Kamis, 09 Desember 2010

Sejarah Natal

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 24 Desember 2005..

             Setiap memasuki  Desember, suasana natal mulai terasa di mana-mana. Gereja-gereja dihias, senandung natal terdengar, pohon cemara  dipajangkan, kartu ucapan natal dijual. Tua muda bergegas menyiapkan pakaian baru. Ya, umat kristiani tampak sibuk, senantiasa berjaga-jaga agar momen indah itu tak terlewatkan begitu saja. Hari natal, terutama puncaknya kita rayakan setiap 25 Desember memang selalu disambut meriah. Akan tetapi, tahukah kita, sejak kapan sebenarnya tradisi natal dimulai?  
Banyak pendapat, natal diperingati untuk mengenang kelahiran Yesus Kristus. Benarkah?  Menurut www.holidays.net/christmast/story.htm, sejarah natal (the history of christmast) tercatat sejak lebih dari empat ribu tahun silam. Ini berarti, tradisi natal sudah ada sejak lebih dua ribu tahun sebelum Yesus Kristus dilahirkan di Betlehem Efrata.
Menurut situ itu, sejarah natal bisa ditelusuri sejak masa kejayaan Mesopotamia (sekarang Irak). Saat itu, orang-orang Mesopotamia memiliki tradisi untuk merayakan Tahun Baru. Mereka percaya kepada banyak dewa, terutama pemimpinnya Dewa Marduk. Setiap  musim dingin tiba, mereka percaya sang dewa akan bertempur melawan monster-monster yang suka mengganggu. Agar Marduk memenangkan pertarungan, rakyat Mesopotamia membantunya dengan cara menyelenggarakan sebuah festival Tahun Baru yang disebut Zagmuk selama dua belas hari.
Demikian pula yang terjadi di Eropa. Pada awalnya, mereka percaya kepada pengaruh roh-roh jahat, nenek-nenek sihir, dan hantu-hantu bergentayangan. Pada saat musim salju tiba, malam hari lebih lama dibandingkan dengan siang hari. Banyak orang menjadi takut bahwa matahari akhirnya tidak akan muncul lagi. Kegelapan akan menguasai terus negeri mereka. Tentu saja, roh-roh jahat, nenek-nenek sihir, dan hantu-hantu akan senang. Agar hal menakutkan itu tidak terjadi,  mereka pun mengadakan ritual khusus dan suatu perayaan agar matahari kelak muncul lagi.
Di Skandinavia (Norwegia, Swedia, Denmark, Finlandia) misalnya, selama musim salju, matahari tidak muncul. Setelah 35 hari, seorang pengintai  diutus ke puncak gunung untuk mencari tanda-tanda apakah matahari mungkin akan datang lagi? Ketika cahaya pertama matahari tampak, sang pengintai kembali dengan membawa kabar baik. Sebuah festival besar akan dirayakan dengan menyulut api unggun raksasa. Mereka juga akan mencantolkan buah-buah apel pada cabang-cabang pohon pertanda musim semi dan panas akan datang lagi.
Sementara itu, mulai pertengahan Desember hingga 1 Januari, orang-orang Roma mengadakan festival Saturnalia untuk menghormati Dewa Saturnus. Pada festival itu, orang-orang bertopeng  dengan gembira turun ke jalan sembari berteriak “Jo Saturnalia!”. Mereka  menghidangkan bermacam makanan lezat, mengunjungi handai tolan, dan saling tukar hadiah. Mereka juga menghias rumah mereka, dan menyalakan lilin-lilin.
Pesta itu dirayakan secara meriah, tapi pengaruh Kristen yang mulai menyebar saat itu, menganggapnya sebagai penghormatan kepada dewa berhala. Dan itu sangat bertentangan dengan Injil. Pada awalnya, gereja melarang orang-orang Kristen ikut merayakan festival itu. Namun, ternyata kurang mendapat sambutan (mungkin karena sudah merupakan suatu tradisi). Akhirnya, diputuskan saja agar perayaan itu dilakukan untuk merayakan kelahiran Yesus. Konon, hal itu dimaksudkan untuk menggantikan penghormatan kepada dewa berhala. Tanggal 25 Desember, bukan hanya hari suci bagi Roma, tapi juga Persia. Namun, pada akhirnya, gereja secara sukses mengalihkan perayaan yang mencapai puncaknya pada tanggal itu sebagai peringatan kelahiran Yesus Kristus (meskipun tidak diketahui pasti kapan sebenarnya Yesus dilahirkan. Patut diketahui, Alkitab dan sejarah tidak pernah menulis tanggal, bulan, bahkan tahun kelahiran Yesus). Konon, natal diperingati sebagai hari kelahiran Yesus sejak tahun 98. Pada tahun 137 gereja menghimbau agar perayaan itu diperingati secara khidmat. Akhirnya, pada tahun 350, Uskup Roma Julius I memilih 25 Desember sebagai hari Natal.
Gereja di Norwegia
Pada Desember di zaman modern ini, ketika kita merayakan Natal, sadar atau tidak, kita sering merayakannya dengan bersenang-senang. Dengan kata lain, tidak ada lagi suasana khidmat. Di beberapa tempat (saya sering menyaksikannya), Natal malah menjadi ajang hura-hura. Bahkan ada yang menyuguhkan minuman keras sebagai pelengkap acara. Tari-tarian duniawi dengan lagu-lagu asmara ditampilkan pula. Acara itu dilakukan sampai dini hari. Ya, bersenang-senang terus sampai pagi!
Sungguh menyedihkan memang. Sepertinya kita kembali kepada suasana pesta hura-hura yang dilakukan orang-orang Roma pada abad pertama. Ya, apa sebenarnya bedanya dengan yang kita lakukan sekarang? Menenggak minuman keras, berjoget-joget sampai pagi. Kalau tidak ada musik untuk bersenang-senang dan acara makan di gereja, maka perayaan Natal dikatakan menjadi hambar dan tidak menarik. Inikah cara kita menyambut Juru Selamat manusia yang lahir di kandang hewan dalam penderitaan? Atau, apakah kita harus kembali mengikuti suasana zaman purba, suasana seperti ketika orang-orang itu belum mengenal Tuhan? Ingatlah, kedatangan Yesus Kristus ke dunia yang gelap ini, agar kita mendapat hati yang baru. Dan agar kita tidak lagi hidup di dalam kegelapan dengan mengikuti cara-cara duniawi.




 


1 komentar: