Selasa, 07 Juni 2011

Aku, Rembulan, dan Kupu-kupu

Dua hari sebelum terbang ke Beijing, aku mendapat informasi dari tour leader  bahwa suhu di bagian utara China saat ini sekitar minus sepuluh sampai minus duapuluh derajat Celsius. Aku diingatkan untuk membawa pakaian, jaket tebal, sarung tangan, penutup kepala, dan berbagai perlengkapan musim dingin.
“Dinginnya luar biasa, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya,” katanya.
Bisa kubayangkan betapa dinginnya di sana pada saat ini. Ya, aku pernah dapat beasiswa belajar tentang pertanian dan usaha kecil menengah dari Japan International Cooperation Agency. Tinggal di Tokyo pada musim dingin selama tiga bulan. Waktu itu, suhu rata-rata antara nol dan lima derajat Celsius. Dinginnya bisa membuatku beku. Apalagi minus sepuluh bahkan duapuluh derajat Celsius.
Kubuka facebook di Blackberry. Kutulis sebuah status:
Kabar dari jauh datang senja ini. Ya, aku akan menelusuri jejak-jejak sejarah di utara. Beijing-Hangzhou-Suzhou-Zhouzuang-Nanjing-Shanghai-Hong Kong. O, betapa rinduku menulis impian di sana. Membayangkan duduk bersamanya.  Ketika salju membisu di atap kelenteng tua.”
Ada komen masuk. Dari Kupu-kupu Indah: “Hai, uncle, jadi perginya, ya? Selamat jalan, uncle! Gbu!”
Trims kupu-kupu cantik! Gbu too!” balasku.
Umm, oleh-olehnya, uncle, hehe....!”
OK, kawan.”
Senin, 28 Desember. Aku terbang dengan pesawat Cathay Pacific dari bandara Kuala Lumpur ke Hong Kong. Setelah tiga setengah jam mengudara, pesawat mendarat di bandara Hong Kong. Transit di sini. Pukul 14.26, aku melanjutkan penerbangan dengan  Dragonair. Monitor di bangku pesawat menunjukkan jarak Hong Kong-Beijing 1.238 miles (1.992 km). Kubayangkan betapa membosankan berada di pesawat.  
Kulirik arloji di lengan kiriku. Pukul 17.17 waktu Tiongkok.  Sudah sore, pikirku. Kulihat monitor yang terletak di kursi pesawat. Beberapa menit lagi  pesawat akan mendarat di bandara internasional Beijing. Ini merupakan kunjungan pertamaku ke ibukota Tiongkok. Ah, betapa sudah tak sabar aku ingin mendatangi The Great Wall dan Istana Tiananmen. Impianku akan menjadi kenyataan!
Kusibak sedikit tirai jendela. Mengintip ke luar. Langit tampak gelap. Rupanya hari sudah malam.  Ah, aku baru sadar,  pada musim dingin tentu saja malam lebih panjang dibanding dengan siang. Lalu, terdengar pilot pesawat mengumumkan bahwa cuaca di luar saat ini minus sepuluh derajat Celsius.
Pesawat pun mendarat dengan mulus. Aku sudah menyiapkan empat lapis pakaian, penutup kepala, dan sarung tangan. Aku pikir, persiapanku sudah cukup untuk menahan dingin. Namun, saat turun dari bus, udara dingin terasa amat menusuk. Dalam beberapa menit saja, ujung jari tangan dan kaki seperti mati rasa, hidung meler, mata berair, dan kuping terasa perih. Wah! Dinginnya sungguh di luar dugaanku. Aku pun berlari tergopoh-gopoh memasuki pertokoan yang memasang penghangat.
Sementara, teman-teman asyik membeli perlengkapan musim dingin yang murah meriah, mataku tak berkedip memandang ke balik dinding kaca di seberang jalan pada pohon natal yang tinggi dan besar bercahaya indah di tengah-tengah pusat perbelanjaan modern. Dan satu hal lagi yang mencuri perhatianku adalah hampir semua pertokoan menampilkan pernik-pernik natal: merry chrismas, sinterklas, lonceng-lonceng kecil,  salju-salju. Bisa dikatakan suasana natal justru lebih ramai kelihatan di China ketimbang Indonesia. Hatiku pun terusik: bukankah China masih menganut ideologi komunis? Apakah sebagian besar dari 1,3 milyar jiwa yang tinggal di negeri ini sudah  bertobat?
Keesokan harinya, dengan penasaran aku bertanya pada Wang, pemandu wisata lokal, “Apakah agama Anda?”
“Aku tidak punya agama,” katanya.
Lalu, dia tertawa. Berusaha menunjukkan sikap ramah seperti umumnya pemandu wisata di mana pun kulihat. Aku teringat sewaktu berkunjung ke Shanghai pada musim gugur setahun silam. Pertanyaan yang sama kuajukan kepada  seorang pemandu wisata di Shanghai. Dia adalah seorang perempuan yang fasih berbahasa Inggris, yang aku taksir usianya seperti baru lulus dari perguruan tinggi. Jawabannya waktu itu, “No religion….” Tidak ada agama!
Wang mengatakan, hampir semua penduduk di China tidak punya agama. “Memang di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai, aku lihat orang-orang muda sudah banyak juga yang memeluk agama Kristen.
“Apakah Anda percaya bahwa Tuhan itu ada?” tanyaku.
“Ngga tahu, ya….” jawabnya. “Kalaupun Tuhan itu ada… aku pikir, kalau kita selalu berbuat baik, Tuhan pasti senang….
“Setiap manusia pasti sering mengalami penderitaan yang membuat jiwanya susah. Manusia pasti memerlukan pertolongan. Mungkin bukan dalam bentuk materi semata. Kebanyakan orang beragama, meminta bantuan kepada Tuhan. Kalau Anda mengalami semacam itu, apakah yang Anda lakukan?”
“Aku tidak meminta bantuan dari Tuhan.  Kalau susah, aku pikir, semua orang juga pasti mengalaminya.”
“Kalau kita mati… apakah yang Anda bayangkan? Ke mana kita?
“Aku pikir, kalau selama di dunia kita menjadi orang baik, di dunia sana juga kita menjadi orang baik.”
“Kalau menjadi orang jahat?”
“Nanti balik lagi ke dunia ini, menjadi binatang….”
Pepatah kuno mengatakan, seratus kali mendengar, tidak lebih baik dari sekali melihat. Mungkin kita sudah mendengar lebih seratus kali tentang China. Gambaranku selama ini tentang Tiongkok adalah seperti dalam film-film silat. Atau, seperti yang di tulis dalam novel-novel termasyhur karya Pearl S Buck (1892-1973), yang pernah tinggal lama di sana. Yakni, sebuah negeri tua yang terdiri dari rumah-rumah kuno; klenteng-klenteng tua di tepi sungai Yangtze yang mengalir tenang; orang-orang yang lalu lalang dengan baju-baju Tiongkok dengan rambut panjang dikuncir; pasar tradisional yang ramai dan semrawut.
Ternyata aku keliru. Pembangunan di negeri tirai bambu luar biasa. China seperti naga raksasa yang sedang bangkit dari tidurnya yang panjang. Untuk memahami negeri besar itu dalam seminggu perjalanan, tentu ibarat upaya keras si buta menceritakan tentang gajah.
Kulihat orang-orang berjejalan di jalan. Melihat penampilannya agaknya tak kalah dengan orang-orang Jepang yang pernah aku lihat di berbagai pusat keramaian di Tokyo. Perekonomian China  saat ini memang tak tertandingi.

1 komentar:

  1. Blog yang menarik, semoga terus maju .... Saya juga penggemar Pearl S. Buck, ia menulis di The Good earth: ‘Namun mereka akan kelaparan kalau tanaman kelaparan.” Benarlah bahwa hidup mereka begitu tergantung pada tanah."

    Saya mencoba menulis blog tentang dia , semoga anda suka; http://stenote-berkata.blogspot.com/2019/01/wawancara-dengan-pearl.html

    BalasHapus