan siang.
Keunikan alam Norwegia terkenal berkat fjord yang banyak terdapat di sini. Fjord adalah teluk sempit di antara tebing-tebing terjal yang keindahannya sungguh menakjubkan, mengingatkanku pada lagu terkenal How Great Thou Art (Betapa Agung Ciptaan-MU) yang berasal dari negeri Skandinavia ini. Fjord terbentuk secara unik melalui gletser (sungai es) yang prosesnya terjadi secara perlahan-lahan sejak zaman es (sekitar 110.000-13.000 SM). Sognefjorden adalah fjord sepanjang 206 km, merupakan yang terpanjang di negeri ini, dan sesaat lagi kami akan mengarunginya.
Matahari pada siang itu bersinar terik. Namun, angin yang bertiup kencang membawa udara dingin. Kupikir, suhu di bawah lima derajat Celsius. Meskipun menggigil kedinginan, orang-orang tampak betah berdiri di bawah langit yang cerah karena terpesona pada keindahan fjord. Serombongan burung putih, aku tak tahu namanya, tapi waktu kubuka buku wisata, bernama the common ptarmigan, sejak bertolak dari pelabuhan terbang rendah mengikuti feri yang berlayar dengan tenang. Burung-burung yang tampak gagah seperti elang itu bersuara riuh, bersahut-sahutan, dan tiba-tiba terbang menukik tajam, menyambar makanan yang dilemparkan ke udara oleh sejumlah penumpang.
Sognefjorden, fjord sepanjang 206 km
Kami juga beruntung dapat melihat anjing laut (seal), tapi hanya beberapa detik kemudian makhluk polos yang tampak ragu-ragu itu menghilang ke air laut yang dingin.
Tanpa terasa, dua jam telah berlalu. Kami pun tiba di Gudvangen. Dari sana, kami menumpang bus lagi menuju Geilo.
Betapa keindahan membuat kita sering tak dapat menahan diri. Seperti terjadi pada sore itu, seorang wanita dengan tulus bermohon kepada supir agar berhenti sejenak. Mendengar maksud wanita itu, kami pun mendukungnya. Memang sejak dalam perjalanan berjam-jam, kami hanya duduk terpana memandang bukit-bukit terjal dan gletser dari balik jendela bus yang melaju di antara padang-padang rumput hijau di mana domba-domba menemukan kembali dunianya setelah musim salju yang beku. 
Ya, momen ini harus diabadikan. Mungkin kesempatan seperti ini bagi kami tidak akan datang lagi. Kami pun bergegas turun. Kami ingin keindahan itu dapat kami tatap lebih dekat lagi. Bahkan aku ingin menjamahnya. Aku ingin menyatu dengan alam.
Dan sungguh tak terduga, pada musim semi di bulan Mei itu, gerimis salju perlahan turun seakan menyambut kedatangan kami.
“Ya, sekarang kita berada di Skandinavia. Kutub utara tak jauh lagi,” teriak seseorang sembari membentangkan kedua tangannya ke langit Norwegia. Ucapan itu mengingatkanku pada pramugari Lufthansa yang mengatakan, kalau ada penerbangan ke kutub utara mungkin ditempuh sekitar dua jam saja.
Sebagian dari wilayah Norwegia memang berada di lingkar kutub utara (Arctic circle). Pada musim semi, matahari lebih lama bersinar. Seperti kemarin, pada pukul 21 waktu Norwegia, aku melihat matahari masih bersinar. Sampai pada pukul 22, meskipun matahari tak tampak lagi, bentangan langit masih berwarna putih. Tak henti-henti hati bertanya, bila malam akan tiba? Betapa unik dunia ciptaan Tuhan ini. How great thou art!
Menjelang pukul 20, kami tiba di Geilo. Langit masih putih, seperti menjelang senja di Indonesia. Di desa kecil ini, kami akan bermalam di sebuah penginapan tua yang dibangun pada 1880. Terletak persis di kaki pebukitan. Pada musim salju, kawasan ini ramai dikunjungi pelancong untuk bermain ski.
Gerimis salju masih turun. Aku ikut bersama beberapa orang asyik menampung dengan telapak tangan serpihan-serpihan salju yang melayang seperti kapas. Temperatur di bus menunjukkan, satu derajat Celsius. Dingin yang semakin menusuk memaksa kami untuk mencari kehangatan ke dalam penginapan.
Aku bertanya kepada pelayan, kenapa salju masih turun pada musim semi? “Cuaca yang buruk,” ujar pelayan itu seperti kesal.
Kami sesungguhnya merasa senang melihat salju turun. Sementara,  pelayan itu mungkin sudah merasa bosan dengan salju, salju, dan salju. Norwegia pernah mencatat rekor dingin yang belum terpecahkan, yakni pada Desember 1886, temperatur di wilayah pegunungan Finnmarksvidda mencapai angka 51,4 derajat Celsius di bawah nol! Bisa kita bayangkan, betapa dinginnya! Suhu rata-rata di benua Antartika yang tertutup es setebal 1,6 km saja hanya 18 derajat Celsius di bawah nol.
Keesokan paginya, sekitar pukul tujuh, aku terbangun. Dari balik jendela, aku melihat matahari sudah muncul. Usai menyantap sarapan spesifik Skandinavia, kami meninggalkan penginapan tua itu. Kami kembali ke Oslo, kota yang telah berganti nama berkali-kali. Ya, awalnya ibukota Norwegia bernama Oslo, berubah menjadi Christiania. Lalu, huruf awal diubah sehingga menjadi Kristiania. Pada 1925, kembali lagi menjadi Oslo.
Meskipun Norwegia termasuk Uni Eropa, transaksi sehar-hari masih menggunakan mata uang Krone. Menurut Bank Dunia (2003), Norwegia tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki pendapatan per kapita tertinggi, 37.500 dollar AS, termasuk lima besar di dunia (bandingkan dengan Jepang, 28.620 dollar AS, Singapura, 24.180 dollar AS).
Bobo, mahasiswi asal China yang nyambi jadi pemandu wisata mengatakan, pajak pendapatan di Norwegia tinggi sekali, sekitar 30-50 persen. Semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi pula pajaknya. Namun, pemerintah menjamin kesehatan dan pendidikan rakyatnya. Misalnya, berobat ke rumah sakit gratis.
Harga barang-barang dan jasa di Norwegia serba mahal. Aku sempat bingung karena kehilangan sikat gigi, mungkin ketinggalan di Geilo. Waktu beli sikat gigi baru yang kualitasnya biasa-biasa saja, harganya minta ampun, 35 Krone (satu krone sekitar Rp 1.500). Aku sempat pula melirik harga air mineral setengah liter, 15 Krone. Mau tahu harga BBM? Waktu bus berhenti di salah satu pangkalan, tertulis: premium 11,84 Krone, diesel 10,64 Krone. Ada canda: di Norwegia matahari jarang muncul, andai tiap hari bersinar seperti di Indonesia, rakyatnya pasti bersedia membayarnya dengan harga mahal.
Kami beruntung, tinggal dekat Karl Johans Gate, alun-alun yang terletak di jantung Oslo. Nama itu diabadikan untuk menghormati Karl Johan (1763-1844), raja Norwegia dan Swedia yang bertahta pada 1818-1844. Banyak tempat penting berlokasi di sini, antara lain, Royal Palace, The Norwegian Parliament, National Theatre, dan kantor pusat Nobel Perdamaian. Ada juga universitas, toko buku, museum sejarah, galeri nasional, cafe, taman, dan pertokoan. Menurut buku Eyewitness Travel Guides Norway, kawasan ini dikunjungi oleh lebih dari 100.000 orang setiap harinya. Boleh dikatakan, Karl Johans Gate adalah surga bagi pejalan kaki (pedestrians).   
Tak jauh dari alun-alun terletak Roald Amundsens Gate. Seperti diketahui, Roald Amundsen (1872-1928) adalah manusia pertama, asal Norwegia, yang berhasil mencapai Kutub Selatan pada 1911. 
Langkahku terhenti di depan sebuah cafe. Di persimpangan jalan, seorang pengamen bersuara merdu seperti Placido Domingo menyenandungkan What a Wonderful World. Membuat suasana menjadi semakin indah.
Aku masuk ke taman bunga yang terhampar dengan tulip warna-warni.  Lagu Love is a Many Splendored Thing terdengar saat mata tak sengaja melihat sepasang kekasih duduk berpelukan di atas rerumputan di sudut taman. Di dekatnya, di depan air mancur itu, anak-anak bermain lompat-lompatan, berkejar-kejaran, tertawa riang. Kata orang Rusia, musim semi adalah saatnya untuk menyatakan cinta. Dan di taman itu, aku teringat pada sebuah buku yang menjelaskan arti jatuh cinta: dua orang duduk pada sebuah bangku kecil di taman tapi tidak merasa kesempitan. Ah, musim semi memang begitu indah!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar