Catatan: tulisan ini pernah dimuat di harian Analisa, 8 April 2009, sehari sebelum pemilihan calon-calon legislatif. Kemudian kuedarkan dalam bentuk brosur menjelang pilkada Kabupaten Karo agar rakyat memilih pemimpin bukan berdasarkan uang atau dalam bentuk pemberian lain, seperti sarung, gula, minyak goreng, sertu untuk menimbun jalan-jalan berlubang, dsb.
Pada Rabu, 27 Oktober 2010, kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (bupati) Karo. Jauh sebelum hari-H, berbagai cara dilakukan oleh para calon untuk merebut simpati rakyat. Tentu saja, kiat paling “ampuh” bagi sosok-sosok yang tak layak jual (calon pemimpin gadungan) adalah dengan mengandalkan uangnya. Terlebih dalam situasi krisis keuangan berkepanjangan yang membuat kehidupan rakyat menjadi semakin serba sulit. Bak gayung bersambut, para pemilik uang yang haus jabatan, tentu saja jeli membaca situasi ini.
Saya pernah dengar kabar, ada beberapa calon bupati, telah menyiapkan dana paling sedikit Rp 100.000 per orang bagi yang memilihnya. Kabar ini bermula dari seseorang yang hendak membujuk temannya agar memilih calon pemimpin yang berusia muda, berintegritas baik, dan pandai, katakanlah bernama X. Namun, temannya itu mengatakan bahwa dia dan teman-temannya sudah punya calon lain bernama Y, yang telah menimbun jalan ke desanya yang berlubang-lubang, memberi uang, dan berjanji akan menambahinya kalau menang. Temannya yang telah punya pilihan itu kebetulan memang orang susah dan sangat memerlukan uang. Dan bukankah di masyarakat santer terdengar bahwa siapa saja (calon pemimpin) sama saja? “Sebelum kita diinjak lagi, mari sekarang rame-rame kita menginjak mereka,” ujar seseorang di kedai kopi.
Aroma uang memang tak mudah tercium, tapi kita dapat merasakan bahwa uang memainkan peranan penting dalam aktivitas politik sehingga melumpuhkan sebagian besar nyali orang yang berkompetensi menjadi wakil rakyat dan pemimpin, karena minim uang. Betapa tidak! Bahkan lembaga-lembaga sosial, termasuk rumah-rumah ibadah, sadar atau tidak, ternyata tidak sedikit pula yang terjerumus ke dalam arena politik beraroma uang. Seorang calon pemimpin di daerah pernah mengeluh karena ada seorang pendeta yang mewakili 30 orang pelayan gereja menghubunginya, minta bantuan dana untuk pesiar ke Bali . Bisakah kita mengatakan bahwa tidak ada korelasi (meminjam istilah ilmu Statistik) antara dia sebagai calon pemimpin dengan permohonan dana untuk sekian puluh orang yang hendak berpesiar (justeru di tengah keadaan jemaat yang hidup serba sulit?). Belum termasuk puluhan proposal dana dari pelayan-pelayan gereja yang datang dari berbagai penjuru daerah yang memerlukan bantuan dana, mulai dari genteng gereja yang rusak, warna kusam gereja yang perlu dicet, WC mampet, sampai pembangunan rumah pendeta.
Lalu, bagaimana sikap kita? Apakah kita membiarkan politik uang (money politics) terus menjerat negeri ini sehingga hanya akan menghadirkan pemimpin gadungan yang bodoh, korup, dan tak bermoral?
Sekali-kali tidak! Kita harus melawannya! Allah melalui Nabi Musa mengatakan, “Suap janganlah kau terima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar” (Keluaran 23:8). Perilaku suap menyebar seperti virus di tengah-tengah masyarakat yang akan melumpuhkan sendi-sendi bangunan moral yang hendak kita dirikan.
Praktik suap terjadi kalau ada yang memberi dan ada yang menerima. Dengan kata lain, suap terjadi di antara calon pemimpin dan masyarakat yang bermental bobrok. Seorang calon pemimpin yang berintegritas baik tidak akan membiarkan dirinya terjebak arus permainan uang. Kalau uang sudah nge-trend dalam masyarakat yang ikut aktivitas politik, calon pemimpin harus memberikan pencerahan. Sungguh baik melihat cara Soekirman sewaktu menghadapi orang-orang yang mengharapkan uang darinya yang mencalonkan diri menjadi Wakil Bupati Serdang Bedagai (2005). “Terima kasih karena Bapak sudah jujur mengatakan bahwa saya akan kalah. Tapi kalau ada calon yang kasih uang, itu melanggar hukum. Calon seperti itu adalah calon yang akan korupsi. Kalau saya, saya malu kalau yang hendak Bapak pilih adalah calon pemimpin seperti itu. Saya tidak mau. Tapi kalau Bapak-bapak memilih saya karena hakekat saya akan berusaha memajukan bangsa bersama rakyat, maka saya mau,” ujarnya menceritakan pengalamannya dalam buku Strategi Kandidat Pro Demokrasi dalam Pilkada.
Banyak orang waktu itu sinis kepadanya. Dia yang adalah seorang dosen pertanian di Universitas Sumatera Utara (dengan gaji pas-pasan) diprediksi akan kalah. Alasannya: calon-calon lain berkampanye membantu rakyat secara lebih konkrit, termasuk dengan uang. Namun, ternyata dia bersama pasangannya, akhirnya menang. Buku itu menyebutkan pula, dalam berkampanye ada calon bupati incumbent di Manggarai membagi-bagikan uang justeru kalah.
Masyarakat yang baik, tentu saja secara proaktif dapat menghempang virus money politics yang berpotensi besar menghancurkan bangsa. Saya pernah dengar kabar, seorang calon pemimpin gadungan membagi-bagikan uang dan sembako menjelang pemilihan bupati pada periode lalu. Dia punya tujuh orang tim sukses di satu desa dan sudah mengucurkan dana sekitar Rp 20 juta. Lalu, bagaimana hasilnya? Di desa itu, ternyata dia hanya mendapatkan lima suara (bayangkan, jumlah tim suksesnya saja tujuh orang). Saya pikir, cara ini cukup ampuh untuk membuat jera sosok-sosok yang mendambakan jabatan dengan cara mengandalkan uang, suap sana , suap sini.
Gambar rumah adat Karo |
Ingatlah, suara rakyat bukan suara uang. Pepatah tua mengatakan, vox populi, vox Dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan. Alkitab menyatakan, “Suap janganlah kau terima….” Jadi, jangan membiarkan diri kita terlibat di antara orang-orang yang mengubah suara Tuhan menjadi suara setan. Ingatlah, siapapun yang memberi/ menerima sogok (uang, sembako, dsb) sudah ikut berpartisipasi menghancurkan masa depan kita!
Oleh karena itu, kalau Anda mengasihi negeri ini dan mendambakan masa depan anak-anak kita, marilah kita memilih sosok-sosok yang punya integritas baik dan cerdas dalam pemilihan pemimpin. Pertanyaan kita adalah apakah masih ada? Perlu saya sampaikan, majalah Tempo, dalam edisi khusus akhir tahun menurunkan laporan utama bertajuk “10 Tokoh 2008”. Siapakah mereka? Mereka adalah bupati dan wali kota yang bekerja dengan hati, yang berhasil membangun daerahnya sehingga dicintai rakyatnya.
Sebelum mereka, pers ramai-ramai pula menyebut satu sosok luar biasa, Basuki Tjahaya Purnama. Dia adalah Bupati Belitung Timur pertama yang dipilih secara langsung pada 2005. Bayangkan saja, seorang yang takut akan Tuhan (anggota majelis gereja) dan dari etnis Tinghoa, pernah menjadi pemimpin di wilayah berpenduduk mayoritas muslim (92 persen). Dan dia berhasil membangun daerahnya, mendapat banyak penghargaan nasional, dan disukai rakyat. Jadi, jangan pernah lagi mengatakan, semua calon sama saja dan yang memberi uang akan dipilih. Semoga tulisan ini membuat mata hati kita terbuka untuk hal-hal yang baik demi membangun negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar