Pada pukul 17.17 waktu setempat, pesawat Dragonair yang saya tumpangi dari Hong Kong mendarat mulus di bandara internasional Beijing, ibukota China. Saya pikir, waktu masih sore (Medan saat ini pukul 16.17. Waktu China lebih cepat sejam). Namun, langit yang saya intip dari jendela kelihatan sudah gelap. Ya, karena sekarang musim dingin. Waktu malam lebih panjang dari siang. Saya tiba di negeri tirai bambu pada Senin, 28 Desember 2009. Kemudian, terdengar pilot pesawat mengumumkan bahwa cuaca di luar saat ini minus sepuluh derajat Celsius. Saya sudah menyiapkan empat lapis pakaian, penutup kepala, dan sarung tangan. Saya pikir, persiapan saya sudah cukup untuk menahan dingin.
Namun, ketika saya menginjakkan kaki di sebuah pusat perbelanjaan untuk menemani teman-teman mencari perlengkapan selama di Tiongkok, udara dingin terasa amat menusuk. Dalam beberapa menit saja, ujung jari tangan dan kaki seperti mati rasa, hidung meler, mata merah dan berair, kuping terasa perih. Wah! Kami pun berlari tergopoh-gopoh memasuki pertokoan yang memasang penghangat. Dinginnya sungguh di luar dugaan kami.
Ada satu hal yang mengusik perhatian saya: pohon natal tinggi dan besar bercahaya indah di tengah-tengah pusat perbelanjaan modern yang disesaki manusia yang kelihatan makmur dengan melihat penampilannya tak kalah dengan orang-orang Jepang yang pernah saya lihat di berbagai pusat keramaian di Tokyo. Laporan dari media massa menyebutkan, perekonomian China memang saat ini sungguh tak tertandingi. Dan satu hal lagi yang mencuri perhatian saya adalah hampir semua pertokoan menampilkan pernik-pernik natal: merry chrismas, santaklaus, lonceng-lonceng kecil, salju-salju…. Bisa saya simpulkan bahwa semarak suasana natal justru lebih ramai kelihatan di China yang masih menganut paham komunis ketimbang di Indonesia. Hati saya pun dipenuhi tanya: adakah Tuhan telah lahir juga di hati banyak orang di negeri berpenduduk 1,3 milyar jiwa ini?
Pada suatu kesempatan saya bertanya pada pemandu wisata lokal dengan menyampaikan pertanyaan yang umum: “Apakah agama Anda?”
“Saya tidak punya agama,” katanya. Lalu, dia tertawa. Berusaha bersikap ramah seperti umumnya pemandu wisata di mana pun saya lihat. Saya teringat saat berkunjung ke Shanghai pada musim gugur 2003. Pertanyaan yang sama saya ajukan kepada pemandu wisata, seorang perempuan yang sepertinya baru lulus dari perguruan tinggi. Jawabannya waktu itu, “No religion….” Tidak ada agama!
Pemandu wisata di Beijing mengatakan, hampir semua penduduk di China tidak punya agama. “Memang di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai , saya lihat orang-orang muda sudah banyak juga yang memeluk agama Kristen,” tambahnya.
“Apakah Anda percaya bahwa Tuhan itu ada?” tanya saya.
“Ngga tahu, ya….” jawabnya. “Kalaupun Tuhan itu ada… saya pikir, kalau kita selalu berbuat baik, Tuhan pasti senang….
“Setiap manusia pasti sering mengalami penderitaan yang membuat jiwanya susah. Manusia pasti memerlukan pertolongan. Mungkin bukan dalam bentuk materi semata. Kebanyakan orang beragama, meminta bantuan kepada Tuhan. Kalau Anda mengalami semacam itu, apakah yang Anda lakukan?”
“Saya tidak meminta bantuan dari Tuhan. Kalau susah, saya pikir, semua orang juga pasti mengalaminya.”
“Kalau kita mati… apakah yang Anda bayangkan, ke mana kita? Bagaimana menurut pendapat Anda?”
“Saya pikir, kalau selama di dunia kita menjadi orang baik, di dunia sana juga kita menjadi orang baik.”
"Kalau menjadi orang jahat?"
"Nanti balik lagi ke dunia ini, menjadi binatang...."
Pada Kamis, 31 Desember 2009, saya terbang selama hampir dua jam ke selatan bersama pesawat Air China ke Hangzhou, bekas ibukota Tiongkok kuno. Saya memasuki sebuah kelenteng besar yang sudah berusia ratusan tahun. Tampak suasana semarak untuk menyambut tahun baru. Orang-orang ke luar masuk untuk bersembahyang. Membakar kertas-kertas beraksara kanji. Berdiri penuh hikmat dengan kedua telapak tangan menjepit hio (seperti lidi) berwarna merah yang ujungnya mengeluarkan asap. Lalu, bersujud dengan kusuk. Membungkukkan badan berkali-kali di hadapan patung raksasa gemuk berperut buncit yang duduk santai dan tertawa cengegesan melihat setiap orang yang menyembahnya.
