Ternyata saya keliru. Pepatah kuno itu, sekali lagi benar. Pada awal November 2006, ketika berkunjung ke China, ternyata negeri tirai bambu itu luar biasa. Pembangunan kota tampak di sana-sini. China adalah seperti naga-naga raksasa yang sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Untuk memahami negeri besar berpenduduk sekitar 1,3 milyar jiwa itu dalam seminggu perjalanan, tentu ibarat upaya keras si buta menceritakan tentang gajah.
Setelah terbang selama tiga setengah jam dari Penang, Malaysia, pesawat China Southem Airlines yang kami tumpangi mendarat mulus di Guangzhou Baiyun International Airport. Waktu menunjukkan pukul 11.50. Tidak ada perbedaan waktu antara China dan Malaysia. Dan saya terkejut ketika diberitahu bahwa saya termasuk diantara rombongan yang belum memiliki visa. Dengan sedikit terburu-buru, guide memerintahkan kami untuk mengikutinya menuju suatu ruang khusus. Ternyata tempat mengurus visa. Apa mungkin? Saya membayangkan untuk mengurus visa ke Jepang, Eropah, Amerika, dan Australia bisa berminggu-minggu. Namun, setelah menunggu hanya sekitar setengah jam, si pemandu gemuk yang kelihatan lelah itu menjulurkan paspor-paspor yang sudah di beri tanda visa masuk. Hebat sekali, pikir saya. Serba instan. Mengurus visa hanya dalam hitungan menit.
Namun, di bagian imigrasi muncul masalah. Petugas yang duduk di loket tampak menggerutu dalam bahasanya, mungkin Mandarin, sambil melemparkan paspor kehadapan saya. “What’s wrong?” tanya saya. Dia malah tampak mengomel, saya tidak paham, telunjuk kirinya memerintahkan saya untuk minggir, dan memanggil antrian berikutnya. Kejadian itu ternyata menimpa teman saya pula. Ada apa gerangan? Pemandu yang antri di belakang kami buru-buru menyerobot ke barisan depan, menuyuruh kami mengisi nomor visa pada selembar kartu tanda masuk yang akan diminta petugas imigrasi. Oh, itu rupanya masalahnya. Namun, alangkah repotnya kalau saya pergi sendiri, dan tidak ada yang bersedia membantu. Ya, inilah bagian permulaan dari petualangan saya ke negeri tirai bambu.
Di Guangzhou kami hanya transit. Kami akan bermalam di Shanghai, kota yang terletak di tepi laut, bagian timur China. Kami harus terbang selama satu setengah jam lagi. Namun, penerbangan ditunda dua jam, dan bagi kami yang baru pertama kali berkunjung ke Tiongkok tentu bukan menjadi masalah. Kami menyempatkan diri menikmati suasana bandara yang sangat sibuk. Saya ingat, beberapa bulan lalu dikabarkan bahwa bandara ini sunyi karena serangan wabah SARS. Namun, sekarang bandara tampak begitu ramai dikunjungi. Kami merasa bahasa menjadi kendala utama untuk berkomunikasi karena sulit sekali untuk menemukan orang di bandara yang bisa berbahasa Inggris.
|
Shanghai di tepi Sungai Huangpu di waktu malam |
Pukul 18.10, kami tiba di Shanghai. Langit mulai gelap. Udara musim gugur di awal November belum begitu dingin. Dari atas bus, saya melihat Shanghai memang benar-benar kota raksasa. Pemandu lokal mulai bercerita, dahulu Shanghai adalah perkampungan nelayan. Shanghai berarti “Pergi ke laut”. Berpenduduk sekitar 16,5 juta jiwa. Lebih banyak dari penduduk Beijing, ibukota China (sekitar 15 juta jiwa).
Karena waktu yang begitu singkat di Tiongkok, maka kami tidak langsung ke hotel. Bus berhenti di tepi sungai Huangou yang terkenal itu. Wah, manusia menyemut di sini. Shanghai diterangi cahaya rembulan. Indah sekali. Pantulan kilauan lampu dari gedung-gedung pencakar langit menambah semarak kota. Shanghai layak disebut kota yang bercahaya indah di malam hari. Di bawah pohon persik, orang-orang duduk berpasangan, bahkan ada yang berpangkuan. Semua seakan terhanyut dengan suasana romantis. Di sudut jalan, pengamen bersuara seperti Pavarotti bernyanyi diiringi akordion. Saya tidak mengerti, tapi sangat menyukainya. Saya pun berkata-kata dalam hati:“Aku mendengar rembulan bernyanyi untuk Shanghai. Menyambut pelancong-pelancong yang datang dari jauh. Cahayanya berkilau seperti malam bertabur mutiara. Lupakan kesedihanmu. Dengarlah, rembulan di atas Huangpu bernyanyi untukmu…” Saya pun melamun. Mengenang Sungai Deli. Konon, kapal pun pernah berlayar di sana. Namun, sekarang…. Ah, andai dikelola tentu tidak akan kalah dari Huangpu.
|
Pasar di Shanghai |
Keesokan pagi, sebelum meninggalkan Shanghai, kami singgah di pasar tradisional di kota terbesar Cina itu. Ya, Shanghai begitu unik. Modern sekaligus kuno. Di pertokoan Shanghai yang ramai tampak jemuran berjejeran, pakaian-pakaian dalam wanita yang bergantungan menjadi bagian dari pemandangan. Pria-pria berjas tampak mengendarai sepeda di sepanjang jalan rimbun.
Bus berhenti di sebuah kelenteng yang didalamnya duduk patung raksasa Budha yang terbuat dari giok, kami turun, dan langsung dikelilingi pengemis. Sementara pedagang-pedagang jalanan dengan gesit menyodorkan barang-barangnya. Meskipun kita bilang “no”, mereka tetap mengejar dan berteriak, Role! Role”. Dan, jam tangan “mewah” bermerek Rolex ditawarkan seharga 80 yuan (sekitar Rp. 80.000). Ada pula pulpen “mewah” bermerek Montblanc, ditawarkan seharga 50 yuan. Tentu saja, semua barang bermerek itu palsu. Kami sudah diingatkan, kalau ingin membeli maka tawarlah harga serendah mungkin. Akhirnya, harga “Rolex’ tadi bisa diperoleh dengan 16 yuan, sedangkan merek pulpen mewah yang sering dipakai pejabat-pejabat tinggi diperoleh dengan harga 4 yuan. Semua transaksi dilakukan dengan lebih banyak menggunakan bahasa “kulkulator” dan dua kata, “yes” dan “no”.
Pada suatu lapak, ketika membayar souvenir, uang yang saya sodorkan langsung ditolak. Acim-acim pedagang itu mengangkat tangannya. “No! No” teriaknya. Saya bingung. Lama baru sadar bahwa yuan yang saya pegang ternyata palsu! Wah, gawat juga, pikir saya. Bisa-bisa ditangkap polisi karena diduga pengedar uang palsu, apalagi saya orang asing di negeri ini. Hebat juga dia, seorang ibu, begitu jeli mengenal uang palsu hanya dengan melihatnya dari jarak semeter. Sejak itu, saya harus berhati-hati karena uang palsu tampaknya banyak juga beredar di sini.
Perjalanan dilanjutkan ke Wuxi, Provinsi Jangsu. Disebutkan, kota kota itu adalah penghasil mutiara dan keramik terbesar di dunia, sudah terkenal sejak 1.500 tahun silam. Kita harus ekstra berghati-hati mengeluarkan uang di setiap persinggahan. Mutiara yang tertulis di etalase seharga 5.300 yuan, ternyata dibisa di peroleh dengan harga 1.500 yuan. Ada seorang teman, menginginkan cincin bermata giok. Harga tertulis 1.600 yuan. Dan ternyata, setelah tawar-menawar, bisa diperoleh dengan harga 200 yuan.
Akhirnya, kota inilah yang ingin saya kunjungi, Nanjing. Sebab di kota ini, pemimpin besar China, Sun Yat-sen (1866-1925) dimakamkan. Sun Yat-sen adalah pemimpin besar rovolusi China. Kalau Indonesia memiliki pahlawan besar Soekarno, maka China memiliki Sun Yat-sen. Ia adalah anak keluarga petani sederhana, lahir pada 12 November 1866 di Zhongshan, Provinsi Guangdong. Pada 1879, ia pergi ke Honolulu untuk belajar. Pada 1886-1892, ia belajar kedokteran di Guangzhou. Setelah lulus, ia buka praktik di Macao. Pada akhirnya hatinya terpanggil untuk terjun ke dunia politik karena melihat negerinya terpuruk dalam krisis disebabkan dinasti Ching yang korup. Dengan beraninya Sun Yat-sen meminta agar China direformasi total. Masa penantian panjang untuk membawa negerinya menjadi bangsa modern dilakukannya dengan mengunjungi berbagai negara, dan secara intensif belajar tentang ekonomi dan politik barat. Berulang kali pemberontakan yang dipimpinnya gagal sehingga ia terpaksa lari ke pengasingan, seperti ke Tokyo. Di sana ia menikah dengan Soong Ching Ling (1893-1981) pada 25 Oktober 1915, saat usianya 49 tahun. Mengingatkan kita pada Bung Hatta, menikah pada usia 43 tahun, setelah kemerdekaan diproklamirkan. Sebagai catatan, baru-baru ini dikabarkan, Soong Mayling (istri mantan pemimpin Cina, Chiang Kai-shek), meninggal pada 29 Oktober 2003, dalam usia lanjut, 106 tahun di New York. Dia adalah adik kandung Soong Ching Ling.
Pada 1912, akhirnya perjuangan Sun Yat-sen berhasil membawa China sebagai negara modernl. Dinasti Ching pun berakhir. Dia menjadi presiden pertama negeri besar itu.
Kabar sedih tersiar pada 12 Maret 1925. Sun Yat-sen wafat di Beijing karena penyakit kanker hati. Untuk mengenang jasa-jasa besarnya, pemerintah membangun makam Sun Yat-sen di sebuah pinggiran kota Nanjing, di bukit Zhongshan. Pembangunan makam yang indah itu dimulai pada 1926 dan selesai pada 1929. Pada 1 Juni 1929, jenazah pahlawan besar itu dipindahkan ke Nanjing. Untuk bisa berdiri di depan makamnya, kita harus mendaki ratusan anak tangga menuju bukit permai yang berbentuk lonceng itu. Disana, kita melihat patung pahlawan besar itu terbaring tenang dengan wajah khasnya yang teduh di atas makam yang terbuat dari marmer. Disana, ribuan orang setiap hari mengunjunginya. Pastilah banyak, diam-diam tertunduk, merenung dan menghormatinya. Dan terus terang, saya tekejut ketika pemandu lokal mengatakan, tokoh besar itu adalah seorang Kristen.
Tak kalah mengesankan adalah ketika mengunjungi kota kuno, Hangzhou, ibukota Propinsi Zhejiang. Profesor Chen Gang dalam buku Greater Hongzhou a New Travel Guide menulis, Hangzhou menjadi ibukota Cina pada zaman Dinasti Song (1127-1279). Sejak lebih seribu tahun silam orang-orang China mengatakan, “Above is Paradise, below is Hangzhou”. Kalau keindahan surga ada dilangit, maka keindahan bumi ada di Hangzhou. Dikatakan, bila turis-turis asing mengatakan, “There is no paradise in the world except Hawai”, tentu saja karena mereka belum melihat Hangzhou. Pelaut legendaris Marco Polo ketika singgah di sana pada abad XIII menulis keindahan kota kuno itu, “City of heaven. It is without the finest and most splendid city in the world”.
Di Hangzhou pulalah terletak Xi hu atau Danau Barat yang termasyur itu. Keindahan Danau Barat ditulis oleh seorang utusan dari Jepang yang berkunjung sekitar 500 tahun silam. “Once I saw a painting of the West Lake, that on earth I did not believe existed. Today just when I get to this lake, I realize the painting is far from perfect” (Saat kulihat lukisan Danau Barat, aku tak percaya itu ada di bumi. Dan sekarang, ketika kulihat sendiri danau itu, aku menyadari, lukisan itu ternyata jauh dari sempurna).
Saya coba membandingkan keindahan Danau Barat dengan Danau Toba. Apalagi saat saya berdiri pada suatu bukit dekat Tongging. Jujur saya katakan, saya lebih terpesona melihat keindahan Danau Toba. Namun, siapa yang akan percaya dengan perasaan saya? Saya membayangkan pula, seandainya Marco Polo melihat danau itu pada abad XIII. Ya, coba bayangkan, seperti apakah keindahan Danau Toba sekitar 700 tahun silam?
Harian Kompas (20 Oktober 2003) melaporkan, pemerintah daerah Hongzhou menghabiskan dana sekitar 180 juta dolar AS (sekitar Rp. 1,5 triliun) untuk memperbaiki lingkungan Danau Barat sebagai upaya menarik wisatawan. Sementara, harian Sinar Indonesia Baru (12 November 2003) melaporkan, korupsi oknum pajak mencapai Rp. 240 triliun. Ah, seandainya Rp. 1 triliun saja disumbangkan untuk membenahi Danau Toba.... Mungkin kita bisa mengelilingi danau yang indah itu dengan cable car. Tentu saja, turis-turis dari pelosok dunia berdatangan. Dan tentu saja, lebih banyak devisa yang masuk. Alih-alih membenahi Danau Toba, malah dilaporkan, airnya semakin menyusut akibat penjarahan hutan. Ah, betapa tidak adilnya!
Saya bisa membuat ringkasan tentang strategi China menghasilkan banyak devisa dari pariwisata: daya tariknya adalah negeri itu sendiri. Kalau banyak negara menciptakan objek-objek wisata, maka China adalah parawisata itu sendiri, yakni dianugrahi banyak sekali objek wisata. Pariwisata China, tentu saja, selain banyaknya pemandangan, juga wisata sejarah, budaya, agama, dan belanja. Sejak pintu negeri itu dibuka lebar-lebar, China bekerja keras untuk membangun pariwisatanya secara profesional. Tampak pula adanya koordinasi yang baik di segala bidang. Misalnya, mengenai mudahnya visa diperoleh, menurut pemandu, itu diberikan kepada penumpang yang menaiki pesawat-pesawat milik China. Di samping itu, keunggulan-keunggulan unik negeri itu dimanfaatkan seoptimal mungkin. Misalnya, para pelancong seperti diatur untuk berkunjung ke objek-objek wisata yang memang menarik, sekaligus dimanfaatkan untuk berdagang. Di Wuxi, misalnya, di tepi Tai Hu atau Danau Tai terdapat penangkaran mutiara. Dengan semangat mengesankan, mereka menceritakan secara fasih keindahan mutiara yang telah banyak diekspor ke seluruh dunia. Perhiasan-perhiasan bermutu tinggi dari mutiara dipajangkan, sehingga para turis tertarik membeli lebih banyak.
Kita dibawa pula tempat penjualan keramik. Ya, bukankah keramik China sudah terkenal sejak dahulu kala? Ada teko lengkap dengan gelas-gelas indah terbuat dari keramik. Kita disempatkan pula berkunjung ke rumah kain sutra di Suzhou. Para turis dibawa pula ke kebun teh di desa Meijiawu. Foto-Foto pemimpin besar terpampang di dinding, seperti Mao Zedong yang sedang mengunjungi kebun teh itu. Mereka dengan fasihnya menceritakan kelebihan masing-masing teh dan khasiatnya bagi kesehatan. Kita dibawa pula ke tempat pengobatan tradisional yang memang sudah terkenal sejak dulu, dan mereka memberi konsultasi kesehatan secara gratisa. Ujung-ujungnya, kita pun seperti rela membeli ramuan-ramuan yang katanya untuk kesehatan itu.
Demikian mungkin antara lain strategi China memperoleh devisanya. Kalau memang ada kekurangan, mungkin paling mencolok adalah sikap arogansi petugas imigrasi menyambut tamu-tamunya di bandara. Namun, itu akan mudah diatasi mengingat China begitu bergairah membangun negerinya. Lalu, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah memiliki strategi yang baik untuk mengundang wisatawan manca negara lebih banyak lagi? Pelaku-pelaku wisata kita tampaknya bisa belajar dari kehebatan China.