Kamis, 09 Desember 2010

Karakter

Abraham Lincoln (1809-1865)
Tak lama setelah pemilu legislatif (2009), pers ramai memberitakan bahwa partai-partai pemenang, khususnya di pusat, sibuk bongkar pasang untuk mencari capres dan cawapres. Capres yang satu dicalonkan dengan cawapres yang lain dari partai lain. Kalau tidak cocok deal-nya, maka dicari lagi pasangan yang lain, dan juga dari partai lain. Terkesan begitu mudahnya. Mulai dari tokoh-tokoh yang sudah dikenal (sayangnya, bukan karena prestasinya) sampai kepada tokoh-tokoh yang kurang dikenal.
Tentu saja, cara-cara itu banyak dikritik. Sebab, visi dan misi masing-masing partai yang berbeda ketika berkampanye, diabaikan demi ambisi kekuasaan. Yang penting, siapa dapat apa, dan tidak ada yang merasa dirugikan.  
“Saat ini, kepentingan tertinggi elite politik adalah pemilu dan pilpres. Seharusnya belajar menjadi negarawan. Politik yang bermartabat dan bermoral bukanlah ajang rebutan dan permainan kekuasaan, tetapi selalu mengarah pada kepentingan bangsa,” ujar Ahmad Syafii Ma’arif, mantan Ketua PP Muhammadiyah (Kompas, 4 Mei 2009).
Bung Karno pernah bilang, “Jangan sekali-kali melupakan sejarah!”
Ingatlah, bangsa-bangsa menjadi besar tidak lepas dari pengaruh manusia-manusia berkarakter. Dalam konteks kepemimpinan, sosok inilah disebut negarawan sejati. Dunia mengenal Abraham Lincoln (1809-1865) yang membebaskan perbudakan di AS, yang menurut pengarang besar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910), merupakan seorang pemimpin berkarakter mulia yang membuatnya menjadi tokoh terbesar di dalam sejarah dunia sejak zaman Alkitab. Dunia mengenal  Sir Winston Churchill (1874-1965) yang telah menyelamatkan bangsanya dari kekalahan memalukan dalam Perang Dunia II. Dunia juga mengenal Nelson Mandela, yang dipenjarakan selama 27 tahun, alih-alih menyimpan dendam, ia dengan rendah hati mengajak musuh-musuh politiknya dalam sebuah rekonsiliasi damai. Tentu saja, kita juga bangga dengan pemimpin-pemimpin kita karena memiliki karakter mulia: Bung Hatta (1902-1980) yang cerdas, santun, jujur, dan hemat; Sutan Sjahrir (1909-1966), cendekiawan pemikir yang hidup sederhana.
“Karakter, dalam jangka panjang adalah faktor penentu dalam kehidupan individu maupun bangsa,” ujar Theodore Roosevelt, sebagaimana dikutip penulis buku-buku kepemimpinan, Stephen R Covey dalam buku The 8th Habit.  
Kata “karakter” berasal dari perbendaharaan kata kuno Perancis, yakni caractere, yang berarti alat-alat untuk mengukir. Kata “ukir” mengingatkan kita pada benda-benda seni ukiran Bali yang begitu detail, membutuhkan waktu lama dan rumit dalam proses pembuatannya, tapi menghasilkan karya seni tinggi. Seperti itulah kata “karakter” berproses dalam diri manusia untuk menjadi sosok mulia. Dengan kata lain, untuk menjadi seorang pemimpin yang berkarakter, yakni sosok yang berintegritas tinggi, disiplin, dan berjiwa melayani, maka harus dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan yang kerap membawa penderitaan dalam mencapai cita-cita luhur. 
“Mulia karena tempaan,” tulis pengarang tersohor Emest Hemingway (1899-1961). Sejarah mencatat bagaimana Presiden AS pertama, George Washington (1732-1799) menempa dirinya menjadi sosok yang memiliki karakter mulia. Dalam buku Character is Destiny karya John McCain dan Mark Salter disebut, Washington terkenal karena sikap pendiamnya dan selalu bersikap sopan. Ia memiliki temperamen yang peka dan bergejolak, tapi ia selalu berusaha keras dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk memperbaiki diri. Pada usia empat belas, di sebuah buku tulis, ia menulis “110 Aturan” untuk mengatur sikapnya yang ia terapkan sepanjang hidupnya. Ia juga disebut suka mengamati karakter orang lain. Ia telah mengamati sikap-sikap buruk manusia yang serakah, egois, pengecut, malas, dan cengeng.
“Ia tahu bahwa jika rakyat tidak mengatur karakter mereka sendiri, maka hal itu akan menghambat kemajuan republik. Namun, ia selalu yakin bahwa manusia dapat memperbaiki sifat; bahwa karakter rakyat dapat diatur oleh teladan dan bimbingan yang tegas. Ia berjanji akan menjadi teladan itu,” tulis John McCain dan Mark Salter.  Terbukti memang, setelah masa kepemimpinannya, ia menjadi teladan bagi bangsanya. Bahkan Abraham Lincoln yang memiliki karakter mulia itu, semasa remaja berulang-ulang membaca biografi George Washington, dan menjadikannya sebagai tokoh yang dikagumi.
Mahatma Gandhi (1869-1948)
Tidak ada kata “henti” untuk menjadi manusia yang berkarakter. Dengan kata lain, kita harus terus-menerus berjuang untuk menjaga dan menempa karakter kita sepanjang kehidupan yang dijalani. Mahatma Gandhi sebagai contoh manusia  berkarakter mulia (disebut “mahatma“ berarti si jiwa besar oleh pujangga Rabindranath Tagore) bukanlah merupakan “produk jadi” yang telah selesai ditempa seperti emas. Apa yang menjadi kekuatan Gandhi sehingga mewariskan keteladanan bagi kita adalah sikapnya yang selalu berpegang teguh pada kebenaran (satyagraha), yang dilakukannya dengan disiplin keras:  berdoa, berpuasa, dan menjauhi hal-hal duniawi. Kata Gandhi, hanya dengan suatu proses mencoba, belajar dari kesalahan, bermawas diri, dan disiplin yang kuat, kita bergerak maju selangkah demi selangkah penuh dengan penderitaan menuju cita-cita, yakni kebenaran itu sendiri.
Manusia berkarakter tidak akan mengijinkan ambisi-ambisi pribadinya sebagai sarana untuk menyalibkan kebenaran. Para koruptor berkedok pemimpin pasti mengenal “peribahasa” ini: “Boleh mencuri asal jangan ketahuan” dan “Boleh mencuri asal jangan ada yang merasa kehilangan”. Maka, sosok yang berkarakter tidak akan mencuri uang negara walaupun tidak ketahuan atau tidak ada yang merasa kehilangan. Ia memilih lebih baik dikucilkan daripada ikut-ikutan menjerumuskan negeri ini ke dalam jurang kehancuran bersama para politikus kotor. Bung Hatta, misalnya, merasa lebih baik meninggalkan arena politik (jabatan wakil presiden) dengan tetap mempertahankan integritasnya.
Seorang pemimpin berkarakter akan berkata seperti  nabi Ayub: “Till I die I will not put away my integrity from me”. Ya, sampai mati pun dia akan tetap menjaga integritasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar