Sudah menjadi kebiasaan saya bepergian kalau ada angka merah di kalender. Pergi ke mana saja. Ke Bandung, Solo, Surabaya… ya, ke mana saya suka. Maka, tidak usah heran, bila liburan panjang tiba, saya sudah berada di luar pulau di mana saya tinggal sekarang.
Saya tidak tahu pasti kapan mulai menyenangi petualangan ini. Barangkali waktu saya mulai duduk di bangku kelas 2 SD. Pernah waktu itu saya pergi sendiri ke luar kota yang jaraknya 65 km dari Medan. Gilanya, saya pergi tanpa pamit pada tante, adik mama yang paling muda yang selama ini sangat kasih pada saya. Juga saya pergi tanpa ongkos. Cuma sedikit uang saku buat jajan di jalan. Di bus saya berdiri di depan ibu-ibu. Saya berspekulasi. Kondektur bus pasti menyangka saya ini anak salah satu dari ibu-ibu yang menjadi penumpang itu. Pikir saya, kalaupun ketahuan, paling diomeli. Saya merasa begitu aman di perjalanan. Sedikit pun orang-orang tak curiga pada saya.
Pulangnya saya ulangi lagi perbuatan seperti itu. Dan… tetap aman. Hmm.
Maka, tibalah saya di rumah. Pasti mudah menebak apa yang akan terjadi pada saya. Ya, benar! Tante mengomeli saya habis-habisan. Tidak itu saja. Paha saya pun membiru kemerah-merahan. Namun, saya tidak menyesal atas pengakuan saya pergi ke luar kota. Bukan tidak mudah saya membohongi tante. Bilang saja, tadi saya pergi dengan papa. Sebab, bukankah papa belakangan ini selalu misterius kedatangannya maupun kepergiannya dari rumah? Ah, tapi saya tidak berani berbohong pada tante. Habisnya, tante begitu baik pada saya. Selalu, tiap malam menjelang tidur, tante mengusap-usap rambut saya, sambil bercerita tentang Tuhan Yesus. Kata tante, Tuhan Yesus baik. Tapi, Tuhan Yesus tidak suka pada anak-anak yang suka berbohong. Kalau saya suka berbohong, kata tante, Tuhan Yesus tidak mau menjaga mama. Dan saat-saat begitu tak jarang saya lihat matanya berkaca-kaca. Dulu saya tak mengerti kenapa tante suka begitu. Tante… ah, kalaupun dia marah, pasti karena dia sayang pada saya. Supaya saya jangan nakal.
Mama? Oi, jangan tanya! Saya cuma kenal wajahnya dari foto-fotonya. Kata tante, mama sudah lama pergi ke surga, waktu saya berusia tiga tahun. Mungkin karena mama sudah pergi itulah, maka papa jadi suka misterius. Kata tante, mama juga pernah berpesan, kalau nanti sudah sekolah saya jangan suka berbohong.
Begitulah saya dulu.
Sekarang saya sudah gede. Tentu kalau pergi keluyuran, tidak usah bilang tante lagi, sebab saya sudah bisa menjaga diri sendiri. Dan sekarang sudah banyak daerah yang saya kunjungi. Bayangkan, selalu setiap liburan saya pergunakan untuk bepergian. Dari bus memandang hamparan sawah, memandang petani-petani berjalan di sepanjang pematang, dan memandang bukit-bukit biru, ah, saat-saat yang selalu saya rindukan. Ada kedamaian yang sulit saya ceritakan menikmati semua itu.
Karena kesukaan saya itu, banyak teman yang bertanya pada saya, apakah saya masih kuliah atau sudah berhenti. Sebab saya sering berkirim kartu-kartu pos dari berbagai daerah kepada mereka. Namun, tante yang di Medan tentu saja tidak saya kirimi. Saya kuatir, tante mengira saya tidak serius kuliah di Jakarta.
“Cirebon, Mas… Cirebon!”
Lamunan saya buyar. Teriakan kondektur mereflekkan tangan saya teracung ke atas.
“Jakarta! Jakarta!” teriak saya.
Bus berhenti. Saya cepat-cepat naik. Karena penumpang sedikit, saya bebas memilih bangku. Saya duduk di sebelah pinggir kiri agak ke depan. Dari situ enak sekali memandang-mandang ke luar. Kota Semarang cukup ramai.
Di Cirebon bus berhenti. Saya turun untuk minum. Waktu menunjukkan pukul 18.40. Namun, ketika sudah selesai istirahat dan duduk-duduk sekitar 30 menit di bus, tanda-tanda untuk segera berangkat belum juga nampak. Saya mulai gelisah. Saya lihat ke arah penumpang lain. Astaga! Ternyata tinggal beberapa orang lagi.
“Bus ini hanya sampai Cirebon,” ujar seseorang ketika saya tanya mengapa begitu lama bus berhenti. Mendengar itu, wajah saya mendadak berubah. Jam berapa lagi nanti saya tiba di Jakarta?
“Bagaimana ini, Mas?” tanya saya gelisah pada kondektur. “Katanya tadi sampai di Jakarta.”
“Maaf Mas, ganti bus saja, Mas,” jawabnya sekenanya tanpa berusaha mengerti perasaan saya. Tentu saja, saya jadi sangat kesal. Saya memandangnya dengan tajam.
“Ganti bus? Heh, ngomong jangan seenaknya, ya!” bentak saya mulai menunjukkan ketidaksenangan saya. “Kalau mau menipu, jangan coba-coba sama saya!”
“Lho, siapa yang menipu?”
“Siapa yang menipu? Kau yang menipu! Apa kau itu tidak menipu?”
Matanya tajam memandang saya. Dasar tidak tahu diri! Saya pun memandangnya lebih tajam. Saya turunkan tas saya ke bangku.
“Mau apa, heh! Apa kau itu tidak menipu namanya? Bus kalian kosong, tapi seenaknya mengangkut penumpang. Lalu, di Cirebon kalian pindahkan. Rupanya kalian tidak peduli di mana kami turun dan kapan sampai di tempat tujuan. Kamu kira, saya ini orang goblok! Heh!”
Mulut kondektur itu terkatup rapat. Barangkali merasa malu karena permainan nakal mereka terbongkar, dan banyak orang mendengarnya. Saya merasa pasti bahwa mereka sering berbuat seperti ini. Seenaknya mengangkut penumpang saat bus mereka kosong, lalu sampai di Cirebon dipindahkan. Bukankah mereka juga dapat uang, ongkos para penumpang sampai Cirebon? Daripada kosong sama sekali, bukan? Dari segi ekonomisnya, mereka memang baik, tapi kami, terutama saya pribadi, tentu sangat dirugikan. Ya, tidak sedikit bus yang langsung menuju Jakarta. Satu hal yang membuat saya naik pitam, mereka sejak tadi tidak berterus terang, padahal saya sudah begitu lama menunggu.
Akhirnya, saya tinggalkan bus itu. Mencari bus lain. Wajah saya masih sangat sepat walau sisa ongkos saya ke Jakarta mereka yang tanggung. Ya, bagaimana saya tidak kesal? Sekarang sudah jam 20.10. Padahal menurut rencana, saya harus tiba di Jakarta tidak lebih dari jam sebelas malam, supaya ibu kos tidak ngomel-ngomel pada saya. Lewat jam segitu, jangan coba-coba mengetuk pintu kalau tidak ingin penduduk satu RT gempar oleh suaranya.
Di terminal Pulogadung saya tidak bisa berbuat apa-apa lagi, kecuali kesal setengah mati. Dalam hati saya berjanji, akan melaporkan bus itu ke Kontak Pembaca di media massa. Supaya penumpang-penumpang yang akan bepergian waspada. Agar tidak terulang lagi kejadian seperti saya.
Malam semakin larut, semakin sepi, dan semakin dingin. Mata saya sudah berkunang-kunang. Sekali lagi, saya lirik jam. Pukul 01.45. Di sebuah kursi terminal, saya merebahkan badan yang sudah sangat penat. Tas saya peluk erat-erat. Menahan dingin….
Sungguh, saya sudah sering tidur di alam terbuka. Namun, tidak pernah disebabkan seperti perjalanan kali ini.
Dan saya tertidur. Tidak ingat apa-apa lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar