Pada suatu pagi musim dingin di stasiun kereta api bawah tanah Shinjuku, Tokyo. Aku melihat sebuah tas tangan perempuan tergeletak persis di depanku. Beberapa orang lain di antara ribuan orang yang lalu lalang melihatnya juga, tapi mereka terus saja berjalan, seperti biasa tampak selalu terburu-buru. Namun, kemudian seorang pemuda menghentikan langkahnya. Ia mengambil tas itu. Lalu, perlahan-lahan mengedarkan pandangan ke sekitar, seperti ingin tahu: siapa gerangan pemilik tas itu? Kemudian, ia berlari mengejar seorang perempuan, dan entah bagaimana, ia seperti yakin, lalu menunjukkan tas itu. Perempuan itu tampak terkejut, menyadari tasnya rupanya terjatuh, dan ada yang sedang mengembalikannya. Ia pun membungkuk berkali-kali, sebagai ungkapan terima kasihnya.
Adalah Jepang disebut sebagai bangsa yang memiliki karakter kuat. Ketika terjadi gempa besar disusul tsunami yang menyapu tempat tinggal dan merenggut ribuan nyawa pada 11 Maret 2011, rakyatnya dipuji oleh berbagai media karena tidak terjadi penjarahan, disiplin, dan bersabar meskipun pemerintahnya dianggap tidak memuaskan dalam menanggulangi bencana.
Tentu saja, karakter yang membentuk harga diri sebagai harga mati dimiliki rakyat Jepang, disebut telah diwariskan turun-temurun sejak beberapa abad silam. Karakter misalnya, membentuk budaya malu yang peka. Mungkin bukan berita baru lagi, ada murid Jepang memilih bunuh diri karena tak tahan menanggung malu yang muncul gara-gara gagal dalam ujian. Dan baru-baru ini, Menteri Luar Negeri Jepang Seiji Maehara mengundurkan diri karena ketahuan menerima donasi politik ilegal sebesar 250.000 yen (sekitar Rp 27 juta) dari seorang warga negara asing (Kompas, 8 Maret 2011).
Berada di stasiun Shinjuku adalah satu di antara banyak kenangan tak terlupakan selama aku belajar di negeri sakura. Bisakah Anda bayangkan kalau peristiwa jatuhnya tas itu terjadi di tempat keramaian di negeri kita? Kita tentu pesimis barang berharga kita yang hilang akan kembali. Lihat saja, petugas keamanan sering mengingatkan kita lewat pengeras suara: waspadalah, jangan sampai barang berharga kita berpindah tangan (baca: dicopet atau dirampok). Dan bukankah kerap terjadi pula barang berharga raib di rumah ibadah?
Betapa semakin tidak nyaman hidup di negeri ini. Padahal sejak reformasi digulirkan (1998), kita berharap adanya perubahan yang membuat kehidupan kita menjadi lebih baik, terutama korupsi diperangi, angka pengangguran dan kemiskinan sebagai pemicu tingginya tingkat kriminalitas berkurang secara signifikan. Pendek kata, Indonesia akan menjadi negeri yang adil dan makmur! Kita pun larut dalam eforia.
Pada kenyataannya, yang terjadi adalah seperti bunyi ungkapan, “jauh panggang dari api.” Korupsi yang disebut sebagai penyebab negara diambang keruntuhan atau negara gagal (state failure) malah semakin menjadi-jadi. Bukti teranyar yang bisa kita lihat mengikuti kasus-kasus korupsi besar sebelumnya yang belum tuntas penyelesaiannya (Bank Century, BLBI, Deputi Bank Indonesia) adalah kasus Gayus dan korupsi dana pembangunan fasilitas SEA Games XXVI/2011 yang terindikasi melibatkan pejabat-pejabat negara.
Sebuah anekdot yang sungguh tepat menggambarkan betapa gawatnya korupsi telah melanda negeri kita adalah: “Pada zaman Orde Lama, korupsi berlangsung di bawah meja. Pada zaman Orde Baru, korupsi berlangsung di atas meja. Pada zaman reformasi, berikut mejanya dikorupsikan.”
Korupsi dan berbagai kejahatan moral lainnya terjadi karena nihilnya karakter. “Karakter, dalam jangka panjang adalah faktor penentu dalam kehidupan individu maupun bangsa,” ujar Theodore Roosevelt (1858-1919), Presiden AS ke-26, sebagaimana dikutip penulis buku-buku kepemimpinan, Stephen R Covey dalam buku The 8th Habit.
Kata “karakter” berasal dari perbendaharaan kata kuno Perancis, yakni caractere, yang berarti alat-alat untuk mengukir. Kata “ukir” mengingatkan kita pada benda-benda seni ukiran Bali yang begitu detail, membutuhkan waktu lama dan rumit dalam proses pembuatannya, tapi menghasilkan karya seni tinggi. Seperti itulah kata “karakter” berproses dalam diri manusia. Dengan kata lain, untuk menjadi manusia yang berkarakter, yakni sosok yang berintegritas maka harus dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan yang tak berkesudahan dalam mencapai cita-cita luhur.
Sejarah mencatat proses pembentukan karakter Presiden AS pertama, George Washington (1732-1799). Dalam buku Character is Destiny karya John McCain dan Mark Salter disebut, Washington terkenal karena sikap pendiamnya dan selalu bersikap sopan. Ia memiliki temperamen yang peka dan bergejolak, tapi ia selalu berusaha keras dan tidak menyia-nyiakan waktu untuk memperbaiki diri. Pada usia 14 tahun, ia menulis “110 Aturan” di buku tulis untuk mengatur sikapnya dalam setiap hal yang ia terapkan sepanjang hidupnya. Ia juga disebut suka mengamati karakter orang lain. “Ia tahu bahwa jika rakyat tidak mengatur karakter mereka sendiri, maka hal itu akan menghambat kemajuan republik. Namun, ia selalu yakin bahwa manusia dapat memperbaiki sifat; bahwa karakter rakyat dapat diatur oleh teladan dan bimbingan yang tegas. Ia berjanji akan menjadi teladan itu,” tulis John McCain dan Mark Salter.
Terbukti memang, setelah masa kepemimpinanannya, ia menjadi teladan bagi bangsanya. Bahkan Abraham Lincoln (1809-1865), Presiden AS ke-16 yang memiliki karakter mulia dan merupakan tokoh yang dikagumi Barack Obama, semasa remajanya berulang-ulang membaca biografi Benyamin Franklin (1706-1790) dan George Washington (1732-1799), dan menjadikannya sebagai teladan.
Lalu, bagaimana dengan kita? Belakangan ini, wacana tentang pembangunan karakter agar digalakkan kembali ramai dibicarakan oleh sejumlah kalangan, terutama guru dan pengamat sosial. Disebutkan, miskinnya moral dan terjadinya korupsi merambah ke segala bidang disebabkan karena nihilnya karakter. Ya, tanpa disertai pembangunan karakter mustahil kemajuan suatu bangsa dapat diwujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar