Catatan: Cerpen ini dimuat di harian Suara Pembaruan, 4 Juni 1989.
“Kok balik lagi?” tanyanya. Kurasakan suaranya lesu.
“Mau pinjam buku,” ujarku. “Bagaimana, ada income baru?”
Dia tersenyum kecil.
“Yah, masih seperti tadi,” suaranya datar. “Kamu bagaimana, sudah makan?”
Aku mengangguk.
“Kapan?”
“Baru saja.”
“Hebat. Makan di mana?”
Kalau dalam keadaan normal, aku akan tertawa mendengarnya. Makan saja dibilang hebat.
“Di mana lagi kalau bukan di warteg. Kamu?”
Dia menggeleng. Benar dugaanku tadi. Dia lesu karena belum makan.
“Uangmu ada?” tanyaku.
“Ada.”
“He, rupanya ada income baru. Kamu pinjam dari siapa?”
“Aku tidak pinjam. Pokoknya uangku ada. Coba tebak berapa?”
Dia tersenyum. Seketika semangatku lenyap. Melihat tampangnya, aku yakin paling banter limaratus perak.
“Lima ratus,” tebakku.
Ha, ha! Dia tertawa.
“Salah. Cuma sepersepuluhnya.”
“Lima puluh perak?”
Dia tertawa lagi. Aku mengajaknya duduk-duduk di kaki lima perpustakaan. Suasana kampus sudah sepi.
“Siang tadi kamu sudah makan, kan?” tanyaku.
“Pagi tadi sudah,” jawabnya.
“Baru pagi tadi…?” Aku terkejut, tak percaya pada pengakuannya. Dia membisu. Baru pagi tadi makan, aku merenung. Dan malam ini dia makan apa, kalau uangnya cuma lima puluh perak?
Aku melemparkan pandangan jauh-jauh ke langit yang sunyi. Beginilah hidup di dunia, bisikku. Kuingat kisah Yose Rizal, pahlawan Filipina yang katanya pernah mengalami kelaparan semasa mahasiswa di perantauan. Lalu, bencana kelaparan di Afrika. Kesulitan kami ini masih kecil, tegasku pada diri sendiri. Ingatlah, masih banyak sekali orang yang kelaparan di dunia ini.
Kubuka dompetku. Mengambil selembar uang lima ratusan milikku yang begitu berharga. Sudah nasib uang ini barangkali buat Yohanes. Ya, baru saja aku mau membeli sebuah buku tulis untuk meringkas bahan kuliah, tapi aku ragu, dan akhirnya tidak jadi, sebab kalau kubeli, besok makan apa?
“Ini pakai buat kamu,” sodorku.
“Kamu punya uang? Pinjam dari siapa?” herannya seperti tidak pernah saja aku punya uang segitu.
“Seno Wibowo. Sewaktu pulang tadi aku singgah ke ruang senat. Kupinjam uangnya seribu.”
“Buat kamu sendiri nanti apa?”
“Ambil sajalah. Jual mahal lagi kamu.”
“Aku serius.”
“Uangku masih ada duaratus limapuluh.”
“Cukup itu?”
“Aku kan sudah makan. Masalah besok, ya besok lagi. Whatever will be, will be! Kita lihat saja nanti apa yang terjadi. Yang utama, perutmu itu diisi dulu. Apa kamu tidak takut mati kelaparan?”
Dia tertawa. “Ini seharga nyawa,” ujarnya.
“Tapi, sini uangmu yang lima puluh perak itu!” todongku. “Lumayan buat beli shampo.”
Dia tertawa lagi. Aku kagum melihatnya. Dalam keadaannya seperti itu, dia masih bisa tertawa.
“Mudah-mudahan besok kirimanku datang,” ujarku.
“Ya, kita doakan saja.”
“Tapi kalau belum, kita pinjam uang siapa lagi?” tanyaku sambil merenung. “Ah, kalaupun ada, sungkan rasanya minjam terus. Atau, kita berusaha dengan cara lainlah. Kerja apa kek begitu. Kalau tidak, ngamen….”
Pagi-pagi keesokan harinya aku menelepon bank, tapi kirimanku dari Medan belum datang. Aku disuruh agar siang nanti menghubungi bank lagi. Sebenarnya memang belum, tapi bapak sering mengirim uang lebih cepat walau tanggal akhir bulan belum habis. Karena keuangan kami benar-benar kering, akhirnya kuajak Yohanes ngamen di bus.
“Ngamen….” cengangnya. Rupanya dia menganggap ideku kemarin sekadar basa-basi. Aku serius mengajaknya.
“Kalau tidak, kamu nanti makan apa?” desakku. “Tidak usah gengsi atau malu. Kalau itu membuatmu enggan, aku kira kamu keliru. Kita mahasiswa, malu apa? Apa ngamen itu dosa? Kita ngamen karena kita butuh makan. Dengan perut kelaparan kita sulit belajar. Kepala berdenyut, tangan berkeringat dingin, lemas, lesu. Aku sendiri, untuk apaku ngamen kalau punya uang? Kita terpaksa!”
Ini semua memang karena Yohanes juga. Kami tidak akan putus uang kalau dia bertindak sedikit lebih bijaksana. Beberapa hari yang lalu dia nekat menghabiskan uangnya dengan memfotocopi bahan lokakarya untuk keperluan persekutuan kampus. Lalu dia meminjam uangku untuk makannya. Padahal aku sendiri nyaris bokek sebab sebelumnya uangku dipinjam teman, dan belum dibayarnya sampai saat ini. Menurutku, adalah lebih ringan meminjam uang waktu itu dari teman lain untuk keperluan persekutuan daripada nantinya meminjam uang untuk keperluan makan.
“Ayolah, kamu cuma menemaniku. Biar aku yang bernyanyi….”
Kami naik bus dari halte Salemba, persis di depan kampus. Sebelumnya aku selalu mengingatkan Yohanes agar menegarkan hati pada saat-saat seperti ini. Aku maklum, dia agak pemalu.
“Selamat pagi, saudara-saudara!” aku memberi salam kepada para penumpang. “Kami akan bernyanyi…” suaraku terputus dan tiba-tiba terasa kelu, sulit membuka suara. Itu Lestari, bisikku. Seketika dia tertunduk begitu pandangan kami bertubrukan. Namun, segera kukuasai diriku. Aku anggap ini pementasan biasa saja, sebagaimana aku biasa membaca puisi dan bernyanyi di Balai Mahasiswa, di taman Ekonomi….
“Kiranya lagu-lagu kami membuat saudara senang di perjalanan….”
Kupetik gitar dan bernyanyi. Aku sangat senang karena ternyata Yohanes mau dan tanpa malu-malu lagi mengimbangi suaraku. Di Kampung Melayu kami turun. Lestari terus ke arah Cililitan.
“Dia tadi tertunduk terus,” ujar Yohanes.
“Ya, tapi kamu tadi mengutip uangnya?” tanyaku.
“Dia juga penumpang. Kenapa tidak?”
Seketika aku tertawa terbahak-bahak.
“Aku terpengaruh oleh gayamu. Kulihat kamu begitu tenang, sedang pacarmu ada di situ. Akhirnya, aku nekat nyanyi. Aku sekarang bahkan senang, punya pengalaman yang tidak mungkin kulupakan: pernah kelaparan, lalu ngamen buat makan. Dan bisa kelak diceritakan kepada anak cucu….”
Siangnya kuhubungi lagi bank. Ternyata kirimanku sudah datang. Setelah mengambilnya, aku mencari Yohanes ke kampus.
“Lestari ada di perpustakaan,” lapornya.
“Tadi sudah pulang, kan?”
Dia mengangkat kedua bahunya.
“Kalian sudah bicara?” tanyaku lagi.
“Belum. Aku melihatnya, tapi sepertinya dia tidak melihatku.”
Aku segera ke perpustakaan. Lestari ada di lantai 3, belajar dekat jendela.
“Halo!” sapaku. “Sedang apa?”
Dia menoleh. “Belajar. Sabtu ada ulangan.”
Bukankah dia tadi sudah pulang? Ingin kutanyakan, tapi aku ragu. Aku terbayang waktu ngamen tadi, dia tertunduk terus. Malu? Tiba-tiba, kurasakan suasana jadi kaku.
“Ulangan apa?” tanyaku lagi.
“Ekonomi Makro.”
Membisu lagi. Aku bertanya-tanya, apakah dia merasa malu begitu memergokiku ngamen di bus? Ah, semestinya aku tidak usah merisaukannya, bisikku. Kalau dia malu, biarkan saja. Ya, aku tidak ada alasan bersikap kaku padanya. Kami putus uang. Toh, kami butuh makan. Bodoh benar bersikap kaku.
“Lestari, bagus nggak kami tadi nyanyi di bus?”
Dia tidak menoleh. Aku sabar menunggunya, tapi dia tetap membisu. Kutarik kursi. Duduk di sampingnya. Membuka kotak pinsilnya, dan menutupnya lagi.
“Kamu malu aku ngamen di bus?” tanyaku akhirnya.
Masih tidak ada jawaban. Dia seperti tekun membaca. Tapi aku yakin, pasti pura-pura.
“Hai, kok diam saja?” desakku.
“Kenapa malu? Tapi kamu… kenapa kamu ngamen?”
“Sekadar latihan mental,” jawabku seadanya.
Tiba-tiba dia tertawa. O, alangkah senang hatiku.
“Dasar seniman,” ujarnya.
“Saya mau meneraktir kamu. Yuk, mau?” ajakku.
“Banyak dapat uang?” tanyanya.
Kali ini, aku yang tertawa. Ini sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar