Catatan: Cerpen ini semula berjudul norak sekali, Yang Kubutuhkan adalah Cintamu dimuat di harian Bukit Barisan pada 1983 sewaktu aku masih sekolah di SMA Immanuel Medan. Kemudian kurombak total untuk buku kumpulan cerpen bertajuk Gundaling Pada Suatu Pagi.
Jam empat pagi aku terjaga dari tidur. Segera kumatikan deringan jam beker yang terletak di sisi ranjang sebelum seisi rumah terbangun. Dengan sedikit kantuk aku melangkah gontai ke jendela. Kusingkapkan sedikit tirainya. Masih sepi sekali di luar. Aku tersenyum karena pada lantai dua rumah di seberang jalan, lampu sudah dinyalakan. Aku tahu, Theresa pasti sudah bangun. “Kalau lampu di tingkat dua sudah menyala berarti aku sudah bangun,” katanya kemarin sore. Ya, pagi ini, kami akan berjalan santai ke Gundaling.
Seisi rumah masih terbuai mimpi. Aku melangkah perlahan ke kamar mandi. Uh, dinginnya air bukan main. Aku menggigil. Namun, tentu saja aku harus membasuh muka dan menyikat gigi. Siapa tahu nanti, kami bercakap-cakap dengan wajah berdekatan dan saling berbisik di kursi di bawah pokok cemara di bukit yang indah itu? Wah, kenapa jadi ngelantur pikiranku…. Hehe.
Lalu, aku berdiri di depan cermin. Memandangi wajahku sekilas. Sudah bersih. Kupakai sedikit bedak. Dan dengan sembunyi-sembunyi aku berjingkat ke kamar abangku yang tak terkunci, kupakai parfumnya sedikit. Balik lagi berdiri di depan cermin. Kuamati lagi wajahku. Mataku. Hidungku. Kumisku. Apakah aku layak mendampinginya? Ah, seperti ada saja yang kurang pada diriku. Kusisir rambut sekali lagi. Oh, beginikah orang yang sedang jatuh cinta? Sungguh merepotkan, tapi aku senang sekali.
Setelah kurasa penampilanku beres semua, aku pun meninggalkan rumah. Kabut menyelimuti Berastagi. Namun, jalanan tidak terlalu gelap karena bulan bercahaya. Aku menyeberang jalan sambil memasukkan kedua telapak tangan pada saku jaket. Dingin begitu menusuk hingga ke sumsum tulang. Antara rumahku dan rumah Theresa dipisahkan oleh dua ruas jalan yang di tengahnya tumbuh deretan cemara sampai ke tugu perjuangan.
Aku tiba di depan rumahnya. Tidak segera kuketuk. Takut ada yang masih tidur. Siapa tahu, Theresa juga sepertiku, diam-diam ke luar, tanpa ada yang tahu? Namun, hanya hitungan detik, aku sudah mendengar suara pintu dibuka.
“Hai, selamat pagi! Sudah lama menunggu?” sambutnya ceria.
“Pagi juga! Aku baru saja tiba,” ujarku.
Kulihat dia menoleh ke dalam rumah.
“Miranda… ayo, Aji sudah datang, nih!” suaranya tertahan agar tidak membangunkan seisi rumah.
Seorang gadis muncul. Miranda adalah sepupu Theresa.
“Hai, Aji, selamat pagi!” sambutnya.
“Pagi, Miranda! Ok, kita langsung jalan?” tanyaku.
“Yuk…!” sahut kedua gadis itu serentak.
Jam di lenganku hampir menunjukkan pukul lima. Kami menyeberang satu ruas jalan. Kami memilih berjalan di bawah deretan pokok cemara hingga ke tugu perjuangan. Aku melihat sepanjang jalan sudah mulai ramai dengan kegiatan berjalan kaki. Di tengah jalan, kami bertemu dengan Fanny dan dua kawannya yang belum kukenal. Kami pun berjabat tangan. Saling memperkenalkan diri.
“Eh, bagaimana kalau kita berlari kecil,” usul Fanny setelah berjalan beberapa meter. “Kalau jalan saja nanti kesiangan.”
“Boleh saja,” ujar Miranda. “Tapi, bagaimana ya… kaki Theresa kemarin keseleo, aku pikir belum sanggup dia lari.”
“Eh, tapi kan ada Aji,” potong Fanny. “Bagaimana kalau dia aja yang nemani Theresa. Ok? Kita jumpa di Gundaling, ya…. Yuk, lari….!”
Tanpa mendengar jawaban kami, gadis-gadis itupun mulai berlari kecil. Meninggalkan kami berdua yang jadi salah tingkah. Namun, aku sangat menyukai suasana pagi seperti ini. Kami berjalan dalam kesunyian. Sinar rembulan menerangi jalan.
Aku belum lama mengenal Theresa. Pada Sabtu, dua minggu lalu, aku menghadiri acara ulang tahun Fanny, anak pamanku. Sungguh meriah acaranya. Pada satu kesempatan, panitia ulang tahun meminta hadirin untuk mengambil undian, yakni mengambil kertas kecil yang digulung yang terdapat dalam toples. Dengan suara gelak tawa, masing-masing kami mengambil satu undian. Waktu kubuka, ternyata isinya membuat jantungku berdegub tak karuan: “Anda beruntung sekali malam ini! Malam yang mungkin tak akan terlupakan. Silakan mengambil segelas minuman yang tersedia di meja! Berikan kepada seseorang yang Anda perhatikan sejak tadi!”
Kemudian, panitia membacanya dengan suara keras. Wow! Terdengar tawa riuh di ruangan itu. Aku jadi salah tingkah. Kepada siapa harus kuberi minuman itu? Oh, hatiku sebenarnya mudah menjawabnya. Ya, bukankah sejak tadi diam-diam aku memperhatikan seseorang? Siapa lagi kalau bukan seorang bidadari yang berdiri persis di depanku?
Aku menoleh ke kiri, ke kanan, dan ke depan. Aku masih ragu. Bagaimana kalau dia menolakku? Betapa malunya! Namun, kemudian aku diselamatkan oleh kata-kata dari panitia: “Mohon, siapapun yang menerima minuman itu tidak boleh menolak! Siapa tahu, jodoooh….!”
Huuu! Terdengar lagi suara riuh.
“Ayo, ayo, ayo, jangan malu-malu…!”
Beberapa orang mulai bernyanyi sambil tepuk tangan. Tanpa ragu-ragu lagi, aku pun melangkah ke depan. Berhenti di hadapan gadis berwajah mirip dengan ilustrasi cerpen di majalah Anita Cemerlang. Ya, jangan pernah membuang kesempatan, bisikku sembari mengingat satu pepatah kuno: “Bagi si pesimis, kesempatan itu adalah kesempitan; bagi si optimis, kesempitan itu adalah kesempatan!”
Sejenak kutatap wajahnya. Langsung saja dia tertunduk.
“Minuman ini buat kamu,” kataku dengan jantung deg-degan.
Dan dia kulihat tersipu-sipu.
“Mau, ya….” bisikku.
Dia mengangguk. Perlahan kusodorkan gelas itu pada bibirnya. Dia pun meminumnya. Ah, aku berhasil, pikirku.
Suit! Suit! Plok, plok, plok! Tepuk tangan terdengar riuh. Oh, betapa bahagianya hati ini.
Seusai acara, dia menyapaku. “Terima kasih, ya.”
“Ehm, sama-sama,” ujarku. “Tadi aku cemas, takut kamu menolakku.”
“Bukankah sudah dilarang menolak?” ujarnya.
“Kalau tidak, kamu akan menolakku….?”
“Aku tidak akan pernah mempermalukan siapapun.”
“Terima kasih,” ujarku.
Kami pun berkenalan. Aku bilang, aku asli anak Berastagi, tapi sekolah di SMA Immanuel Medan. Lalu, dia menyebutkan namanya: Theresa. Oh, romantis sekali namanya. Mirip nama tokoh dalam roman-roman klasik barat. Hehe! Dia murid kelas dua SMA Negeri Berastagi. Dia belum lama tinggal di kota sejuk ini bersama bibinya. Asalnya Tongging, yang danaunya indah sekali.
Kemarin menjelang senja, aku secara kebetulan bertemu lagi dengannya di depan toko Gunung Sinabung.
“Hai, mau ke mana?” sapaku.
“Eh, Aji, apa kabar? Kapan datang?”
Kami bercakap-cakap pada senja itu hingga menjelang malam. Lalu, kami membuat janji. Besok hari Minggu. Biasanya ramai sekali orang berjalan pagi. Menikmati keindahan alam dari bukit Gundaling. Dan sekarang, dia berada di sisiku.
“Eh, kok diam aja?” ujarnya tiba-tiba.
Ah! Aku tersentak dari lamunan panjang. Tiada terasa, kami mulai tiba di jalan menanjak kaki bukit Gundaling.
“Ya, aku tadi terkenang waktu pertama kali kita bertemu,” ujarku berterus terang.
“Memangnya kenapa?” tanyanya dengan suara menyelidik.
“Kenapa aku dapat undian berharga itu, ya?”
Dia membisu.
“Mmm, tapi kenapa aku yang kamu pilih?” tanyanya lagi.
Aku menghirup udara. Hmm, segar sekali.
“Eh, kenapa ditanya lagi,” ujarku. “Bukankah kertas yang dibacakan itu sudah menjawabnya. Masih kuingat persis kata-katanya: Berikan kepada seseorang yang Anda perhatikan sejak tadi.”
Dia seketika tertunduk.
“Ya, itulah alasannya,” suaraku setengah berbisik.
Dia sesaat mengangkat kepala. Lalu, kembali menunduk. Ya, sekarang aku sudah tahu isi hatinya. Kuraih jemarinya. Kubawa dia berjalan melewati bukit berbunga. Kami tiba di puncak. Duduk di bawah pokok cemara. Kupetik sekuntum seruni putih. Kuberikan padanya.
“Cantik sekali bunga ini,” kagumnya.
“Ya, secantik kamu,” pujiku.
Dia tersipu. Fajar mulai menyingsing. Ah, kurasakan benih-benih cinta mulai tertanam di hati kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar