Catatan: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 4 Juli 2004
Walt Disney, Hong Kong |
“Dasar mahong!”
Ucapan itu terngiang jelas ketika melihat Hong Kong dari udara pada pertengahan Mei lalu. Istilah populer “mahong” adalah singkatan dari “mafia Hong Kong”. Apakah mafia Hongkong begitu menakutkan sehingga membuat kita perlu waspada selama tinggal di negara itu? Ah, saya kira ucapan itu hanya sekedar bercanda. Dunia tentu lebih mengenai Hong Kong sebagai negeri bekas koloni Inggris yang makmur. Negeri indah yang melahirkan bintang-bintang legendaris seperti Bruce Lee, David Chiang, Jacky Chan, Andy Lau, dan banyak tokoh terkenal lainnya.
Terbang sekitar tiga jam dari Kuala Lumpur, pesawat berbadan lebar yang saya tumpangi akhirnya mendarat mulus di bandara internasional Hong Kong. Ya, inilah Chek Lap Kok, terletak di pulau Lantau, salah satu bandara terkenal di dunia. Kita tidak perlu memutar jarum jam karena waktu di sini sama dengan Malaysia. Atau, lebih cepat satu jam dari Indonesia. Saya diberitahu oleh pemandu (guide), sekitar 80.000 orang Indonesia tinggal di negeri ini sebagai PRT (pembantu rumah tangga). Namun paling banyak adalah berasal dari Pilipina, sekitar 120.000 orang. Katanya, gaji PRT 3.670 dolar Hong Kong (sekitar Rp. 5 juta) per bulan. Ya, mengingat betapa sulit mencari nafkaf di negeri kita, siapa tidak tergiur tinggal di sini?
Wajah petugas imigrasi Hong Kong yang baby face dan ramah membuat kita merasa nyaman. Tidak muncul perasaan gundah oleh sikap dingin petugas imigrasi seperti ketika memasuki wilayah Malaysia karena mungkin dianggap TKI yang hendak mengadu nasib di negerinya.
Untuk menuju kota Hong Kong, kita harus menumpangi bus sekitar sejam lagi. Ya, kota termashyur itu terletak di pulau Hong Kong. Menikmati keindahan negeri dara cantik Maggie Cheung yang baru saja menyabet gelar bergengsi aktris terbaik di Festival Film Cannes pada tahun ini, tentunya tidak akan membuat kita mudah bosan. Sebaliknya hati dipenuhi sejuta pesona. Semua tertata rapi. Sentuhan-sentuhan berarsitektur tinggi, terutama bernuansa Eropa, tampak di sana-sini. Negeri ini terdiri dari beberapa pulau kecil yang dihubungkan oleh jembatan-jembatan yang terbentang lebar di atas lautan. Salah satunya adalah termasuk jembatan terpanjang di di dunia yang sedang kami lintasi. Negeri ini dikelilingi pula oleh bukit-bukit terjal. Mengingatkan saya pada tebing-tebing curam di sepanjang jalan berkelok antara Bandar Baru-Berastagi. Ya, dilokasi semacam itulah terletak gedung-gedung menjulang tinggi. Harga tanah begitu mahal. Setiap jengkal bisa bernilai jutaan rupiah. Namun, tidak membuat negeri berpenduduk 6.8 juta itu semrawut. Karena sempitnya ruang, sebagian penduduk Hong Kong yang kaya raya terpaksa ikut tinggal di apartemen yang menjulang tinggi. Hanya sedikit sekali orang kaya seperti superstar Jacky Chan bisa tinggal di vila menghadap laut yang permai.
Bersama patung bintang film terkenal Bruce Lee di Pelabuhan Victoria |
Setelah kembali ke China pada 1 Juli 1997, tidak membuat orang-orang dari China daratan bebas ke luar masuk Hong Kong, melainkan harus menggunakan paspor. Mata uang pun masih berbeda. Nama mata uang Hong Kong adalah dollar, sedangkan China, yuan. Nilai dollar Hongkong sedikit lebih tinggi dari Yuan. Para pengamat internasional mengatakan, sistem itukan melindungi status Hongkong sebagai “ permata ekonomi”.
Namun, dalam menentukan pemimpin, rakyat Hong Kong mendambakan pemilihan secara domokratis. Seperti yang ditulis oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya yang terkenal The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century bahwa peryaratan untuk menjadi negara demokrasi sudah dipenuhi oleh Hong kong. Demokrasi tentu bukan hanya sekadar menjalankan simbol-simbol saja. Asal sudah dipilih rakyat secara langsung, maka demokrasi namanya. Hong Kong sudah memiliki segalanya. Pendidikan oke. Pendapatan per kapita juga oke. Tinggal kerelaan pemerintah China saja. Namun, apa boleh buat, Beijing tampaknya belum memberikan lampu hijau untuk menerapkan sistem demokrasi di Hongkong. “Sebelum tahun 1997, warga Hongkong termasuk ayah dan ibu kalian, tidak memiliki demokrasi,“ kata Menteri Luar Negeri China Li Zhaoxing. Pernyataan itu kemudian memicu berbagai aksi protes. “Kami tidak akan menyerah dalam memperjuangkan demokrasi,” kata Yeung Sum, pemimpin oposisi Partai Demokratik.
Betapa makmur rakyat Hongkong. Negeri tua yang indah dan nyaman. Memiliki pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Apalagi yang didambakan oleh setiap warga negara? Tanpa demokrasi, tapi rakyat sejahtera. Mengingatkan saya pada Brunei, Singapura, Malaysia, dan China. Tidak usah ribut-ribut soal pemilihan umum. Ya, demokrasi tanpa kesejahteraan, apa artinya? Teringat pula saya pada negeri kita yang masih berjuang untuk demokrasi. Juga Filipina, Haiti, Madagaskar, India, dan negeri-negeri di Afrika. Ketika Inggris memerintah Hong Kong, rakyatnya disebut tidak memiliki empati terhadap politik dan demokrasi. Namun setelah kembali ke China, angin demokrasi tampaknya berhembus di negeri ini.
Malam itu saya berjalan di sepanjang boulevard Tsim Tsa Tsui, suatu kawasan terkenal di negeri ini. Masuk ke sebuah toko dan merasa surprise disambut oleh seorang pelayan yang ramah. Disela-sela belanja souvenir terjadi dialog hangat. Saya bertanya tentang perasaannya ketika Hong Kong kembali ke China. “Kami amat sedih,” ujarnya dalam bahasa Inggris.
China? Aku melihat wajahnya. Namun, bukankah dia sendiri keturunan China? Saya tanya kewarganegaraannya. “Britis,” ujarnya bangga. Saya teringat berita saat penyerahan Hong Kong. Betapa rakyat berurai air mata ketika kapal pemerintah Inggris mulai meninggalkan pelabuhan Hong Kong. Saya memperhatikan lagi dengan seksama wajah pelayan toko itu. Seperti Agnes Monica. Ya, tampaknya asli keturunan China. Lalu, kenapa anak-anak Hong Kong sekali lagi, asli keturunan China lebih menyukai Inggris, bukan leluhurnya China? Apakah ada yang salah dengan nasionalismenya? Saya membayangkan, andaikata penjajah masih menguasai negeri kita, dan memberikan kemakmuran seperti halnya Inggris terhadap Hongkong. Apakah kita akan memiliki perasaan yang sama seperti warga Hong Kong?
Bayangkan pula, orang-orang Indonesia asli memerintah negara kita, tapai kenyataannya memberikan kemelaratan kepada banyak rakyat meskipun sudah lebih setengah abad merdeka. Apa makna nasionalisme? Apa pula artinya kemerdekaan, jika orang-orang yang duduk di pemerintahan membawa rakyat ke jurang dalam krisis berpanjangan?
Kami ke Shenzen. Dari stasiun kereta api Hongkong ke perbatasan China hanya menempuh perjalanan sekitar 50 menit. Kereta api berhenti di terminal terakhir, Lo Wu. Perjalanan diteruskan dengan berjalan kaki. Namun hanya “selemparan batu” jaraknya. Sungai Shenzen tampak memisahkan kota ini. Pemandu mengatakan, pada tahun 80-an, orang-orang China daratan nekat berenang untuk mengadu nasib ke Hong Kong.
Sekarang kami tertahan di imigrasi China. Tak ada senyum dari petugas. Kita diamati seperti orang-orang yang sudah lama dicari (wanted). Kita memang dari Indonesia, tapi apakah mereka tahu negeri kita pernah dituduh sebagai sarang teroris? Ah, saya kira bukan itu alasannya. Toh, orang-orang bule diperlakukan sama sepert ikita. Tidak ada diskriminasi. Atau, jangan-jangan mereka sulit mengeja huruf latin? Namun, kita sudah diberitahu, jangan sekali-kali protes, atau menunjukkan wajah tidak senang. Kalau tidak diusir, kita akan ditelantarkan di perbatasan negeri ini. Jadi patuh sajalah.
Beruntunglah, akhirnya kami masuk ke China tanpa kesulitan berarti. Kontras dengan Hong Kong. Masuk ke Tiongkok, sejumlah pengemis menyambut kita. Seorang kakek pengemis malah mengejar dan mengomel-ngomel ketika tidak ada di antara kami yang memberikan sedekah. Pemandu mengatakan, jangan pernah memberikan uang kepada pengemis. Sebab, pengemis lain akan mengelilingi kita, seperti kawanan semut mengerumuni gula.
Shenzen terletak di Propinsi Guangdong, China selatan. Ibukota provinsi ini adalah Guangzhou. Di provinsi ini pulah terletak Zhongsan, kota kelahiran Dr. Sun Yat-Sen, bapak pendiri negara modern China. Meskipun Shenzen terletak di wilayah setingkat kabupaten, pembangunannya luar biasa pesat. Gedung-gedung pencakar langit menjulang di mana-mana. Saya bandingkan dengan Jakarta. Saya kira, ibukota negeri kita masih kalah megah. Ingin melihat Tiongkok dengan kekayaan sejarah dan budayanya? Di Shenzenlah tempatnya. Di sini terletak miniatur negeri Tiongkok, semacam Taman Mini Indonesia Indah. Ya, begitu pesat kota ini berkembang. Padahal sekitar 20 tahun silam, tempat ini masih terpencil. Istilah kita, daerah ini dulu “tempat jin buang anak”.
Kita berjalan di sepanjang trotoar kota yang luas. Para pejalan kaki tampak merasa nyaman. Pohon-pohon mangga yangtumbuh subur di atas trotoar sedang berbuah. Di sebuah taman untuk umum, saat mendongak ke atas, pohon-pohon anggur hijau bergelantungandi atas kepala. Ah, seperti negeri dalam khayalan. Kapan kita punya negeri seperti ini?
Pada malam hari Shenzen tampak lebih semarak. Di pasar malam barang-barang murah dijajakan. Ada kemeja baru seharga 10 Yuan (sekitar Rp 12.000). ”Upah jahitannya saja sudah tidak cukup kalau di Medan,” celetuk seorang teman. Astaga, di sepanjang lorong yang kami lewati, gadis-gadis remaja menawarkan VCD porno secara berbisik-bisik. Bahasa Inggrisnya belepotan, tapi mudah dipahami. Begitu terus terangnya mereka, tak terbayangkan hal itu akan terjadi, ketika negeri ini masih tertutup dan mahasiswa berjuang dengan darah dan air mata menuntut demokrasi dan pemerintahan yang terbuka. Mengenang China pada masa itu, mengingatkan kita pada Korea Utara yang hingga kini tertutup dan melarat.
Paling menarik adalah menyaksikan boneka-boneka yang bisa berjoget. Ada Boboho yang lucu. Tampak pula diantaranya “Saddam Hussein” berpakaian tentara sembari memegang granat. Cukup dengan menyentuh kepalanya, maka si “Saddam” yang lagi nyengir itupun berjoget diiringi musik keras.
Inilah prestasi China dalam membangun negerinya. Negeri yang memahami betul persoalannya dan cara mengatasinya. Tuntutan demokrasi yang menelan banyak korban jiwa telah di jawab dengan kerja keras. Hukum ditegakkan, para koruptor yang menggerogoti negara digelandang ke tiang gantung. Begitu serius para pemimpin China berjuang untuk menyejahterahkan rakyatnya. Kemiskinan memang masih menjadi bagian dari persoalan China yang berpenduduk lebih semiliyar jiwa itu. Namun, dunia optimis, China akan tampil menjadi raksasa ekonomi. Adanya pemerintahan yang kuat dan berwibawalah yang membuat impian mencapai negeri yang makmur terjadi. Kita memang perlu belajar dari negeri tirai bambu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar