Sabtu, 28 Mei 2011

Yuzu dari Umajimura


Jepang, pada bulan Januari. Temperatur mendekati nol derajat Celsius. Suhu udara sedingin es. Setiap orang tampak mengenakan sepatu, sarung tangan, syal melilit leher, topi, dan pakaian berlapis-lapis, agar terhindar dari sengatan dingin. Aku pikir, dengan kondisi alam yang sepertinya akan membekukan apa saja,  mustahil sayur-mayur dapat tumbuh. Pikiran itu ternyata keliru. Di Tsukuba, sekitar 75 km di sebelah utara Tokyo, aku memasuki ladang tomat yang pada musim dingin diubah menjadi suatu ruangan berpenghangat. Betapa tanaman yang rentan penyakit itu tumbuh dengan buah-buahnya yang lebat merah merona.
Bagaimana itu bisa terjadi? Tentu saja karena Jepang melakukannya dengan teknologi canggih. Para petani di negeri sakura tidak tergantung lagi sepenuhnya pada alam. Sekalipun salju turun, dan suhu sedingin es selama berbulan-bulan, tanaman bisa tumbuh dengan subur.  Sungguh mengagumkan, Jepang bukan negeri agraris, tapi mampu menghasilkan berbagai kejutan di bidang pertanian. Bukankah berita ini telah lama tersiar? Mereka mampu menghasilkan semangka berbentuk segi empat, sehingga sangat membantu dalam hal pengiriman. Mereka menanam strawberry di  larutan air (hydroponics). Mereka bercocok tanam tanpa menggunakan pestisida. Berita  ini tentu membuat kita semakin terkagum-kagum: pada 11 Januari 2005, para tokoh masyarakat Jepang secara bersama memanen padi di Pasona Corp, sawah berteknologi hidroponik yang terletak di ruang bawah tanah sebuah gedung di Otemachi, Tokyo (Kompas, 12 Januari 2005). Bukan mustahil, orang-orang Jepang akan bercocok tanam di kutub utara mengingat lahan yang semakin sempit.
Bagaimana harga sayur mayur di sana? Di suatu pasar swalayan aku mengamati yang kalau dikonversikan ke dalam rupiah,  tercatat harga tomat Rp. 40.000 per kg;  kol Rp. 30.000 per kg. Bisa kita bandingkan dengan di negeri kita, harga tomat di tingkat petani rata-rata Rp 2.000 per kg, dan kol Rp 500 per kg. Harga inipun tak selalu stabil. Terkadang jauh di bawah harga itu sehingga petani-petani kita terpaksa membiarkannya membusuk di ladang. Patut pula dicatat, para petani kita mengeluarkan dana yang yang lebih besar untuk pupuk dan pestisida. Ironisnya, sayur-mayur kita sering dihindari di pasar luar negeri karena diberitakan megandung zat-zat beracun.
Tak kalah mengesankan adalah saat aku berkunjung ke pabrik pengolahan yuzu di Umajimura. Desa itu terletak di prefektur (setingkat propinsi) Kochi yang ibukotanya juga bernama Kochi. Dari Tokyo kami terbang sekitar dua jam menuju kota yang terletak di pulau Shikoku bagian selatan. Pemandu kami, Takagi-san mengatakan, Umajimura terletak di pegunungan yang berada di wilayah pedalaman. Hasrat untuk tiba di sana  terpendam di hati sejak mendengar kata “pedalaman.” Mengingatkan aku pada tokoh legendaris Oshin, Musashi, dan kuil-kuil kuno tempat berlatih kaum samurai. Ya, seperti apakah Jepang di sana? Seperti apa ladang-ladangnya? Bagaimana kehidupan sehari-hari para petaninya? Berbagai pertanyaan memenuhi benakku.
Dari Kochi kami menumpang bus menuju Umajimura.  Melintasi jalan-jalan sunyi. Tiga jam kemudian kami tiba di tujuan.  Namun, pengertian pedalaman yang aku bayangkan dengan kenyataan sungguh jauh beda. Katanya pedalaman, tapi aku melihat para petani berseliweran mengendarai mobil-mobil keluaran terbaru di jalan-jalan yang mulus. Tak ubahnya seperti orang-orang kantoran di Tokyo. Dan di mana-mana tampak sudah tersentuh teknologi modern. Kata Takagi-san, mereka menjual hasil panen bukan dengan menerima uang tunai, melainkan secara otomatis jumlah uang di rekening bank akan bertambah. Hebat!
Yuzu merupakan jeruk yang sangat terkenal di seantero Jepang. Sastrawan terkemuka Jepang, Natsume Soseki (1867-1916) pernah menulis tentang yuzu, “Kamu mungkin bertanya-tanya, apa hubungan yuzu dengan mandi air hangat pada musim semi. Tak terhitung, pada musim dingin yuzu digunakan untuk berendam di air hangat. Itu adalah mandi malam yang sudah dilakukan sejak dahulu kala. Aroma yuzu dipercaya akan melindungi orang-orang yang berendam dari segala penyakit.”
Konon, yuzu berasal dari Sichuan dan Yunan, negeri Tiongkok. Masuk ke Jepang pada masa dinasti Heian (794-1185). Pada awalnya, penduduk desa memiliki kebiasaan menggunakan air perasan (cuka yuzu) untuk memasak. Penggunaan yuzu semakin berkembang terutama berkat peranan koperasi pertanian (Nokyo). Awal industri yuzu dimulai pada tahun 1965 dengan 10 peneliti. Pada saat panen, buah yuzu menggunung di lemari pendingin karena belum memiliki pasar. Penampilannya tidak menarik, kulitnya yang kuning berbintik-bintik hitam. Yuzu ditawarkan ke tempat penginapan dan usaha katering di Kochi yang hanya mengandalkan wisatawan lokal. Hingga tahun 1980, yuzu dari Umajimura nyaris tak dikenal. Suatu hari datang permintaan Departmen Store dari prefektur lain untuk ikut pameran dagang. “Dengan rasa malu karena belum memiliki jalur pemasaran, akhirnya diputuskan untuk mengikuti pameran dagang itu,” ujar pengurus Koperasi Pertanian Umajimura. Keikutsertaan dalam pameran menghasilkan penjualan lebih dari 1,2 juta yen, dan ini membawa secercah harapan. Sejak itu, yuzu sering ikut dalam pameran dagang.
Kalau hanya digunakan untuk bahan memasak,  penjualan yuzu pasti akan sulit berkembang. Apalagi produksinya terus berlimpah. Lalu,  dikembangkan cara agar yuzu dapat diolah menjadi bahan utama bermacam produk.  Misalnya, menjadi minuman ringan, campuran air untuk mandi, rempah-rempah, parfum, hand & body lotion, shower gel dan sebagainya. Berkat kerja keras, impian itu akhirnya menjadi kenyataan. Tercatat, angka penjualan produk olahan yuzu semakin meningkat. Pada Desember 2000 mencapai 2,57 milyar yen. “Kami ingat, pada awalnya betapa kewalahan  menjual yuzu. Sekarang yang terjadi adalah mulai kekurangan bahan baku. Perlu diambil langkah untuk menambah bahan baku, kemudian mengembangkan produk baru,” ujar pegawai pabrik pengolahan yuzu.
Disebutkan, bertanam yuzu tidak menggunakan pestisida yang mengandung zat-zat beracun yang dapat membahayakan kesehatan. Lalu, apa yang dilakukan ketika hama dan jamur perusak menyerang? Mereka mengatasinya dengan bahan-bahan organik ramah lingkungan. Kulit yuzu yang diserang penyakit tampak bercak-bercak hitam. Penampilannya menjadi tidak menarik. Namun, hal itu tidak menjadi persoalan serius. Di dalam proses pengolahan bisa diatasi dengan baik. Patut dicatat, tidak ada bagian yuzu yang terbuang. Termasuk kulitnya bisa dimanfaatkan. Bagaimana harga yuzu? Sekitar Rp. 12.000 per kg. Ah, andai sepertiga saja dari nilai itu harga jeruk Brastagi, betapa petani-petani  kita akan makmur.
Pada tahun ke-35 sejak industri yuzu, konsumen semakin terkesan. Orientasi bisnis pun difokuskan pada mutu. Mengejar target penjualan memang penting, tapi diputuskan untuk tidak mengutamakannya. Dikatakan, sekadar mengejar target penjualan pasti ada lubang perangkapnya. “Paling penting adalah agar penggemar yuzu dari Umajimura yang telah membesarkan kami merasa puas. Kalau kami tidak peka pada konsumen, kami akan dilupakan,” ujar pimpinan pabrik pengolahan yuzu. Dalam hal pemasaran, baik melalui penampilan kemasan, poster, pamflet, maupun iklan di televisi  selalu pula diperbaharui agar tetap memikat konsumen.
Yuzu mirip jeruk citroen yang banyak tumbuh di negeri kita. Rasanya kecut dan asam. Untuk mengkonsumsinya harus diolah lebih dulu. Menurutku, yuzu tidak punya keistimewaan khusus dibandingkan dengan berbagai jenis jeruk kita. Begitupun, yuzu telah  mengubah banyak petani Jepang menjadi lebih makmur.
Lalu, bagaimana dengan jeruk kita? Sejauh mana kita sudah melakukan riset terhadapnya? Bermacam jenis jeruk yang tumbuh subur di negeri ini sebenarnya bisa juga dimanfaatkan seperti yuzu dari Umajimura untuk meningkatkan perekonomian para petani kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar