Sabtu, 27 November 2010

Aku, Rembulan, dan Kupu-kupu

Solilokui


Karena dia diam seperti gunung
Aku pergi ke hutan kuning
Padahal ingin kuceritakan padanya
Kenapa daun maple kuning kemerah-merahan
pada musim gugur
Kenapa kita mendengar persik seperti berbisik
Karena dia diam seperti gunung
Aku bercakap-cakap dalam hati

Karena dia diam seperti danau
Aku pergi ke gunung
Padahal ingin kuceritakan padanya
Kenapa krisan putih kekuning-kuningan diterpa mentari
Kenapa aku menulis puisi di langit
Karena dia diam seperti danau
Aku bercakap-cakap dengan rembulan

Kubayangkan dia duduk di perahu tua
Dan angin musim gugur menerpa rambutnya
Senja pun seharum bunga
Diam-diam kulukis dia di langit
Dengan pelangi di atas bukit
Lalu kusimpan di sini
Di hati ini

Sabtu, 20 November 2010

Berkunjung ke Makam Sun Yat-sen

 Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 28 Novemeber 2004


Sun Yat-sen (1866-1925)
            Setelah menempuh sekitar tiga jam perjalanan dari Shanghai, bus yang saya tumpangi akhirnya memasuki pinggiran Nanjing, ibukota Provinsi Jiangsu. Kota itu terletak di barat laut Sanghai. Nanjing adalah sebuah kota tua yang menyimpan banyak sejarah Tiongkok. Pada zaman Dinasti Ming (1368-1644), Nanjing menjadi ibukota China. Di kota inilah kaisar dan keluarganya dimakamkan. Di sini pulalah, dimakamkan pahlawan besar China, Sun Yat-sen (1866-1925).
Bus berhenti di pinggiran hutan kecil. Begitu kaki menginjak bumi, angin musim gugur di awal November mulai terasa dingin. Betapa nyaman dan teduh berjalan di antara pepohonan tua rimbun yang daun-daunya mulai menguning. Mengigat saya pada  sajak Robert Frost (1874-1963), penyair Amerika Serikat yang terkenal itu.

Two roads diverged in a yellow word
And sorry I could not travel both
....
I took the one less travelled by
And that has made all the difference

Dua jalan bercabang di hutan kuning
Sayang, aku tak bisa menempuh keduanya
....
Aku pilih jalan yang jarang dilalui orang
Itulah yang membedakan segalanya

Tampak di hadapan saya anak-anak tangga yang terbentang mencapai punggung bukit. Itulah Zhongsan, satu dan empat pengunungan terkenal di selatan Sungai Yangtze yang termashur. Pada zaman Dinasti Qin (221-206 SM), pengunungan dengan ketinggian mencapai 448 m itu bernama Jinling. Konon, awan berwarna ungu sesekali menyelimuti puncaknya, sehingga orang-orang menyebutnya pula pegunungan ungu.
Di bukit itulah makam Sun Yat-sen berada. Makam indah yang bentuknya menyerupai  lonceng itu dibangun pada 1926 hingga selesai 1929. Kalau ingin mencapai makam itu, kita harus mendaki sebanyak 392 anak tangga. Itu berarti kita harus mulai  dari gerbang masuk (entrance) sejauh 700 m dengan ketinggian 70 m. Cukup membuat nafas ngos-ngosan dan kaki pegal. Namun, saya melihat ribuan pengunjung dengan penuh semangat menaiki anak-anak tangga itu.
Ide arsitek terkenal, Lu Yanzhi, yang merancang makam itu memang hebat. Disediakan sepuluh tempat perhentian yang cukup luas di antara ratusan anak tangga. Di setiap perhentian kita dapat memandang keindahan alam pegunungan, tentu saja termasuk pemandangan Nanjing yang tampak di kejauhan. Menambah semangat untuk mendaki lagi. Di situ, kita bisa pula memilih bermacam cenderamata menarik, seperti postcard bergambar Sun Yat-sen, patung kecilnya, buku-buku tentang perjuangan, dan baju-baju Tiongkok.
Dengan semangat tinggi akhirnya saya tiba di bangunan bergaya Tiongkok yang terbuat dari granit. Di ruang depan, tanpak patung pahlawan besar itu dalam posisi duduk. Wajahnya seperti sedang memikirkan sesuatu. Berjalan lebih ke dalam membuat banyak orang terpana memandang pusara itu, di atasnya terbaring tenang patung pualam Sun Yat-sen dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tampak teduh. Ribuan pengunjung yang datang setiap hari pastilah terkenang akan keberanian tokoh itu: dia berjuang gigih selama belasan tahun untuk mengakhiri sejarah ribuan tahun dinasti feodal; dia yang punya visi besar, China modern.
Sun Yat-sen lahir pada 12 November 1866 di Desa Cuiheng, wilayah Xiangshan (sekarang Zhongsan), Provinsi Guangdong. Ia adalah anak petani sederhana dengan nama keluarga Wen. Namun, ketika terjun ke dalam dunia politik, ia menggunakan nama Yat-sen alias Zhongsanqiao. Dari sinilah berasal nama Zhongsan. Sejak remaja ia  resah memikirkan masa depan China yang suram karena dinasti Qing yang korup. Dinasti itu didirikan oleh orang-orang Manchuria yang berkuasa sejak 1644.
Pada 1879, Sun berlayar ke Hawaii untuk belajar kedokteran di Tolani College dan Oahu College. Pada 1883, ia kembali ke China. Di negerinya, ia mendalami sejarah dan sastra China. Kemudian, ia  meninggalkan profesinya yang sangat menguntungkan. Ia  terpangil untuk tugas yang lebih besar, menyembuhkan bangsa China yang sakit. Pada 1894, Sun menyampaikan surat permohonan kepada Li Hong-zhang, pejabat teras Dinasti Qing, untuk mereformasi China secara total. Namun, keinginanya itu ditolak. Ia pun secara giat menyakan semangat orang-orang China perantauan untuk melakukan revolusi. Berulang kali ia memimpin pemberontakan, tapi selalu gagal. Akibatnya, ia pun terpaksa menyikir ke luar negeri.
Namun, ia tetap optimis dengan masa depan China. Selama di pengasingan ia mempelajari sistem ekonomi dan politik berat sambil merancang sistem yang cocok untuk China. Pada 1894-1895, ia mendirikan Xing Zhong Hui (Society for Revival of Cina) di Hongkong, Guangzhou, dan Jepang  dengan tiga program, yakni mengenyahkan orang-orang  Manchuria, kebangkitan kembali Cina, dan mendirikan pemerintahan oleh rakyat.
Di pengasingan, ia mendapat kabar bahwa pemberontakan di Wuchang (Provinsi Hubei) pada 10 Oktober 1911 berhasil. Ia pun semakin giat mencari sponsor dan bantuan diplomasi ke berbagai negara.
Pada bulan Desember 1911, ia pulang ke Shanghai. Sementara itu, delegasi dari semua propinsi yang terlibat pemberontakan mengadakan rapat penting di Nanjing. Mereka memutuskan Sun Yat-sen menjadi presiden sementara. Pada 1 Januari 1912, diambil sumpahnya untuk menjadi presiden sementara  Republik China. Dengan demikian berakhirlah Dinasti Qing yang telah  berkuasa selama 268 tahun (1644-1911). Di bawah kepemimipinannya lahir konstitusi dasar sementara China. Sun  membuat doktrin Tiga Prinsip Rakyat: Nasionalisme, Demokrasi, dan Mata Pencaharian Rakyat. Ia memiliki visi, yakni China akan menjadi negara indenpenden, demokratis, dan makmur.
Namun, karena situasi politik semakin memburuk Sun mengundurkan diri dari jabatan presiden pada April 1912. Ia digantikan Yuan Shi-kai yang telah memaksa parlemen untuk memilih pada 1913.
Sejarah China mencatat, Yuan Shi-kai adalah penghianat revolusi. Setelah Yuan Shi-kai mengumumkan pembaharuan monarki China, Sun mendeklarasikan revolusi kedua yang bertujuan untuk menentangnya.
Pada 25 Oktober 1915 (dalam usia 49 tahun), Sun Yat-sen menikah dengan Soong Qing-ling di Tokyo. Istrinya adalah kakak kandung Soong May-ling, yakni istri Chiang Kai-sek (1887-1975). Baru-baru ini, dari berbagai media massa kita mendengar kabar bahwa Mayling meninggal pada Oktober tahun lalu di New York dalam usia 106 tahun.
Istrinya yang aktif dalam dunia politik, ikut membantu Sun mendirikan Partai Revolusioner Cina (Kuomintang). Pada 5 Mei 1921, ia dipilih lagi untuk menjabat presiden sementara. Namun, pada  12 Maret 1925 tersiar kabar sedih, pahlawan besar itu wafat di Beijing karena kanker hati. Untuk mengenang jasa-jasanya pemerintah membangun makam yang indah di pengunungan Zhongsan, Nanjing. Chiang Kai-sek seorang pengikut setianya, meneruskan kepemimpinannya.
Perlu ditambahkan, pada 1949, China jatuh ketangan orang-orang komunis. Memaksa Chiang Kai-sek yang anti komunis itu mengungsi ke Taiwan.  Sun Yat-sen sendiri (penganut Kristen) semasa kepemimpinannya dengan tegas menolak komunisme. Ia menganggap, ideologi itu tidak mendukung kemajuan bagi umat manusia, sehingga tidak cocok untuk China.
Pada tahun itu pula Republik China berganti nama menjadi Republik Rakyat China. Kita ketahui kedua negara akhir-akhir ini sedang dihangatkan lagi oleh isu pemisahan Taiwan dari China daratan. Namun, kedua negara sangat menghormati jasa-jasa besar Sun Yat-sen.


Jumat, 19 November 2010

Minus Sepuluh di Great Wall

Saya nyaris menyerah. Dilaporkan, suhu di Beijing pada 29 Desember 2009, minus sepuluh derajat Celsius. Sewaktu-waktu bisa mencapai minus lima belas, bahkan minus dua puluh. Angin bertiup kencang. Mata memerah dan berair. Kuping terasa sakit. Hidung meler terus. Jari-jari kaki dan tangan seperti mati rasa. Saya takut frostbite (rasa sakit oleh dingin yang membuat jari-jari tak berfungsi lagi). Setiap melangkah terasa nyeri. Saya menggigil di balik enam lapis pelindung tubuh. Pada pos pertama, teman-teman memutuskan untuk turun. Kembali ke bus yang siap memasang AC penghangat. Ya, bernapas saja rasanya tidak nyaman. Saya pikir, oksigen di udara terbuka berkurang. Sejenak saya ragu, karena kuatir mati konyol. Bukankah di media massa sering tertulis, sekian orang tewas karena diserang cuaca dingin?
Namun, pikiran yang menantang muncul: kalau bukan sekarang kapan lagi? Bukan perkara mudah untuk berada di negeri tua ini. Apalagi saya ingin meraih sertifikat beraksara Mandarin bahwa saya  pernah menginjakkan kaki di tembok terkenal sejagad. Menurut informasi, itu bisa diperoleh di pos beratap merah di puncak sana yang berarti saya harus melewati tiga pos lagi yang jaraknya tak kurang dari 500 meter dari tempat kami berlindung dari terpaan angin yang membawa udara sedingin es. Namun, mampukah saya? Kata-kata terkenal dari pemimpin besar China, Mao Tse-tung (1893-1976) yang disampaikan pemandu wisata lokal kembali terngiang di benak: “Siapa yang belum menginjak Great Wall belum layak disebut pahlawan”. Di dalam buku wisata yang saya beli di sekitar tembok raksasa itu, kata-kata itu tertulis: “He who does not reach the Great Wall is not a true man”. Tentu saja, kata-kata itu disampaikan dalam konteks China. Namun, apapun maksudnya, kata-kata itu sungguh membangkitkan semangat saya.
Kata pepatah Tiongkok kuno, “Perjalanan 10.000 li (5.000 km) dimulai dari langkah pertama”. Saya pun membajakan tekad. Ya, selangkah demi selangkah, sebatas kemampuan, tidak perlu memaksakan diri, saya pasti sampai, pikir saya. Lalu, saya mulai mendaki anak-anak tangga bersejarah ribuan tahun silam itu. Beberapa meter mendaki, berhenti. Dan berdiam diri. Saya selalu dihadapkan pada keputusan sulit: oh, masih jauh lagi, teruskan atau mundur saja? Mampukah saya? Sulit berpikir rasional, saya hanya mengikuti suara hati. Dan ketika napas tak lagi tersengal-sengal, saya mulai lagi mendaki. Berhenti. Mendaki lagi…. Semakin mendekati pos beratap merah, jalan semakin menyempit dan terjal. Padahal saat cuaca baik saja (musim semi atau gugur) tidak banyak orang yang berhasil mencapai pos beratap merah itu. Apalagi pada saat musim dingin yang membekukan sungai dan danau ….
Akhirnya, saya berhasil juga mencapai pos beratap merah itu. Saya merasa lega. Banyak souvenir khas Tiongkok dijual di sana. Saya tertarik, tapi tidak membeli apapun karena menurut pemandu wisata, harga-harga barang di sekitar tembok raksasa jauh lebih mahal. Kemudian, saya tanyakan sertifikat itu kepada beberapa penjaja barang, ternyata mereka tidak paham bahasa Inggris. Mereka menyambut saya dengan Mandarin. Tentu saja, saya pun menggeleng tanda tak paham. “Sertifikat! Sertifikat…” ujar saya, dan mencoba dengan bahasa isyarat berkali-kali. Akhirnya, mereka mengerti. Mereka pun mengangguk-angguk senang. Seseorang meminta uang sebesar 40 yuan (sekitar Rp 60.000) dengan mengatakan, “Poti, poti…” dalam bahasa Inggris yang tentu saja maksudnya, “Forty” (40). Kemudian, saya menuliskan nama lengkap di kertas yang disodorkan. Lalu, dengan terlatih seseorang mengukir nama saya di atas lempengen logam di samping kata-kata yang sudah tercetak dalam aksara Mandarin dan Inggris: “I HAVE CLIMBED THE GREAT WALL”  (Saya telah mendaki Tembok Besar). Wow! Beban yang memberati fisik dan mental lenyap seketika. Apalagi ketika teman-teman menyambut saya dengan tepuk tangan setiba di bawah. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan!
The Great Wall atau disebut dalam bahasa Indonesia, Tembok Tiongkok, dibangun setelah Kaisar China pertama, Qin Shi Huang (Dinasti Qin) berhasil mempersatukan China pada 221 SM. Namun, kemudian ditemukan bukti-bukti bahwa ternyata tembok ini sudah dibangun sebelumnya meski tidak sepanjang dan semegah yang dibangun oleh kaisar Qin. Tujuan pembangunan tembok adalah sebagai benteng untuk menahan serbuan dari musuh-musuh yang datang dari utara. Kemudian, pada masa Dinasti Ming (1368-1644), pembangunan tembok pun dilanjutkan lebih panjang lagi. Sejarah mencatat, Tembok Tiongkok yang saat ini dikunjungi jutaan orang setiap tahun dibangun pada Dinasti Ming, khususnya dibawah kepemimpinan Kaisar Zu Dhi (1360-1424). Banyak sekali korban berjatuhan dalam melaksanakan mega proyek ini. Memang tidak ada angka yang akurat, tapi sering disebutkan mencapai sekitar 2-3 juta orang tewas.
Dalam bahasa Mandarin, tembok ini disebut “Wan Li Chang Cheng” yang berarti “Tembok Panjang Sepuluh Ribu Li” (1 Li = 1/2 Km). Tembok ini terbentang melintasi 9 propinsi, mulai dari propinsi Liaoning di timur sampai ke propinsi Gansu di barat. Beberapa buku menyebut, panjang tembok lebih 5.000 km. Ada juga yang menyatakan, lebih 6.000 km. Keterangan ini membuat kita menjadi bingung. Lalu, mana yang benar? Perlu diketahui, Tembok Tiongkok ternyata ada yang bercabang-cabang. Adapun total panjang tembok  (jika digabungkan dengan cabang-cabangnya),  yang diumumkan pada 18 April 2009, setelah menggunakan peralatan teknologi canggih adalah 8.858,8 km. Bisa kita bandingkan, panjang negeri kita mulai dari Sabang (Aceh) ke Merauke (Papua) hanya sekitar 5.000 km. Jadi, betapa luar biasa  panjang Tembok Tiongkok ini. Bahkan dalam buku Ripley’s Believe It or Not ditulis “Tembok Tiongkok merupakan satu-satunya karya manusia yang bisa dilihat dari bulan”. Banyak orang percaya, terlebih pernyataan ini sering disampaikan pula oleh pemandu wisata dari China sebagai rasa bangga atas peradaban mereka. Namun, banyak pula pendapat yang menyatakan bahwa mustahil Tembok Tiongkok bisa dilihat dengan mata telanjang dari ruang angkasa. Bahkan, menurut astronot China sendiri, Yang Liwei, pada Oktober 2003, sewaktu dia berada di ruang angkasa, dia tidak dapat melihat tembok itu.
Mengingat betapa panjang tembok ini yang tampak seperti naga raksasa yang melintasi desa-desa, kota-kota, pegunungan, dan gurun pasir yang luas, tentu saja mustahil menjalani seluruhnya. Adalah William Lindesay asal Inggris yang berusaha melakukan petualangan gila itu, yakni menjalani Tembok Tiongkok dari barat sampai ke timur. Dalam 20 tahun terakhir, dia sudah menghabiskan waktu selama 1.300 hari di Tembok Tiongkok. Dia sudah berjalan kaki dan berlari sejauh 2.470 km yang menghabiskan waktu selama 78 hari. Pernah ditangkap sembilan kali oleh penjaga keamanan China. Sewaktu dideportasi pada 1987, William bertemu Wu Qi, yang setahun kemudian dinikahinya. Mereka sekarang tinggal di Beijing dengan kedua puteranya, Jimmy dan Tommy. Hasil petualangannya itu dituliskannya dalam buku Alone on the Great Wall (Sendiri di Tembok Tiongkok). Dia sangat terobsesi untuk menjaga kelestarian tembok bersejarah mengingat di beberapa tempat banyak yang sudah rusak.   
Tembok Tiongkok adalah salah satu hasil peradaban kuno yang menunjukkan kepada dunia betapa hebatnya China. Selama berada di sana, tak henti-hentinya kekaguman disampaikan oleh pengunjung mancanegara yang memadati negeri itu. Di China, kita melihat hal-hal mustahil bagi kebanyakan orang, ternyata bisa terjadi. Dalam dunia modern, China juga berhasil melesat melampaui negara-negara maju. Setelah sukses melaksanakan Olimpiade Beijing pada 2008 dengan menempati posisi terhormat, China juga tercatat sebagai negara yang sukses dalam perekonomian sementara negara-negara lain terpuruk. Betapa kontras dan ironis dengan negara kita yang katanya sudah melakukan reformasi, tapi senantiasa disibukkan dengan masalah korupsi yang terjadi di hampir seluruh penjuru negeri. Kita sudah pula memasuki era Perjanjian Perdagangan Bebas China-Asean sejak 1 Januari 2010. Alih-alih kreatif dan inovatif, tanpa mengubah mental korup dan sikap bermalas-malasan, bangsa kita akan mudah terlindas dalam persaingan hebat yang menanti di depan kita.   











Bencana dalam Perspektif Alkitab

Gunung Merapi
             
Bencana demi bencana terus saja terjadi di negeri ini. Dalam kurun waktu singkat terjadi tsunami, gempa bumi, banjir bandang, gunung meletus, dan sejumlah bencana lain di berbagai tempat yang nyaris tak jadi berita karena sudah merupakan kejadian sehari-hari. Sejumlah bencana beruntun itu telah menelan banyak korban jiwa yang membuat hati kita pilu. Lalu, sampai kapan semua bencana ini terjadi? Alih-alih berharap semua akan baik-baik saja, kita pun diingatkan agar selalu waspada dengan bencana-bencana susulan yang sulit diprediksi kedatangannya.
Sebagai umat yang percaya kepada Tuhan, kita sering menjadi bingung dan bertanya-tanya: Kenapa bencana selalu terjadi? Kenapa Tuhan seperti membiarkan malapetaka mengerikan itu menimpa kita? Apakah semua bencana itu terjadi murni karena kesalahan kita? Seperti nyanyian Ebiet G Ade dalam lagu Berita Kepada Kawan: “Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa...?”Namun, bukankah Tuhan itu adil, pemurah dan penyayang? Bukankah di antara banyak korban jiwa termasuk mereka yang belum berdosa seperti anak-anak, bayi-bayi...?
Menyikapi musibah demi musibah itu, kita perlu belajar dari Ayub, seorang kepala keluarga yang tinggal di Us (Timur Tengah) pada sekitar tahun 2000 SM. Ayub adalah seorang lelaki yang kaya raya, terhormat, dan beriman kepada Allah. Menurut Charles R Swindoll, pengarang biografi Ayub, kekayaan Ayub bisa disejajarkan dengan orang-orang yang terkaya di dunia seperti Bill Gates, Donald Trump, dan Ross Perot. Adapun Alkitab menulis, tidak seorang pun di bumi seperti Ayub: saleh, jujur, dan selalu berdoa kepada Tuhan. Dia pun selalu memperhatikan kehidupan keluarganya. Kalau anak-anaknya usai pesta, maka Ayub pun berdoa kepada Allah karena dia takut anak-anaknya telah berbuat dosa. Tentu saja, Allah memberkati keluarga Ayub. Namun, iblis tidak senang melihat Ayub. Iblis berkata, wajarlah Ayub menyembah Allah karena dia kaya raya, terpandang, dan diberkati. Coba kalau semua yang ada pada Ayub diambil, apakah Ayub akan masih menyembah Allah?Maka, atas seijin Allah, musibah demi musibah pun menimpa Ayub. Seorang hambanya yang luput dari maut berlari membawa kabar buruk: orang-orang Syeba menyerang tanah peternakan milik Ayub. Mereka membunuh hamba-hambanya dan merampas banyak ternak. Kemudian, datang lagi kabar mengejutkan: ada kilat mengguntur seperti api turun dari langit, menghabisi domba-domba dan semua penjaganya dalam sekejab. Tentu saja, Ayub sedih sekali. Namun, datang lagi musibah lain. Tiga pasukan orang Kasdim menyerang daerah yang ditinggali unta-unta. Mereka membunuh para penjaganya dan merampas unta-unta. Tak lama setelah peristiwa itu, datang angin puting beliung memporak-porandakan  kediaman anak Ayub. Dilaporkan, semua anak Ayub –tujuh laki-laki dan tiga perempuan– tewas ditimpa reruntuhan!

Desa Argomulyo luluh lantak akibat meletusnya Merapi
Dapatkah kita merasakan kesedihan yang menimpa Ayub? Penderitaan apa lagi yang kurang padanya? Dia yang disebut sebagai warga kota yang kaya raya, terhormat, dan taat kepada Allah, dalam waktu singkat menjadi jatuh miskin, terhina, dan sakit-sakitan. Yang paling menjijikkan adalah melihat tubuhnya yang luka-luka dan mengeluarkan bau busuk. Dulu, orang-orang ingin dekat dengannya, tapi sekarang semua menjauh. Bahkan isterinya sendiri, bukannya bersabar mendampingi sosok malang itu, malah turut menghinanya: “Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” Namun, apakah jawaban Ayub? “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” (Ayub 2:9-10). 
Sesungguhnya, Allah tidak pernah membiarkan orang-orang yang dikasihi-Nya ditimpa musibah tanpa makna. Ketika musibah datang, Allah seolah-olah meninggalkan kita. Kita merasa sedih, kesepian, dan tak berpengharapan. Namun, ingatlah, Allah punya rencana dalam setiap peristiwa. “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut; sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya.” (Mazmur 46: 2-4).
Meskipun Ayub didera oleh musibah demi musibah, dia tetap setia kepada Allah. Ayub menegaskan, tidak akan menjual integritasnya (harga diri) atau kesetiaannya kepada Allah sampai mati. Dia sadar bahwa dia datang ke dunia ini tidak membawa apa-apa, dan sekiranya dia pergi meninggalkan dunia ini, juga tidak membawa apa-apa! Alkitab menyebut bahwa pada akhirnya Allah memulihkan kekayaan dan kehormatan Ayub. “Lalu Tuhan memulihkan keadaan Ayub, setelah ia meminta doa untuk sahabat-sahabatnya, dan Tuhan memberikan kepada Ayub dua kali lipat dari segala kepunyaannya dahulu.” (Ayub 42:10). 
Perlu kita renungkan, sebagai pengikut Kristus, kita begitu berharga di hadapan Allah. “Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak dan emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” (1 Petrus 1:18-19). 
Di dunia ini kita hanya tinggal sementara. Di dunia fana ini kita menderita. Namun, percayalah, masih ada dunia lain, dunia baru yang diimpikan anak-anak Tuhan, di mana ratap dan tangis tak terdengar lagi: Kerajaan Surga! Mengingatkan kita pada kalimat Rasul Paulus yang begitu terkenal: “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21). Dan tahukah kita, kematian Rasul Paulus bagi kebanyakan orang adalah merupakan suatu bencana yang mengerikan: menurut tradisi kepalanya dipenggal dalam pemerintahan Romawi. Bisakah kita bayangkan, musibah itu menimpa seorang yang saleh, gigih memberitakan Injil, dan selalu menyandarkan hidupnya kepada Tuhan? Sebelum musibah itu menimpa dirinya, dari sel penjara Rasul Paulus berkirim surat kepada muridnya, Timotius: “Mengenai diriku, darahku sudah mulai dicurahkan sebagai persembahan dan saat kematianku sudah dekat. Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya, tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4: 6-8).  
Dalam perspektif Alkitab dengan jelas dapat kita lihat bahwa tidak ada satu pun peristiwa tanpa seijin Allah seperti musibah beruntun yang dialami oleh Ayub. Namun, satu hal yang dituntut dari kita adalah kesetiaan kepada Allah, sebagaimana Ayub dalam menghadapi bencana demi bencana yang dihadapinya. Maka, pada hari-Nya, kita juga akan tinggal bersama Bapa di sorga.

Catatan dari Tiongkok

Pemandangan di Xihu, Hangzhou
Pepatah kuno bilang, seratus kali mendengar, tidak lebih baik dari sekali melihat. Mungkin kita sudah mendengar lebih seratus kali tentang China. Gambaran saya tentang negeri itu adalah seperti yang ada di film-film silat. Atau, seperti yang di tulis dalam novel-novel termasyhur karya Pearl S. Buck (1892-1973), yang pernah tinggal lama di sana. Yakni, sebuah negeri tua yang terdiri dari rumah-rumah kuno; klenteng-klenteng tua di tepi sungai Yangtze yang mengalir tenang; orang-orang yang lalu lalang dengan baju-baju Tiongkok dengan rambut panjang dikuncir; pasar tradisional yang ramai dan semrawut. 
Ternyata saya keliru. Pepatah kuno itu, sekali lagi benar. Pada awal November 2006, ketika berkunjung ke China, ternyata negeri tirai bambu itu luar biasa. Pembangunan kota tampak di sana-sini. China adalah seperti naga-naga raksasa yang sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Untuk memahami negeri besar berpenduduk sekitar 1,3 milyar jiwa itu dalam seminggu perjalanan, tentu ibarat upaya keras si buta menceritakan tentang gajah.
Setelah terbang selama tiga setengah jam dari Penang, Malaysia, pesawat China Southem Airlines yang kami tumpangi mendarat mulus di Guangzhou Baiyun International Airport. Waktu menunjukkan pukul 11.50. Tidak ada perbedaan waktu antara China dan Malaysia. Dan saya terkejut ketika diberitahu bahwa saya termasuk diantara rombongan yang belum memiliki visa. Dengan sedikit terburu-buru, guide memerintahkan kami untuk mengikutinya menuju suatu ruang khusus. Ternyata tempat mengurus visa. Apa mungkin? Saya membayangkan untuk mengurus visa ke Jepang, Eropah, Amerika, dan Australia bisa berminggu-minggu. Namun, setelah menunggu hanya sekitar setengah jam, si pemandu gemuk yang kelihatan lelah itu menjulurkan paspor-paspor yang sudah di beri tanda visa masuk. Hebat sekali, pikir saya. Serba instan. Mengurus visa hanya dalam hitungan menit. 
Namun, di bagian imigrasi muncul masalah. Petugas yang duduk di loket tampak menggerutu dalam bahasanya, mungkin Mandarin, sambil melemparkan paspor kehadapan saya. “What’s wrong?” tanya saya. Dia malah tampak mengomel, saya tidak paham, telunjuk kirinya memerintahkan saya untuk minggir, dan memanggil antrian berikutnya. Kejadian itu ternyata menimpa teman saya pula. Ada apa gerangan? Pemandu yang antri di belakang kami buru-buru menyerobot ke barisan depan, menuyuruh kami mengisi nomor visa pada selembar kartu tanda masuk yang akan diminta petugas imigrasi. Oh, itu rupanya masalahnya. Namun, alangkah repotnya kalau saya pergi sendiri, dan tidak ada yang bersedia membantu. Ya, inilah bagian permulaan dari petualangan saya ke negeri tirai bambu.
Di Guangzhou kami hanya transit. Kami akan bermalam di Shanghai, kota yang terletak di tepi laut, bagian timur China. Kami harus terbang selama satu setengah jam lagi. Namun, penerbangan ditunda dua jam, dan bagi kami yang baru pertama kali berkunjung ke Tiongkok tentu bukan menjadi masalah. Kami menyempatkan diri menikmati suasana bandara yang sangat sibuk. Saya ingat, beberapa bulan lalu dikabarkan bahwa bandara ini  sunyi karena serangan wabah SARS. Namun, sekarang bandara tampak begitu ramai dikunjungi. Kami merasa bahasa menjadi kendala utama untuk berkomunikasi karena sulit sekali untuk menemukan orang di bandara yang bisa berbahasa Inggris.
Shanghai di tepi Sungai Huangpu di waktu malam
Pukul 18.10, kami tiba di Shanghai. Langit mulai gelap. Udara musim gugur di awal November belum begitu dingin. Dari atas bus, saya melihat Shanghai memang benar-benar kota raksasa. Pemandu lokal mulai bercerita, dahulu Shanghai adalah perkampungan nelayan. Shanghai berarti “Pergi ke laut”. Berpenduduk sekitar 16,5 juta jiwa. Lebih banyak dari penduduk Beijing, ibukota China (sekitar 15 juta jiwa).
Karena waktu yang begitu singkat di Tiongkok, maka kami tidak langsung ke hotel. Bus berhenti di tepi sungai Huangou yang terkenal itu. Wah, manusia menyemut di sini.  Shanghai diterangi cahaya rembulan. Indah sekali. Pantulan kilauan lampu dari gedung-gedung pencakar langit menambah semarak kota. Shanghai layak disebut kota yang bercahaya indah di malam hari. Di bawah pohon persik, orang-orang duduk berpasangan, bahkan ada yang berpangkuan. Semua seakan terhanyut dengan suasana romantis. Di sudut jalan, pengamen bersuara seperti Pavarotti bernyanyi diiringi akordion. Saya tidak mengerti, tapi sangat menyukainya. Saya pun berkata-kata dalam hati:“Aku mendengar rembulan bernyanyi untuk Shanghai. Menyambut pelancong-pelancong yang datang dari jauh. Cahayanya berkilau seperti malam bertabur mutiara. Lupakan kesedihanmu. Dengarlah, rembulan di atas Huangpu bernyanyi untukmu…” Saya pun melamun. Mengenang Sungai Deli. Konon, kapal pun pernah berlayar di sana. Namun, sekarang…. Ah, andai dikelola tentu tidak akan kalah dari Huangpu.
Pasar di Shanghai
Keesokan pagi, sebelum meninggalkan Shanghai, kami singgah di pasar tradisional di kota terbesar Cina itu. Ya, Shanghai begitu unik. Modern sekaligus kuno. Di pertokoan Shanghai yang ramai tampak jemuran berjejeran, pakaian-pakaian dalam wanita yang bergantungan menjadi bagian dari pemandangan. Pria-pria berjas tampak mengendarai sepeda di sepanjang jalan rimbun.
Bus berhenti di sebuah kelenteng yang didalamnya duduk patung raksasa Budha yang terbuat dari giok, kami turun, dan langsung dikelilingi pengemis. Sementara pedagang-pedagang jalanan dengan gesit menyodorkan barang-barangnya. Meskipun kita bilang “no”, mereka tetap mengejar dan berteriak, Role! Role”. Dan, jam tangan “mewah” bermerek Rolex ditawarkan seharga 80 yuan (sekitar Rp. 80.000). Ada pula pulpen “mewah” bermerek Montblanc, ditawarkan seharga 50 yuan. Tentu saja, semua barang bermerek itu palsu. Kami sudah diingatkan, kalau ingin membeli maka tawarlah harga serendah mungkin. Akhirnya, harga “Rolex’ tadi bisa diperoleh dengan 16 yuan, sedangkan merek pulpen mewah yang sering dipakai pejabat-pejabat tinggi diperoleh dengan harga 4 yuan. Semua transaksi dilakukan dengan lebih banyak menggunakan bahasa “kulkulator” dan dua kata, “yes” dan “no”.
Pada suatu lapak, ketika membayar souvenir, uang yang saya sodorkan langsung ditolak. Acim-acim pedagang itu mengangkat tangannya. “No! No” teriaknya. Saya bingung. Lama baru sadar bahwa yuan yang saya pegang ternyata palsu! Wah, gawat juga, pikir saya. Bisa-bisa ditangkap polisi karena diduga pengedar uang palsu, apalagi saya orang asing di negeri ini. Hebat juga dia, seorang ibu, begitu jeli mengenal uang palsu hanya dengan melihatnya dari jarak semeter. Sejak itu, saya harus berhati-hati karena uang palsu tampaknya banyak juga beredar di sini.
Perjalanan dilanjutkan ke Wuxi, Provinsi Jangsu. Disebutkan, kota kota itu adalah penghasil mutiara dan keramik terbesar di dunia, sudah terkenal sejak 1.500 tahun silam. Kita harus ekstra berghati-hati mengeluarkan uang di setiap persinggahan. Mutiara yang tertulis di etalase seharga 5.300 yuan, ternyata dibisa di peroleh dengan harga 1.500 yuan. Ada seorang teman, menginginkan cincin bermata giok. Harga tertulis 1.600 yuan. Dan ternyata, setelah tawar-menawar, bisa diperoleh dengan harga 200 yuan.
Akhirnya, kota inilah yang ingin saya kunjungi, Nanjing. Sebab di kota ini, pemimpin besar China,  Sun Yat-sen (1866-1925) dimakamkan. Sun Yat-sen adalah pemimpin besar rovolusi China. Kalau Indonesia memiliki pahlawan besar  Soekarno, maka China memiliki Sun Yat-sen. Ia adalah anak keluarga petani sederhana, lahir pada 12 November 1866 di Zhongshan, Provinsi Guangdong. Pada 1879, ia pergi ke Honolulu untuk belajar. Pada 1886-1892, ia belajar kedokteran di Guangzhou. Setelah lulus, ia buka praktik di Macao. Pada akhirnya hatinya terpanggil untuk terjun ke dunia politik karena melihat negerinya terpuruk dalam krisis disebabkan dinasti Ching yang korup. Dengan beraninya Sun Yat-sen meminta agar China direformasi total. Masa penantian panjang untuk membawa negerinya menjadi bangsa modern dilakukannya dengan mengunjungi berbagai negara, dan secara intensif belajar tentang ekonomi dan politik barat. Berulang kali pemberontakan yang dipimpinnya gagal sehingga ia terpaksa lari ke pengasingan, seperti ke Tokyo. Di sana ia menikah dengan Soong Ching Ling (1893-1981) pada 25 Oktober 1915, saat usianya 49 tahun. Mengingatkan kita pada Bung Hatta, menikah pada usia 43 tahun, setelah kemerdekaan diproklamirkan. Sebagai catatan, baru-baru ini dikabarkan, Soong Mayling (istri mantan pemimpin Cina, Chiang Kai-shek), meninggal pada 29 Oktober 2003, dalam usia lanjut, 106 tahun di New York. Dia adalah adik kandung Soong Ching Ling.
Pada 1912, akhirnya perjuangan Sun Yat-sen berhasil membawa China sebagai negara modernl. Dinasti Ching pun berakhir. Dia menjadi presiden pertama negeri besar itu.  
Kabar sedih tersiar pada 12 Maret 1925. Sun Yat-sen wafat di Beijing karena penyakit kanker hati. Untuk mengenang jasa-jasa besarnya, pemerintah membangun makam Sun Yat-sen di sebuah pinggiran kota Nanjing, di bukit Zhongshan. Pembangunan makam yang indah itu dimulai pada 1926 dan selesai pada 1929. Pada 1 Juni 1929, jenazah pahlawan besar itu dipindahkan ke Nanjing. Untuk bisa berdiri di depan makamnya, kita harus mendaki ratusan anak tangga menuju bukit permai yang berbentuk lonceng itu. Disana, kita melihat patung pahlawan besar itu terbaring tenang dengan wajah khasnya yang teduh di atas makam yang terbuat dari marmer. Disana, ribuan orang setiap hari mengunjunginya. Pastilah banyak, diam-diam tertunduk, merenung dan menghormatinya. Dan terus terang, saya tekejut ketika pemandu lokal mengatakan, tokoh besar itu adalah seorang Kristen.
Tak kalah mengesankan adalah ketika mengunjungi kota kuno, Hangzhou, ibukota Propinsi Zhejiang. Profesor Chen Gang dalam buku Greater Hongzhou a New Travel Guide menulis, Hangzhou menjadi ibukota Cina pada zaman Dinasti Song (1127-1279). Sejak lebih seribu tahun silam orang-orang China mengatakan, “Above is Paradise, below is Hangzhou”. Kalau keindahan surga ada dilangit, maka keindahan bumi ada di Hangzhou. Dikatakan, bila turis-turis asing mengatakan, “There is no paradise in the world except Hawai”, tentu saja karena mereka belum melihat Hangzhou. Pelaut legendaris Marco Polo ketika singgah di sana pada abad XIII menulis keindahan kota kuno itu, “City of heaven. It is without the finest and most splendid city in the world”.
Di Hangzhou pulalah terletak Xi hu atau Danau Barat yang termasyur itu. Keindahan Danau Barat ditulis oleh seorang utusan dari Jepang yang berkunjung sekitar 500 tahun silam. “Once I saw a painting of the West Lake, that on earth I did not believe existed. Today just when I get to this lake, I realize the painting is far from perfect” (Saat kulihat lukisan Danau Barat, aku tak percaya itu ada di bumi. Dan sekarang, ketika kulihat sendiri danau itu, aku menyadari, lukisan itu ternyata jauh dari sempurna).
Saya coba membandingkan keindahan Danau Barat dengan Danau Toba. Apalagi saat saya berdiri pada suatu bukit dekat Tongging. Jujur saya katakan, saya lebih terpesona melihat keindahan Danau Toba. Namun, siapa yang akan percaya dengan perasaan saya? Saya membayangkan pula, seandainya Marco Polo melihat danau itu pada abad XIII. Ya, coba bayangkan, seperti apakah keindahan Danau Toba sekitar 700 tahun silam?
Harian Kompas (20 Oktober 2003) melaporkan, pemerintah daerah Hongzhou menghabiskan dana sekitar 180 juta dolar AS (sekitar Rp. 1,5 triliun) untuk memperbaiki lingkungan Danau Barat sebagai upaya menarik wisatawan. Sementara, harian Sinar Indonesia Baru (12 November 2003) melaporkan, korupsi oknum pajak mencapai Rp. 240 triliun. Ah, seandainya Rp. 1 triliun saja disumbangkan untuk membenahi Danau Toba.... Mungkin kita bisa mengelilingi danau yang indah itu dengan cable car. Tentu saja, turis-turis dari pelosok dunia berdatangan. Dan tentu saja, lebih banyak devisa yang masuk. Alih-alih membenahi Danau Toba, malah dilaporkan, airnya semakin menyusut akibat penjarahan hutan. Ah, betapa tidak adilnya!
Saya bisa membuat ringkasan tentang strategi China menghasilkan banyak devisa dari pariwisata: daya tariknya adalah negeri itu sendiri. Kalau banyak negara menciptakan objek-objek wisata, maka China adalah parawisata itu sendiri, yakni dianugrahi banyak sekali objek wisata. Pariwisata China, tentu saja, selain banyaknya pemandangan, juga wisata sejarah, budaya, agama, dan belanja. Sejak pintu negeri itu dibuka lebar-lebar, China bekerja keras untuk membangun pariwisatanya secara profesional. Tampak  pula adanya koordinasi yang baik di segala bidang. Misalnya, mengenai mudahnya visa diperoleh, menurut pemandu, itu diberikan kepada penumpang yang menaiki pesawat-pesawat milik China. Di samping itu, keunggulan-keunggulan unik negeri itu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Misalnya, para pelancong seperti diatur untuk berkunjung ke objek-objek wisata yang memang menarik, sekaligus dimanfaatkan untuk berdagang. Di Wuxi, misalnya, di tepi  Tai Hu atau Danau Tai terdapat penangkaran mutiara. Dengan semangat mengesankan, mereka menceritakan secara fasih keindahan mutiara yang telah banyak diekspor ke seluruh dunia. Perhiasan-perhiasan bermutu tinggi dari mutiara dipajangkan, sehingga para turis tertarik membeli lebih banyak.
Kita dibawa pula tempat penjualan keramik. Ya, bukankah keramik China sudah terkenal sejak dahulu kala? Ada teko lengkap dengan gelas-gelas indah terbuat dari keramik. Kita disempatkan pula berkunjung ke rumah kain sutra di Suzhou. Para turis dibawa pula ke kebun teh di desa Meijiawu. Foto-Foto pemimpin besar terpampang di dinding, seperti Mao Zedong yang sedang mengunjungi kebun teh itu. Mereka dengan fasihnya menceritakan kelebihan masing-masing teh dan khasiatnya bagi kesehatan. Kita dibawa pula ke tempat pengobatan tradisional yang memang sudah terkenal sejak dulu, dan mereka memberi konsultasi kesehatan secara gratisa. Ujung-ujungnya, kita pun seperti rela membeli ramuan-ramuan yang katanya untuk kesehatan itu.
Demikian mungkin antara lain strategi China memperoleh devisanya. Kalau memang ada kekurangan, mungkin paling mencolok adalah sikap arogansi petugas imigrasi menyambut tamu-tamunya di bandara. Namun, itu akan mudah diatasi mengingat China begitu bergairah membangun negerinya. Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah memiliki strategi yang baik untuk mengundang wisatawan manca negara lebih banyak lagi? Pelaku-pelaku wisata kita tampaknya bisa belajar dari kehebatan China.

Pemimpin Masa Depan

Menyikat lantai dan mencuci pispot sama mulianya dengan menjadi presiden (Richard M Nixon)

        Hasil riset Lembaga Survei Indonesia (2007) menyebutkan, sebanyak 86,8 persen responden mendukung jika calon gubernur yang maju dalam pilkada  DKI Jakarta mendatang dari parpol dan calon nonparpol. Bahkan, sebanyak 59,3 persen responden mengaku akan memilih calon nonparpol jika mereka diperbolehkan ikut pilkada (Kompas, 4 Juni 2007). Bisa dipastikan, rakyat di luar DKI Jakarta juga akan mengharapkan calon-calon pemimpin masa depan muncul dari nonparpol. Bukankah hal itu sudah terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, di mana gubernur terpilih berasal dari nonparpol?
Pertanyaan kita adalah kenapa rakyat bersikap demikian? Berdasarkan hasil riset LSI untuk DKI Jakarta, keinginan itu muncul karena 64 persen responden kurang yakin calon dari parpol mampu memenuhi aspirasi mereka. Kalau hasil riset itu kita jadikan acuan, maka bisa disimpulkan bahwa rakyat tidak suka lagi dengan gaya kepemimpinan sekarang ini. Setelah terpilih, sosok tersebut bukannya menciptakan perubahan yang cukup signifikan bagi kesejahteraan rakyat, justru membuat berita-berita memuakkan; terlibat korupsi di sana-sini. Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, salah satu titik lemah Indonesia saat ini adalah minimnya keteladanan dari pemimpin atau elite politik. Dengan kata lain, negeri ini sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Apakah yang dimaksud dengan pemimpin? Robert W Terry mengutip Edward C Pinkerton dalam buku Authentic Leadership menulis, kepemimpinan berasal dari kata benda (Yunani), agogos. Kata ini diturunkan dari kata kerja agein, diterjemahkan menjadi to lead (memimpin) atau to drive (mengemudikan). Oleh karena itu, agogos diterjemahkan sebagai leader (pemimpin). Kata kerja (Latin) yang berkaitan dengan itu adalah ago dan agere, yang berarti “mendorong, memimpin; menggerakkan; melakukan, bertindak, mengerjakan; mengelola.” Banyak definisi tentang kepemimpinan, tapi pada umumnya, pemimpin disebut sebagai orang yang mengajak para pengikutnya bekerja sama untuk mewujudkan visi dan misinya.
Konsep umum tersebut melahirkan dua kelompok besar yang menyatakan siapa-siapa saja yang layak disebut pemimpin. Kelompok pertama menyebut, diktator seperti Hitler termasuk pemimpin. Kelompok kedua menyatakan seseorang yang layak disebut sebagai pemimpin adalah sosok yang memiliki moral dan intelektualitas. “Kepemimpinan adalah tindakan yang autentik, suatu mode yang unik dan terhormat dari keterlibatan dalam kehidupan,” tulis Robert W Terry. Adapun JM Burns dalam buku On Being a Leader menyatakan, “Seorang pemimpin harus memiliki etika, sebab hal itu merupakan jantung kepemimpinan”. Dan secara spesifik, Alkitab menyatakan, sosok yang dapat disebut sebagai pemimpin adalah sekaligus seorang pelayan.
Konsep “pemimpin sebagai pelayan” sekilas tampak sudah kuno atau ketinggalan zaman. Namun, dalam buku A New Paradigm of Leadership dan The Leader of the Future, di mana sejumlah penulis terkenal tentang kepemimpinan seperti Stephen R Covey, Warren Benis, Tom Peters, dan Peter F Drucker ikut mengambil bagian menyatakan, kepemimpinan masa depan atau millenium baru adalah kepemimpinan yang melayani. “Prinsip pelayanan ini saya tekankan karena saya meyakini bahwa usaha untuk menjadi berprinsip tanpa mau memikul beban pasti akan menemui kegagalan,” tulis Stephen R Covey. Menurut penulis buku monumental The Seven Habits of Highly Effective People, pemimpin masa depan adalah seseorang yang menciptakan suatu budaya atau sistem nilai yang berpusat pada prinsip-prinsip;  rendah hati, dan juga memiliki keberanian untuk menyelaraskannya, di mana hal tersebut membutuhkan pengorbanan pribadi yang besar. Dari kerendahan hati, keberanian, dan pengorbanan muncullah individu yang memiliki integritas. Kerendahan hati akan menyatakan bahwa: “Saya tidak mengendalikannya; prinsip-prinsiplah yang pada akhirnya mengatur dan mengendalikannya”.
Konsep kepemimpinan yang melayani dapat pula kita temukan berdasarkan riset terkini. Menurut Jim Collins (hasil riset ditulis dalam buku Good to Great yang mendapat pujian dari antara lain, USA Today, Fortune, Wall Street Journal, dan Business Week) menyebutkan, dari 1.453 perusahaan yang muncul dalam  Fortune 500, setelah diseleksi secara ketat, hanya sebelas perusahaan yang bisa dianggap memiliki kepemimpinan tingkat 5 atau pemimpin hebat (great). Adapun yang disebut dengan pemimpin tingkat 5, yakni seseorang yang membaurkan kerendahan hati pribadi dengan kemauan profesional yang kuat. Pemimpin seperti itu tidak pernah ingin menjadi pahlawan yang kehadirannya mencolok; tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pujaan orang banyak atau menjadi ikon yang tidak dapat disentuh. Mereka tampak seperti orang biasa, tapi diam-diam membuahkan hasil yang luar biasa.
 “Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang cerdas, berintegritas, dan berjiwa melayani itu adalah mungkin sekali. Kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi (1869-1948). “Segera setelah peperangan berakhir, dia siap memangku pimpinan tertinggi di Kongres, menulis ulang undang-undang dasar dan mengubah lobi reformasi politik yang sebagian besar bersifat moderat menjadi gerakan massa yang sangat luar biasa besar, menuntut kebebasan India dari eksploitasi dan dominasi penjajah Inggris. Tetapi setelah mendapatkan kekuatan politik yang lebih besar daripada yang pernah dinikmati orang India lainnya selama seabad terakhir kekuasaan Inggris, dia menolak semua keuntungan kekuasaan yang didamba-dambakan oleh para pimpinan lainnya di seluruh dunia…. Ketika Kongres menawarinya kekuasaan mutlak  atas fasilitas nasional dan mahkota kepresidenan, ia selalu menolak, mempersilakan mereka yang lebih muda untuk mengenakan apa yang disebutnya sebagai “mahkota duri” itu,” tulis Stanley Wolpert dalam buku Gandhi's Passion The Life and Legacy of Mahatma Gandhi. Kita juga bisa menambahkan daftar pemimpin yang berjiwa melayani, antara lain, Nelson Mandela, Ibu Theresa, Bung Hatta, Agus Salim, dsb. Dalam diri sosok-sosok itu bisa jelas terlihat bahwa mereka menjadikan kepemimpinan sebagai suatu pelayanan. Dengan kata lain, mereka tidak gila kekuasaan.
Di negeri kita sedang terjadi persoalan-persoalan besar: tingginya angka kemiskinan, besarnya pengangguran, kemerosotan moral, dan bencana-bencana alam. Maka, tidak bisa ditawar-tawar lagi dan waktunya amat mendesak, pemimpin yang dapat mengemban tugas mulia itu adalah sosok yang memiliki integritas, intelektual, dan jiwa yang melayani. Adanya sejumlah kualifikasi itulah yang layak disebut sebagai pemimpin masa depan kita. Tanpa itu, siapapun kelak yang terpilih, bisa dipastikan, akan gagal membawa kita bangkit dari keterpurukan.

Kamis, 18 November 2010

Adakah Tuhan?

Pada pukul 17.17 waktu setempat, pesawat Dragonair yang saya tumpangi dari Hong Kong mendarat mulus di bandara internasional Beijing, ibukota China. Saya pikir, waktu masih sore (Medan saat ini pukul 16.17. Waktu China lebih cepat sejam). Namun, langit yang saya intip dari jendela kelihatan sudah gelap. Ya, karena sekarang musim dingin. Waktu malam lebih panjang dari siang. Saya tiba di negeri tirai bambu pada Senin, 28 Desember 2009. Kemudian, terdengar pilot pesawat mengumumkan bahwa cuaca di luar saat ini minus sepuluh derajat Celsius. Saya sudah menyiapkan empat lapis pakaian, penutup kepala, dan sarung tangan. Saya pikir, persiapan saya sudah cukup untuk menahan dingin.
Namun, ketika saya menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelanjaan untuk menemani teman-teman mencari perlengkapan selama di Tiongkok, udara dingin terasa amat menusuk. Dalam beberapa menit saja, ujung jari tangan dan kaki seperti mati rasa, hidung meler, mata merah dan berair, kuping terasa perih. Wah! Kami pun berlari tergopoh-gopoh memasuki pertokoan yang memasang penghangat. Dinginnya sungguh di luar dugaan kami.
Ada satu hal yang mengusik perhatian saya: pohon natal tinggi dan besar bercahaya indah di tengah-tengah pusat perbelanjaan modern yang disesaki manusia yang kelihatan makmur dengan melihat penampilannya tak kalah dengan orang-orang Jepang yang pernah saya lihat di berbagai pusat keramaian di Tokyo. Laporan dari media massa menyebutkan, perekonomian China memang saat ini sungguh tak tertandingi. Dan satu hal lagi yang mencuri perhatian saya adalah hampir semua pertokoan menampilkan pernik-pernik natal: merry chrismas, santaklaus, lonceng-lonceng kecil,  salju-salju…. Bisa saya simpulkan bahwa semarak suasana natal justru lebih ramai kelihatan di China yang masih menganut paham komunis ketimbang di Indonesia. Hati saya pun dipenuhi tanya: adakah Tuhan telah lahir juga di hati banyak orang di negeri berpenduduk 1,3 milyar jiwa ini?
Pada suatu kesempatan saya bertanya pada pemandu wisata lokal dengan menyampaikan pertanyaan yang umum: “Apakah agama Anda?”
           “Saya tidak punya agama,” katanya. Lalu, dia tertawa. Berusaha bersikap ramah seperti umumnya pemandu wisata di mana pun saya lihat. Saya teringat saat berkunjung ke Shanghai pada musim gugur 2003. Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada pemandu wisata, seorang perempuan yang sepertinya baru lulus dari perguruan tinggi. Jawabannya waktu itu, “No religion….” Tidak ada agama!
Pemandu wisata di Beijing mengatakan, hampir semua penduduk di China tidak punya agama. “Memang di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, saya lihat orang-orang muda sudah banyak juga yang memeluk agama Kristen,” tambahnya.
“Apakah Anda percaya bahwa Tuhan itu ada?” tanya saya.
“Ngga tahu, ya….” jawabnya. “Kalaupun Tuhan itu ada… saya pikir, kalau kita selalu berbuat baik, Tuhan pasti senang….
“Setiap manusia pasti sering mengalami penderitaan yang membuat jiwanya susah. Manusia pasti memerlukan pertolongan. Mungkin bukan dalam bentuk materi semata. Kebanyakan orang beragama, meminta bantuan kepada Tuhan. Kalau Anda mengalami semacam itu, apakah yang Anda lakukan?”
“Saya tidak meminta bantuan dari Tuhan.  Kalau susah, saya pikir, semua orang juga pasti mengalaminya.”
“Kalau kita mati… apakah yang Anda bayangkan, ke mana kita? Bagaimana menurut pendapat Anda?”
“Saya pikir, kalau selama di dunia kita menjadi orang baik, di dunia sana juga kita menjadi orang baik.”
"Kalau menjadi orang jahat?"
"Nanti balik lagi ke dunia ini, menjadi binatang...."
Nina, aku, dan Chelsea
Pada Kamis, 31 Desember 2009, saya terbang selama hampir dua jam ke selatan bersama pesawat  Air China ke Hangzhou, bekas ibukota Tiongkok kuno. Saya memasuki sebuah kelenteng besar yang sudah berusia ratusan tahun. Tampak suasana semarak  untuk menyambut tahun baru. Orang-orang ke luar masuk untuk bersembahyang. Membakar kertas-kertas beraksara kanji. Berdiri penuh hikmat dengan kedua telapak tangan menjepit hio (seperti lidi) berwarna merah  yang ujungnya mengeluarkan asap. Lalu, bersujud dengan kusuk. Membungkukkan badan berkali-kali di hadapan patung raksasa gemuk berperut buncit yang duduk santai dan tertawa cengegesan melihat setiap orang yang menyembahnya.
Sejarah Tiongkok tercatat sejak ribuan tahun sebelum Masehi (Dinasti Xia 2070-1600 SM). Negeri ini mewariskan banyak sekali peninggalan kebudayaan bermutu tinggi. Umat muslim sering mengutip pernyataan terkenal Nabi Muhammad, “Tuntutlah ilmu sampai ke China”. Tumbangnya kekaisaran terakhir China (Dinasti Qing) pada 1911 adalah karena terjadi Revolusi China yang dipimpin oleh Sun Yat-sen (1866-1925), seorang yang beragama Kristen. Ketika dia meninggal, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Chiang Kai-shek (1888-1975), juga seorang Kristen. Namun, politik China senantiasa diwarnai oleh berbagai kemelut berdarah.
Pada 1949, dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung, komunis mengambil alih kekuasaan, dan Chiang Kai-sek bersama pengikutnya melarikan diri ke Taiwan, sebuah pulau kecil yang sampai saat ini masih diklaim China daratan sebagai wilayahnya, sementara Taiwan tetap mempertahankan negerinya sebagai wilayah yang berdaulat. Ketika rezim komunis berkuasa, orang-orang yang percaya kepada Tuhan dikejar-kejar dan dipenjarakan. Justru, ditengah banyaknya penganiayaan, muncul penginjil-penginjil yang militan seperti John Sung, yang dijuluki “Obor Allah di Asia” dan Watchman Nee yang dijuluki sebagai “Hamba Tuhan yang Menderita”.
Sebagai pengikut Tuhan yang merasa nyaman beribadah di negeri kita, betapa iman kristiani itu sering kali tertidur. Tuhan tidak hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Harian Kompas, 29 Mei 2008 menulis tentang perkembangan suatu kelompok bernama Pew Forum yang ragu soal keberadaan Tuhan. Disebut, ada sekitar 16 persen dari 304 juta penduduk AS mengikuti aliran kelompok itu. Beberapa ahli memberi penjelasan soal fenomena ini bahwa perkembangan kelompok itu memperlihatkan perlawanan pada semua agama konvensional yang ada. Kelompok itu disebut memiliki moral, sebaliknya merasa heran atas perilaku jahat dari orang-orang yang selalu menyatakan bahwa Tuhan itu ada.
Perlu kita renungkan, setiap tahun seusai perayaan natal dan tahun baru, kita memasuki minggu-minggu epiphanias, yakni suatu ibadah yang mengingatkan bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya kepada kita. Dengan kata lain, tanpa Tuhan sendiri secara proaktif menyatakan diri-Nya, maka kita sama sekali tidak akan pernah mengenal Tuhan secara pribadi. “Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (Roma 3:11).
Sudah berapa lamakah kita mengenal Tuhan? Adakah Tuhan hadir dalam diri kita? Atau, justru melalui sikap kita Tuhan menjauh sehingga orang-orang tidak merasakan kehadiran-Nya dan menyatakan, “tidak peduli Tuhan ada atau tidak”? Ataukah Tuhan itu kita sebutkan demi suatu agama yang kita anut semata? Seperti suasana natal di Tiongkok, menurut pendapat saya, bukan untuk menyatakan Tuhan ada, melainkan demi suatu daya tarik pariwisata agar banyak pelancong yang datang dari jauh, khususnya dari barat, terkagum-kagum? 
Adakah Tuhan? Tuhan adalah omnipresent. Tuhan hadir di mana-mana. Kiranya, kehadiran Tuhan dalam diri kita menunjukkan secara nyata bahwa Tuhan itu ada. Dan hal itu bisa dilihat dari kehidupan kita sehari-hari sehingga melalui kesaksian kita, banyak orang datang menyembah-Nya.