Sabtu, 04 Desember 2010

Transit di Frankfurt


Ketika matahari menjelang terbit pada Senin, 8 Mei 2006, pesawat berbadan lebar Lufthansa yang kami tumpangi mendarat mulus di bandara intenasional Frankfurt, Jerman. Perjalanan saya sebenarnya masih jauh, ke Saint Petersburg, Rusia. Kami hanya transit di sini, tapi ini sungguh melegakan. Sebab penerbangan panjang sekitar 12 jam dari Singapore membuat tubuh begitu penat. Saya sudah bosan duduk semalaman. Sekarang ingin berjalan-jalan, dan tentu saja mengambil kesempatan untuk melihat suasana menjelang Piala Dunia 2006. Namun, agar tidak salah dalam hal waktu, saya telebih dahulu memundurkan jarum jam. Ada perbedaan waktu lima jam dengan waktu Indonesia bagian barat. Jarum jam di bandara menunjukkan pukul 05.10. Berarti di Medan sekarang pukul 10.10 WIB. Ya, berada di Jerman membuat  usia kita lebih muda lima jam. Sekali lagi saya mencermati jadwal penerbangan ke St Petersburg. Pukul 09.15, kami akan terbang lagi selama dua jam tigapuluh lima menit ke kota yang terletak di tepi laut Baltik itu. Jadi, masih ada waktu luang sekitar tiga jam.
Waktu itu saya tiba di Frankfurt beberapa hari menjelang Piala Dunia 2006. Orang-orang Jerman begitu bersemangat menyambut pesta sepak bola terbesar sejagad itu. Saya terkesan pada keramahan awak kabin yang membuat kita merasa menjadi tamu istimewa. Berulang kali mereka menghampiri penumpang, menawarkan minuman, koran, atau apa saja yang mungkin  dapat mereka bantu. Sejumlah moncong (nose) pesawat  Lufthansa, dibuat seperti bola kaki. Majalah maskapai penerbangan Jerman yang diselipkan di setiap kursi pesawat juga memuat hampir seluruhnya tentang sepak bola. Ya, demam sepak bola di Jerman. “Saya harap, Jerman akan menjadi juara,” ujar saya kepada pramugari yang agak ragu dengan kesebelasan negerinya. Ia mengatakan,  permainan Brazil amat mengesankan, begitu enerjik dan dinamis. Namun, tentu saja ia mengharap Jerman akan menjadi juara (Pada kenyataannya, Brazil, diluar dugaan kandas di perempat final. Prestasi Jerman malah lebih baik, masuk semi final, dan menjadi juara ketiga setelah mengalahkan Portugal. Dan yang berhasil menggondol Piala Dunia 2006 adalah Italia setelah menundukkan Perancis. Bravo Italia!).
Pada satu gerai, saya melihat pernak-pernik sepak bola. Paling menonjol adalah pajangan kostum-kostum kesebelasan dari berbagai negara. “Jangan lupa, baju bola dari Jerman,” ujar seorang teman sebelum saya meninggalkan Indonesia. Tentu saja, hal pertama yang saya lakukan adalah melirik harganya. Rata-rata  50 euro! Wah, lebih enam ratus ribu rupiah. Kalau di Indonesia, harganya paling sekitar dua ratus ribu rupiah. Dan saya ragu, jangan-jangan semua kostum itu buatan Asia, seperti Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Mungkin pula  made in Indonesia. Kalau begitu, untuk apa datang jauh-jauh ke negeri orang hanya untuk membawa oleh-oleh buatan Asia dengan harga selangit lagi? Jerman memang benar-benar menggunakan momen akbar ini. Kalender 2007 bergambar aksi pemain-pemain sepak bola terkenal di lapangan hijau sudah pula dipajangkan. Bendera-bendera. Bola-bola mini. Gelas-gelas. Gantungan-gantungan kunci. Tas-tas. Ya, begitu banyak souvenir menarik bertemakan Piala Dunia 2006, membuat kita tergiur untuk membelinya.
 
Anne Frank (1929-1945)

        Saya hanya membeli sejumlah postcard. Harganya pun cukup mahal. Satu euro (sekitar Rp 12.500) per lembar. Namun, kualitas kartu dan gambarnya memang bermutu. Postcard itu bergambar seniman besar Jerman kelahiran Frankfurt, yakni Johann Wolfgang von Goethe (1749-1832). Dunia tentu mengenal namanya. Bukunya yang terkenal adalah Faust (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia). Di Jakarta, nama itu diabadikan sebagai tempat pusat kebudayaan Jerman, Goethe Institut. Kebetulan saya pernah belajar di sana. Postcard lainnya adalah bergambar lima ekor anak babi yang berjalan berurutan mengikuti induknya. Disiplin sekali babi-babi ini, pikir saya. Gambar yang unik. Saya  menangkap pesan pemotret pada postcard itu: Babi saja bisa disiplin! Postcard lainnya adalah bergambar keindahan kota Frankfurt. Oh ya, kota ini juga telah melahirkan seorang remaja keturunan Yahudi yang namanya begitu terkenal berkat buku hariannya, Anne Frank (1929-1945). “Aku suka menulis, banyak hal yang terlampau menarik dan luar biasa dalam hatiku, semua akan kutumpahkan lewat tulisan,” tulisnya dalam buku The Diary of Anne Frank tertanggal  20 Juni 1942. Sayang sekali, saya tidak menemukan postcard bergambar gadis yang mati dalam kamp konsentrasi Hitler.
       Perjalanan ke  Rusia    dan dua negeri Skandinavia –Norwegia  dan Denmark– membuat saya transit tiga kali di bandara Frankfurt. Bandara ini adalah yang terbesar di Jerman dan merupakan penghubung utama (hub) penerbangan dari berbagai negara ke negara-negara lainnya. Seperti sudah diketahui, sebanyak 32 kesebelasan bertarung di Jerman. Bandara Frankfurt akan disinggahi para pemain sepak bola terkenal di dunia dan disesaki oleh jutaan penumpang dari berbagai negara. Frankfurt sendiri menampilkan lima pertandingan, yakni Inggris vs Paraguay, Korea Selatan vs Togo, Portugal vs Iran, Belanda vs Argentina, dan partai perempat final yang berlangsung di stadion bersejarah di kota ini, Waldstadion.
Berapa harga tiket menonton Piala Dunia 2006? Menurut situs resmi di internet, dalam partai penyisihan, untuk duduk di bangku kategori I yang cukup strategis adalah 100 euro (sekitar Rp 1.250.000), kategori II  60 euro, kategori III 45 euro, dan paling murah kategori IV (duduk di kursi menghadap tendangan pojok hingga belakang gawang), 35 euro (sekitar Rp 437.500). Pada partai final, harga tiket tentu semakin melambung. Untuk duduk pada kategori I 600 euro (Rp 7.500.000), kategori II 360 euro, kategori III 220 euro, dan kategori IV, atau kursi paling murah, 120 euro (Rp 1.500.000). Ada yang mengatakan bahwa harga tiket itu hanya pengumuman resmi dari panitia saja. Ya, lihat saja, harga tiket jauh lebih mahal. Karena sebelum bertanding saja sudah habis terjual. Atau, kalau berminat beli, harus masuk daftar tunggu di internet. Siapa tahu ada yang batal menonton, mungkin kita bisa menggantikannya. Katanya lagi, beli tiket  melalui calo saja, dan harganya ya, tergantung pada pandai-pandai bernegosiasi. Entah benar atau tidak, saya sendiri hanya mendengar dari mulut ke mulut.
Sebagai tuan rumah, Jerman berupaya keras untuk menyenangkan setiap tamu dari negeri lain. Apalagi moto Piala Dunia 2006 adalah “A time to make friends” (Saatnya untuk bersahabat). Namun, ternyata tidak selalu kesan itu bisa kita dapatkan. Saya punya pengalaman kurang enak ketika diperiksa petugas keamanan Frankfurt secara berlebihan. Ketika itu pesawat baru mendarat dari Moskwa. Saya akan terbang lagi ke Oslo, ibukota Norwegia, untuk itu saya harus transit di  Frankfurt. Ada yang terasa aneh. Sebelum kami turun dari tangga pesawat, dua orang polisi naik, dan memeriksa paspor para penumpang. Saya berpikir, apakah karena mereka mendapat informasi bahwa ada orang Indonesia sedang menyusup ke Jerman melalui Moskwa? Bukankah AS dan Australia melalui berbagai media massa selalu menekan kita agar lebih giat lagi memerangi terorisme? Paspor saya termasuk yang diperiksa. Setelah selesai, dengan penasaran saya bertanya kepada awak kabin, apa yang sedang terjadi? Ia menjawab bahwa hal itu telah biasa dilakukan.
Di pintu masuk imigrasi, pemeriksaan dilakukan lebih ketat. Semua penumpang disuruh membuka sepatu, jas, dan mengeluarkan semua isi saku. Saya terhibur, karena melihat orang-orang bule juga diperlakukan sama. Jadi, tidak ada diskriminasi. Lalu berjalan melintasi pintu yang agaknya cukup aneh, karena setiap orang yang melaluinya masih saja tetap mengeluarkan bunyi alarm, membuat petugas punya alasan untuk menelusuri setiap tubuh dengan alat pendeteksi.  Seorang bapak tua keturunan Tionghoa yang katanya hobi keliling dunia, setelah pemeriksaan menjadi begitu jengkel. “Mereka over acting,” keluhnya. Ia mengatakan, isi pulpennya pun dibongkar petugas. He, he!
Ya, antara keramahan dan ketegasan. Seperti dua sisi pada sekeping uang logam. Dua-duanya sangat diperlukan. Mereka memang harus ramah, tapi juga harus tegas untuk mengantisipasi ancaman terorisme. Masih ingat peristiwa berdarah saat Jerman menjadi tuan rumah Olimpiade 1972? Sekelompok teroris menyerbu tempat penginapan atlet Israel, dan menewaskan sejumlah atletnya. Lalu, pada tahun 1988, bom cair dalam radio kaset yang diduga berawal dari Frankfurt telah meledakkan pesawat Boeing 747 Panam di langit Lockerbie, Skotlandia. Sebanyak 258 penumpang dan 22 penduduk yang tertimpa puing tewas secara mengenaskan. Mengingat peristiwa-peristiwa itu, akhirnya kita maklum juga petugas-petugas keamanan Jerman secara proaktif mengantisipasi serangan teroris.
Mari melupakan pemeriksaan menyebalkan itu. Toh, semua itu demi kebaikan kita. Sekarang, kita beralih ke masalah politik. Namun, apa hubungannya? Ya, AS dan Iran termasuk sebagai negara peserta Piala Dunia 2006. Betapa menarik kalau kedua tim “berperang” saja di lapangan hijau. Pada kenyataannya, kita menjadi cemas saat mendengar isu AS akan menggempur Iran sehubungan dengan nuklirnya. Ah, semoga peristiwa buruk itu tidak akan terjadi. Sebab, dunia bisa semakin gawat. Iran adalah salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia. Kalau Iran hancur seperti Irak, harga BBM dipastikan melambung tinggi. Dampaknya ke kita-kita juga.
Moto Piala Dunia 2006 adalah A time to make friends. Saatnya untuk bersahabat. Ya, jangan lagi ada permusuhan di antara kita. Pepatah Tiongkok mengatakan, “Seribu sahabat terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak.” Semoga permainan sepak bola menjadi ajang persahabatan bagi kita. Di Frankfurt, Jakarta,  Medan, Berastagi,  dan di mana saja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar