Sumber: Tulisan ini dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 13 Agustus 2005.
Sang paduka bertitah: tikus adalah binatang ilegal dan menghidangkan sup adalah perbuatan ilegal.
Kejadiannya begini. Pada suatu hari keluarga istana menyelenggarakan pesta. Suasana amat meriah. Sampai suatu ketika tak sengaja puteri raja mendongak ke langit-langit istana. Ada yang bergerak-gerak di sekitar lampu kristal. “Tikus, tikus, tikus!” jeritnya. Suasana menjadi heboh. Si tikus panik saat melarikan diri. Kakinya yang jorok itu terpeleset, lalu nyemplung tepat di mangkuk sup ratu yang tengah asyik dengan makanan kesukaannya. Jijik campur terkejut, sang ratu memegang dada kirinya. Serangan jantung. Wafat seketika.
Pengarang Inggris, Kate DiCamilo menulis kejadian itu dalam novel The Tale of Desperaux. Pemenang Newberry Book 2004 itu bercerita tentang keluarga tikus yang tinggal di istana. Katanya, tikus punya harga diri. Ibu tikus beranak banyak itu selalu membanggakan asalnya, negeri Eiffel. Kalau berbicara, aksen Perancisnya selalu ditonjolkan. Ia terbawa ke Inggris tanpa dikehendakinya karena waktu itu berada di dalam koper diplomat yang sedang menjalankan tugas kenegaraan.
Sungguh menarik cerita tentang tikus itu. Setiap tikus yang baru lahir akan mendapat semacam training guna mencari nafkah, seperti seni lari terbirit-birit dan cara canggih menggerogoti kertas. “Selalu awasi sekitarmu, pertama ke kanan, lalu ke kiri. Jangan berhenti, apapun yang terjadi.” Begitu nasihat abang tikus kepada adiknya yang baru belajar mencari nafkah.
Tentu saja, musibah karena tikus bukan hanya ada di dalam cerita. Sebuah negara modern pun bisa guncang oleh tikus. Kita ambil satu kasus yang pernah terjadi di negeri ini. Dilaporkan, sekitar 561 hektar padi di Kabupaten Bandung, Jawa Barat, diserang hama tikus (Kompas, 19 Juli 12005). Para petani yang susah semakin terpuruk di dalam kemiskinan. Kalau tidak segera ditangani, kasus busung lapar memalukan pasti terjadi lagi. Tikus secara signifikan dapat menambah angka kemiskinan. Menurut Wikipedia, “Rats have a significant impact on food production. Estimates vary, but it is likely that anything beetwen 1/5 and a 1/3 of the world’s total output is eaten, spoiled or destroyed by rats and other rodents.”
Gambar tikus selalu digunakan untuk melambangkan koruptor. Sewaktu anggota KPU yang juga dosen itu terlibat korupsi, sejumlah harian membuat ilustrasi tikus bertoga. Kenapa harus tikus? Tentu saja karena banyak persamaan antara tikus dan koruptor. Novel Kate DiCamilo menceritakan perilaku keluarga tikus yang mirip dengan keluarga koruptor. Semakin banyak benda digerogoti, semakin bahagia keluarga tikus. Bapak tikus selalu dianggap pahlawan oleh keluarga tikus.
Bukankah demikian pula yang kita lihat pada keluarga koruptor? Gaji pas-pasan, tapi punya banyak rumah di kawasan elit dan koleksi mobil mewah. Alih-alih bertanya dari mana sumbernya, keluarga malah bangga punya bapak yang membuat mereka kaya raya. Kalau dituduh korupsi, sang isteri akan membela habis-habisan. ”Saya kenal suami saya. Ia punya integritas. Tak mungkin korupsi. Itu fitnah!” Anak-anaknya juga ikut berteriak, “Papa kami bersih! Tak mungkin berbuat sekeji itu!” Pokoknya, seperti tikus, keluarga koruptor selalu menganggap bapaknya sebagai pahlawan.
Kita maklum, kalau kerja tikus hanya menggerogoti. Namanya saja binatang pengerat. Bukankah demi mempertahankan hidupnya, tikus harus menggerogoti? Adakah cara lain?
Sedangkan manusia? Bukankah dia adalah makhluk mulia yang dikaruniai akal untuk meraih sukses. Bukankah banyak cara luhur untuk makan atau kaya?
Tikus memang bisa sangat merugikan kita. Namun, jauh lebih berbahaya bila koruptor menghuni gedung pemerintah, rumah ibadah, gedung sekolah dibandingkan dengan tikus beneran. Paling banter yang digerogoti adalah kabel-kabel komputer, telepon, kertas-kertas, meja, dan kursi. Mari bandingkan dengan ulah yang diakibatkan koruptor. Terjadi kemiskinan missal, banyak anak putus sekolah, banyak jadi budak, banyak terbunuh karena busung lapar. Negara merdeka yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata karena digerogoti para koruptor, kini disebut-sebut berada diambang keruntuhan (state failure). Betapa mengerikan!
Dalam novel Kate DiCamilo disebutkan satu peraturan paling mendasar dan penting yang harus dipatuhi tikus: “Jangan pernah dalam keadaan apapun menampakkan diri di hadapan manusia!”
Namun, bagi koruptor, peraturan itu tentu saja diabaikan. Ya, koruptor adalah manusia yang berakal. Karena itu, apa saja diakal-akali. Misalnya, anggaran belanja. Dalam pidato resmi, katanya, dibangun fasilitas untuk rakyat. Wakil-wakil rakyat terhormat pun bertepuk tangan. Namun, baca saja berita-berita di koran. Fasilitas itu dibangun asal jadi, lalu dibiarkan terbengkalai. Itu hanya satu contoh yang sebenarnya merupakan bukti korupsi.
Bukankah bisa dijerat dengan hukum? Namun, siapa takut? Manusia bertabiat tikus tentu sadar, orang seperti dia banyak mengurusi hukum. Bukankah sudah kita dengar, banyak perwira polisi dikabarkan memiliki rekening tak wajar? Bukankah sudah kita dengar pula, jaksa, hakim, dan pengacara melakukan korupsi? Hukum pun diakal-akali. Benar kata orang, koruptor itu licin seperti belut dicampur oli. Maka, seperti kata pepatah, “Patah tumbuh, hilang berganti. Mati satu, tumbuh seribu.” Dengan kata lain, satu koruptor dibasmi, seribu tikus berdasi bermunculan. Jangan heran, kalau populasi koruptor di negeri ini lebih banyak dibandingkan tikus.
Mengingat bahaya yang diakibatkannya, tentu saja koruptor harus ditumpas. Namun, menangkap koruptor jauh lebih sulit meskipun banyak kesamaannya dengan tikus. Cara kerja tikus mudah dilacak, tentu mudah pula menangkapnya. Ambil misalnya, perekat tikus. Letakkan makanan kesukaan tikus ditengah-tengahnya, tak lama pasti terjebak. Atau, siapkan saja makanan beracun, hewan kesukaan kucing kampung itu pasti mampus.
Menurut Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, ada cara baru untuk berburu koruptor. Cara itu disebut sebuah inovasi. Yakni, koruptor yang sudah bertobat didekati. Ia dijamin secara hukum bila mau membeberkan kejahatan koruptor- koruptor lain (Kompas, 2 Agustus 2005). Namun, apakah mantan koruptor rela menjadi martir? “Koruptor itu tak pernah kenyang. Ia akan terus mengakumulasi kekayaan,” ujar Koordinator Indonesia Watch Corruption, Teten Masduki. Pernyataan pesimis memang. Ya, namanya saja koruptor, manusia berwatak tikus. Ia sudi merendahkan dirinya dengan memilih jalan hidup seperti tikus. Hati nuraninya sudah tumpul. Tak bisa lagi membedakan cara manusia bermoral dengan binatang penggerogot. Namun, jangan pernah putus asa berperang melawan manusia-manusia berperangai tikus.
Moga tidak ada "money laundry" di gereja dan tempat2 ibadah yang lain he..he..he. Gbu.
BalasHapusRiah: koruptor itu licin spt belut dicampur oli. Jadi, kemungkinan besar money laundry di rumah2 ibadah bisa terjadi....
BalasHapusPak Robert : Ada ayat yg mengatakan usahakanlah kesejahteraan tempat kemana kamu Aku utus. Gereja diutus dinegeri ini untuk mengusahakan kesejahteraan bagi bangsa ini tapi kenyataannya bangsa kita memiliki praktek korupsi lumayan tinggi. Jangan2 gambaran dari bangsa ini adalah gambaran dari gereja?
BalasHapus