Kamis, 18 November 2010

Minus Sepuluh di Kota Terlarang



Lapangan Tiananmen. Uh, dingin sekali...!

Dua hari sebelum terbang ke Beijing, saya mendapat informasi dari tour leader (pemandu wisata) bahwa suhu di bagian utara China saat ini sekitar minus sepuluh sampai minus duapuluh derajat Celsius. Kami diminta untuk membawa pakaian dan jaket tebal, sarung tangan, penutup kepala, dan berbagai perlengkapan musim dingin. “Dinginnya luar biasa, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Pada Senin, 28 Desember 2009, pukul 09.43 waktu Malaysia, kami pun terbang dengan pesawat Cathay Pacific dari bandara Kuala Lumpur ke Hong Kong. Setelah tiga setengah jam mengudara, pesawat mendarat di bandara Hong Kong. Kami transit di sini. Lalu, pada pukul 14.26, kami melanjutkan penerbangan dengan pesawat Dragonair. Monitor di bangku pesawat menunjukkan jarak Hong Kong-Beijing 1.238 miles (1.992 km). Pada pukul 17.17 waktu China (tidak ada perbedaan waktu dengan Malaysia), pesawat mendarat di bandara Beijing. Waktu tampaknya masih sore, tapi saat saya mengintip dari balik jendela pesawat, langit sudah gelap.  Ya, sekarang musim dingin. Waktu malam lebih panjang dari siang.  Kemudian, terdengar pilot pesawat mengumumkan bahwa cuaca di luar saat ini minus sepuluh derajat Celsius. Saya sudah menyiapkan empat lapis pakaian, penutup kepala, dan sarung tangan. Saya pikir, persiapan saya sudah cukup untuk menahan dingin.
Namun, ketika saya menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelanjaan untuk menemani teman-teman mencari perlengkapan selama di Tiongkok, udara dingin terasa amat menusuk. Dalam beberapa menit saja, ujung jari tangan dan kaki seperti mati rasa, hidung meler, kuping terasa perih, mata merah dan berair. Wah! Kami pun berlari tergopoh-gopoh memasuki pertokoan yang memasang  penghangat. Dinginnya sungguh di luar dugaan kami.
Ada satu hal yang mengusik perhatian saya, yakni pohon natal tinggi dan besar bercahaya indah di tengah-tengah pusat perbelanjaan modern yang disesaki manusia yang kelihatan makmur dengan melihat penampilannya tak kalah dengan orang-orang Jepang yang pernah saya lihat di berbagai pusat keramaian di Tokyo. Ya, perekonomian China saat ini sungguh tak tertandingi. Dan satu hal lagi yang mencuri perhatian saya adalah hampir semua pertokoan menampilkan pernik-pernik natal: merry chrismas, santaklaus, lonceng-lonceng kecil, salju-salju…. Bisa saya simpulkan bahwa semarak natal lebih ramai di China yang menganut ideologi komunis ketimbang di Indonesia. Mungkin saja suasana natal dihadirkan untuk menarik perhatian turis-turis yang memadati negeri tirai bambu. Ya, China memang begitu kreatif dalam segala bidang.
Pada 30 Desember 2009, kami pun tiba di Kota Terlarang (Forbidden City). Suhu udara dilaporkan minus sepuluh derajat Celsius.  Dingin semakin menusuk karena angin bertiup kencang. Enam lapis pelindung tubuh ternyata belum membuat saya merasa nyaman. Seperti saat saya berada pertama kali di udara terbuka Beijing, ujung-ujung jari kaki dan tangan seperti mati rasa. Saya takut sekali frostbite, yakni jari-jari kaki dan tangan tak berfungsi lagi karena terserang cuaca dingin. Hidung kembali meler, kuping mendenging, dan mata memerah dan berair. Namun, mengingat lokasi yang akan saya masuki ini merupakan tempat bersejarah yang sudah berusia lebih 500 tahun, maka saya pun berusaha untuk bersemangat. Kami melangkah cepat-cepat supaya tidak kedinginan sekali. Momen seperti ini tidak akan saya lewatkan berlalu begitu saja. Ya, bukan perkara mudah untuk berada di ibukota tua ini. Sebelum memasuki area Kota Terlarang yang megah itu, saya sempat memotret  air sungai yang membeku yang terletak di balik tembok istana. Tentu saja sulit sekali mengambil foto karena jari-jari tangan terbungkus sarung tangan kulit yang tebal.
Kota Terlarang terletak di jantung kota kuno, Beijing. Persis di utara lapangan terkenal, Tiananmen. Dalam bahasa Mandarin disebut Zijin Cheng yang berarti Kota Terlarang Ungu (Purple Forbidden City). Lokasi ini pernah menjadi tempat tinggal  24 kaisar yang memerintah China pada zaman Dinasti Ming (1368-1644) dan Dinasti Qing (1644-1911). Disebut Kota Terlarang karena rakyat biasa dilarang memasuki wilayah itu tanpa seijin kaisar.
Kota Terlarang adalah salah satu rencana besar kaisar ketiga Zhu Di (1360-1424) pada Dinasti Ming dalam membangun kota terbesar di dunia, Beijing. Selain itu, Kaisar Zhu Di  ingin memperbaiki dan memperpanjang Tembok Besar (The Great Wall) dan membangun Kuil Surga. Ketika pembangunan Kota Terlarang rampung, Kaisar Zhu Di memindahkan ibukota China dari Nanjing ke Beijing, nama yang diberikan kaisar (Sebelumnya, ibukota China bernama Ta-tu, yakni kota yang dikuasai bangsa Mongol yang terkenal dengan pemimpinnya, Kubilai Khan dalam Dinasti Yuan).
Kota Terlarang adalah kompleks istana terluas di dunia yang berdiri di atas tanah berbentuk empat persegi panjang seluas 72 hektar: dari utara ke selatan 961 meter dan dari timur ke barat 753 meter. Kota Terlarang dikelilingi tembok setinggi sepuluh meter yang memiliki lima aula, 17 istana, dan 980 bangunan yang memiliki 9.999,5 kamar. Begitu banyak kamar khusus dibangun dalam istana karena pada umumnya kaisar memiliki banyak selir. Ada yang menyebutkan, mencapai ribuan selir, sampai-sampai kaisar sendiri sering tidak mengenal selirnya.
Pembangunan Kota Terlarang menghabiskan waktu sekitar 15 tahun (1406-1421). Gavin Menzies dalam bukunya yang terkenal yang ditulis berdasarkan riset  mendalam selama lima puluh tahun bertajuk 1421- The Year China Discovered The World menulis, “Akhirnya, satu juta orang dipekerjakan secara langsung dalam pembangunan Kota Terlarang, tiga setengah juta dipekerjakan secara tidak langsung. Bahkan satu juta prajurit mengawasi pekerjaan mereka”. Pada saat Kota Terlarang secara resmi dibuka pada 2 Pebruari 1421, tepatnya pada perayaan Tahun Baru China, para raja dan duta besar dari seluruh wilayah Asia, Arab, Afrika, dan Samudera Hindia berkumpul di tengah-tengah kemegahan Beijing untuk memberikan penghormatan kepada Kaisar Zhu Di, sang Putera Langit. Tidak kurang dari 28 kepala negara hadir, tapi Kaisar Suci Roma, Kaisar Byzantium, Raja Inggris, dan pemimpin-pemimpin Eropa lainnya tidak diundang karena menurut pandangan kaisar negara-negara itu masih terbelakang karena kekurangan barang dagangan atau pengetahuan. Gavin Menzies menyebut peristiwa besar di Kota Terlarang itu sebagai saat “China menundukkan dunia”.
Tentu saja tidak cukup sehari untuk mengelilingi Kota Terlarang yang luas itu, terlebih pada musim dingin. Namun, kenangan berada di sana tentu tak akan pernah terlupakan. Ya, meskipun dingin begitu menyiksa tubuh, tidak menyurutkan langkah kaki turis-turis yang datang dari berbagai negara untuk memasuki Kota Terlarang yang merupakan Situs Warisan Dunia (1987). Mereka tampak terkagum-kagum dan mengabadikan beberapa bangunan kuno dalam foto. Bisa dibayangkan, pada musim dingin saja banyak turis yang menyesaki tempat ini, apalagi pada saat cuaca cerah. Tentu saja kami pun bersyukur, karena dua hari setelah meningalkan Kota Terlarang, Beijing dilanda hujan salju yang lebat, yang jarang sekali terjadi.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar