Catatan: Tulisan ini dimuat di harian Kompas, 31 Agustus 2006.
White night di St Petersburg |
Selain menikmati keindahan Lapangan Merah dan Tembok Kremlin di Moskwa, perjalanan kita ke Negeri Beruang Merah rasanya kurang sempurna kalau tidak mampir di St Petersburg. Kota indah dan bersejarah itu terletak di tepi Laut Baltik. Hanya sekitar satu jam penerbangan dari Moskwa. Begitu pesawat mendarat di Bandara Pulkovo, kami segera meluncur ke hotel, menitipkan barang-barang, lalu ke luar lagi. Belum waktunya untuk beristirahat. Maklum, hanya dua hari kami di St Petersburg, kota asal Anna Karenina, perempuan cantik dalam novel terkenal karya pengarang besar Rusia, Leo Tolstoy (1828-1910).
Di tepi Sungai Neva, bus kami berhenti. Tepatnya, persis di depan sebuah bangunan tua yang tampak indah dan bersih. Bangunan itu adalah Peter and Paul Fortress, sebuah benteng megah yang dibangun ketika Rusia berperang dengan negeri yang berada di wilayah utara (the Northern War). Paling mengesankan adalah ketika memasuki sebuah katederal yang berada di dalam benteng itu. Di sana terdapat makam raja-raja (tsars), mulai dari Peter the Great (1672-1725) sampai Nicholas II (1868-1918), tsar Rusia terakhir.
Peter the Great membangun St Petersburg pada 1703. Pada masa mudanya, ia gemar berkeliling Eropa dan terpesona melihat kota-kotanya. Begitu naik tahta, ia pun mendatangkan arsitek-arsitek ternama dari Eropa. Di bawah pengarahannya, ia ikut merancang bangunan-bangunan yang meniru gaya Eropa. Adapun bangunan paling terkenal dan pernah menjadi landmark St Petersburg adalah Peter and Paul Fortress. Benteng itu terletak di atas tanah yang dikelilingi Sungai Neva. Pada awalnya, belum ada jembatan sehingga orang-orang harus menyusuri Neva, sungai terbesar di kota itu untuk tiba di sana . Karena itulah, St Petersburg disebut juga “the Venice of the North”. Pada 1712, Peter the Great memindahkan ibukota Rusia, dari Moskwa ke St Petersburg .
Orang Rusia menyebut kota ini, Sankt Peterburg. Pada Perang Dunia I, Rusia terlibat perang dengan Jerman, dan Tsar Nicholas II mengubah nama kota yang kalau diucapkan terdengar agak kejerman-jermanan itu menjadi Petrograd (1914). Pada 1924, Vladimir Ilyich Lenin, pemimpin pertama Rusia setelah berakhirnya era kekaisaran meninggal. Kota itu berganti nama lagi menjadi Leningrad untuk menghormati jasa-jasanya. Pada 1991, komunisme tumbang. Dan kota itu berganti lagi ke nama semula, Saint Petersburg .
Pada hari terakhir, kami menikmati keindahan Peterhof atau Taman Peter. Terkadang disebut pula “Russian Versailles”. Mengingatkan kita pada Istana Versailles di Perancis. Ya, bukankah Peter the Great suka meniru Eropa? Di taman penuh pesona ini terdapat Istana Musim Panas yang dirancang oleh Peter the Great sebagai “the Monplaisir Palace ” atau “Istana Kebahagiaanku”. Di depan istana itu, kita dapat menikmati keindahan “the Samson Fountain”, air mancur dengan latar belakang Teluk Finlandia.
Saint Isaac's Chatedral |
Tak kalah mengesankan adalah ketika mengunjungi Saint Isaac’s Chatedral. Gedung ini berkapasitas 14.000 orang, tingginya mencapai 101,5 meter, dan kubahnya disebut salah satu terbesar di dunia. Untuk membangun katederal diperlukan waktu 40 tahun (1818-1858). Katederal terbesar di St Petersburg ini didedikasikan kepada Saint Isaac of Dalmatia , seorang santa yang dihormati Peter the Great.
Tiada terasa, waktu menunjukkan pukul 21. Namun, pada musim semi mentari masih bersinar terik dan bentangan langit tampak berwarna putih. Dari buku travel, saya membaca tentang “White Night”, malam berwarna putih yang biasanya berlangsung pada Mei-Juni. Akhirnya, langkah kami terhenti di tepi Sungai Neva. Angin dingin bulan Mei terasa menusuk, tapi tak seorang pun yang ingin tinggal di bus. Ya, menikmat keindahan sungai terbesar dan bersejarah di St Petersburg seperti saat ini, tentu asyik sekali. Dari bawah jembatan yang agak remang, sebuah feri muncul membawa para penumpang yang tampak bahagia. Kami pun saling membalas lambaian tangan. Sepasang kekasih seperti tak peduli, asyik berpelukan di sebuah bangku di pojok feri. “Musim semi di Rusia, saatnya untuk menyatakan cinta,” ujar penerjemah kami, seorang gadis Rusia, puitis. Mengingatkan saya pada senandung From Russia with Love.
........... sungguh indah dan mengesankan ...... dan saya berharap Tuhan bermurah hati dan memberikan kesempatan kepadaku untuk melihat dan menikmati keindahan yang luar biasa itu..., (kurnia brahmana)
BalasHapus@kurnia brahmana: aku jg masih ingin pergi ke sana dan belahan dunia lainnya, spt Turki, Mongolia, India, Roma...! Siapa tahu, kita bisa bertualang bersama?! Oh ya, semua perjalananku akan kutuliskan dalam buku bertajuk "Catatan dari Negeri Seberang". Semoga impian kita tercapai...! Salam!
BalasHapus