Sejarah Tiongkok tercatat sejak ribuan tahun sebelum Masehi (Dinasti Xia 2070-1600 SM). Negeri ini mewariskan banyak sekali peninggalan kebudayaan bermutu tinggi. Umat muslim sering mengutip pernyataan terkenal Nabi Muhammad, “Tuntutlah ilmu sampai ke China ”. Tumbangnya kekaisaran terakhir China (Dinasti Qing) pada 1911 adalah karena terjadi Revolusi China yang dipimpin oleh Sun Yat-sen (1866-1925), seorang yang beragama Kristen. Ketika dia meninggal, tampuk kepemimpinan diteruskan oleh Chiang Kai-shek (1888-1975), juga seorang Kristen. Namun, politik China senantiasa diwarnai oleh berbagai kemelut berdarah.
Pada 1949, dibawah kepemimpinan Mao Tse Tung, komunis mengambil alih kekuasaan, dan Chiang Kai-sek bersama pengikutnya melarikan diri ke Taiwan, sebuah pulau kecil yang sampai saat ini masih diklaim China daratan sebagai wilayahnya, sementara Taiwan tetap mempertahankan negerinya sebagai wilayah yang berdaulat. Ketika rezim komunis berkuasa, orang-orang yang percaya kepada Tuhan dikejar-kejar dan dipenjarakan. Justru, ditengah banyaknya penganiayaan, muncul penginjil-penginjil yang militan seperti John Sung, yang dijuluki “Obor Allah di Asia” dan Watchman Nee yang dijuluki sebagai “Hamba Tuhan yang Menderita”.
Sebagai pengikut Tuhan yang merasa nyaman beribadah di negeri kita, betapa iman kristiani itu sering kali tertidur. Tuhan tidak hadir dalam kehidupan kita sehari-hari. Harian Kompas, 29 Mei 2008 menulis tentang perkembangan suatu kelompok bernama Pew Forum yang ragu soal keberadaan Tuhan. Disebut, ada sekitar 16 persen dari 304 juta penduduk AS mengikuti aliran kelompok itu. Beberapa ahli memberi penjelasan soal fenomena ini bahwa perkembangan kelompok itu memperlihatkan perlawanan pada semua agama konvensional yang ada. Kelompok itu disebut memiliki moral, sebaliknya merasa heran atas perilaku jahat dari orang-orang yang selalu menyatakan bahwa Tuhan itu ada.
Perlu kita renungkan, setiap tahun seusai perayaan natal dan tahun baru, kita memasuki minggu-minggu epiphanias, yakni suatu ibadah yang mengingatkan bahwa Tuhan menyatakan diri-Nya kepada kita. Dengan kata lain, tanpa Tuhan sendiri secara proaktif menyatakan diri-Nya, maka kita sama sekali tidak akan pernah mengenal Tuhan secara pribadi. “Tidak ada seorang pun yang berakal budi, tidak ada seorang pun yang mencari Allah” (Roma 3:11).
Sudah berapa lamakah kita mengenal Tuhan? Adakah Tuhan hadir dalam diri kita? Atau, justru melalui sikap kita Tuhan menjauh sehingga orang-orang tidak merasakan kehadiran-Nya dan menyatakan, “tidak peduli Tuhan ada atau tidak”? Ataukah Tuhan itu kita sebutkan demi suatu agama yang kita anut semata? Seperti suasana natal di Tiongkok, menurut pendapat saya, bukan untuk menyatakan Tuhan ada, melainkan demi suatu daya tarik pariwisata agar banyak pelancong yang datang dari jauh, khususnya dari barat, terkagum-kagum?
Adakah Tuhan? Tuhan adalah omnipresent. Tuhan hadir di mana-mana. Kiranya, kehadiran Tuhan dalam diri kita menunjukkan secara nyata bahwa Tuhan itu ada. Dan hal itu bisa dilihat dari kehidupan kita sehari-hari sehingga melalui kesaksian kita, banyak orang datang menyembah-Nya.
jadi bagaimana dengan isi dari Amsal 1:7, Kila?
BalasHapusapa gak berlaku bagi mereka(Komunisme)?
Nina: Alkitab adalah universal. Berlaku bg siapapun. Masalahnya, banyak orang yg menyangkal Alkitab sebagai FIRMAN TUHAN!
BalasHapus