Jumat, 19 November 2010

Pemimpin Masa Depan

Menyikat lantai dan mencuci pispot sama mulianya dengan menjadi presiden (Richard M Nixon)

        Hasil riset Lembaga Survei Indonesia (2007) menyebutkan, sebanyak 86,8 persen responden mendukung jika calon gubernur yang maju dalam pilkada  DKI Jakarta mendatang dari parpol dan calon nonparpol. Bahkan, sebanyak 59,3 persen responden mengaku akan memilih calon nonparpol jika mereka diperbolehkan ikut pilkada (Kompas, 4 Juni 2007). Bisa dipastikan, rakyat di luar DKI Jakarta juga akan mengharapkan calon-calon pemimpin masa depan muncul dari nonparpol. Bukankah hal itu sudah terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam, di mana gubernur terpilih berasal dari nonparpol?
Pertanyaan kita adalah kenapa rakyat bersikap demikian? Berdasarkan hasil riset LSI untuk DKI Jakarta, keinginan itu muncul karena 64 persen responden kurang yakin calon dari parpol mampu memenuhi aspirasi mereka. Kalau hasil riset itu kita jadikan acuan, maka bisa disimpulkan bahwa rakyat tidak suka lagi dengan gaya kepemimpinan sekarang ini. Setelah terpilih, sosok tersebut bukannya menciptakan perubahan yang cukup signifikan bagi kesejahteraan rakyat, justru membuat berita-berita memuakkan; terlibat korupsi di sana-sini. Sultan Hamengkubuwono X mengatakan, salah satu titik lemah Indonesia saat ini adalah minimnya keteladanan dari pemimpin atau elite politik. Dengan kata lain, negeri ini sedang mengalami krisis kepemimpinan.
Apakah yang dimaksud dengan pemimpin? Robert W Terry mengutip Edward C Pinkerton dalam buku Authentic Leadership menulis, kepemimpinan berasal dari kata benda (Yunani), agogos. Kata ini diturunkan dari kata kerja agein, diterjemahkan menjadi to lead (memimpin) atau to drive (mengemudikan). Oleh karena itu, agogos diterjemahkan sebagai leader (pemimpin). Kata kerja (Latin) yang berkaitan dengan itu adalah ago dan agere, yang berarti “mendorong, memimpin; menggerakkan; melakukan, bertindak, mengerjakan; mengelola.” Banyak definisi tentang kepemimpinan, tapi pada umumnya, pemimpin disebut sebagai orang yang mengajak para pengikutnya bekerja sama untuk mewujudkan visi dan misinya.
Konsep umum tersebut melahirkan dua kelompok besar yang menyatakan siapa-siapa saja yang layak disebut pemimpin. Kelompok pertama menyebut, diktator seperti Hitler termasuk pemimpin. Kelompok kedua menyatakan seseorang yang layak disebut sebagai pemimpin adalah sosok yang memiliki moral dan intelektualitas. “Kepemimpinan adalah tindakan yang autentik, suatu mode yang unik dan terhormat dari keterlibatan dalam kehidupan,” tulis Robert W Terry. Adapun JM Burns dalam buku On Being a Leader menyatakan, “Seorang pemimpin harus memiliki etika, sebab hal itu merupakan jantung kepemimpinan”. Dan secara spesifik, Alkitab menyatakan, sosok yang dapat disebut sebagai pemimpin adalah sekaligus seorang pelayan.
Konsep “pemimpin sebagai pelayan” sekilas tampak sudah kuno atau ketinggalan zaman. Namun, dalam buku A New Paradigm of Leadership dan The Leader of the Future, di mana sejumlah penulis terkenal tentang kepemimpinan seperti Stephen R Covey, Warren Benis, Tom Peters, dan Peter F Drucker ikut mengambil bagian menyatakan, kepemimpinan masa depan atau millenium baru adalah kepemimpinan yang melayani. “Prinsip pelayanan ini saya tekankan karena saya meyakini bahwa usaha untuk menjadi berprinsip tanpa mau memikul beban pasti akan menemui kegagalan,” tulis Stephen R Covey. Menurut penulis buku monumental The Seven Habits of Highly Effective People, pemimpin masa depan adalah seseorang yang menciptakan suatu budaya atau sistem nilai yang berpusat pada prinsip-prinsip;  rendah hati, dan juga memiliki keberanian untuk menyelaraskannya, di mana hal tersebut membutuhkan pengorbanan pribadi yang besar. Dari kerendahan hati, keberanian, dan pengorbanan muncullah individu yang memiliki integritas. Kerendahan hati akan menyatakan bahwa: “Saya tidak mengendalikannya; prinsip-prinsiplah yang pada akhirnya mengatur dan mengendalikannya”.
Konsep kepemimpinan yang melayani dapat pula kita temukan berdasarkan riset terkini. Menurut Jim Collins (hasil riset ditulis dalam buku Good to Great yang mendapat pujian dari antara lain, USA Today, Fortune, Wall Street Journal, dan Business Week) menyebutkan, dari 1.453 perusahaan yang muncul dalam  Fortune 500, setelah diseleksi secara ketat, hanya sebelas perusahaan yang bisa dianggap memiliki kepemimpinan tingkat 5 atau pemimpin hebat (great). Adapun yang disebut dengan pemimpin tingkat 5, yakni seseorang yang membaurkan kerendahan hati pribadi dengan kemauan profesional yang kuat. Pemimpin seperti itu tidak pernah ingin menjadi pahlawan yang kehadirannya mencolok; tidak pernah bercita-cita untuk menjadi pujaan orang banyak atau menjadi ikon yang tidak dapat disentuh. Mereka tampak seperti orang biasa, tapi diam-diam membuahkan hasil yang luar biasa.
 “Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” kata Bung Karno. Sejarah membuktikan bahwa pemimpin yang cerdas, berintegritas, dan berjiwa melayani itu adalah mungkin sekali. Kita bisa belajar dari Mahatma Gandhi (1869-1948). “Segera setelah peperangan berakhir, dia siap memangku pimpinan tertinggi di Kongres, menulis ulang undang-undang dasar dan mengubah lobi reformasi politik yang sebagian besar bersifat moderat menjadi gerakan massa yang sangat luar biasa besar, menuntut kebebasan India dari eksploitasi dan dominasi penjajah Inggris. Tetapi setelah mendapatkan kekuatan politik yang lebih besar daripada yang pernah dinikmati orang India lainnya selama seabad terakhir kekuasaan Inggris, dia menolak semua keuntungan kekuasaan yang didamba-dambakan oleh para pimpinan lainnya di seluruh dunia…. Ketika Kongres menawarinya kekuasaan mutlak  atas fasilitas nasional dan mahkota kepresidenan, ia selalu menolak, mempersilakan mereka yang lebih muda untuk mengenakan apa yang disebutnya sebagai “mahkota duri” itu,” tulis Stanley Wolpert dalam buku Gandhi's Passion The Life and Legacy of Mahatma Gandhi. Kita juga bisa menambahkan daftar pemimpin yang berjiwa melayani, antara lain, Nelson Mandela, Ibu Theresa, Bung Hatta, Agus Salim, dsb. Dalam diri sosok-sosok itu bisa jelas terlihat bahwa mereka menjadikan kepemimpinan sebagai suatu pelayanan. Dengan kata lain, mereka tidak gila kekuasaan.
Di negeri kita sedang terjadi persoalan-persoalan besar: tingginya angka kemiskinan, besarnya pengangguran, kemerosotan moral, dan bencana-bencana alam. Maka, tidak bisa ditawar-tawar lagi dan waktunya amat mendesak, pemimpin yang dapat mengemban tugas mulia itu adalah sosok yang memiliki integritas, intelektual, dan jiwa yang melayani. Adanya sejumlah kualifikasi itulah yang layak disebut sebagai pemimpin masa depan kita. Tanpa itu, siapapun kelak yang terpilih, bisa dipastikan, akan gagal membawa kita bangkit dari keterpurukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar