Jumat, 20 Mei 2011

Kasih Allah

Catatan: artikel ini dimuat di majalah Maranatha

            Hidup di bumi ini sering membuat kita minder dan tak berpengharapan. Terlebih bagi sesama kita yang hidup dalam kemiskinan, yang sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok saja sulit diperoleh. Namun, Alkitab mengingatkan, “Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah, dan memang kita adalah anak-anak Allah….” (1 Yohanes 3:1).  
Kasih Allah adalah agape. Kasih yang rela berkorban diri; kasih tanpa pamrih.  “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yohanes 15:13). Yesus telah menyerahkan nyawa-Nya sendiri sebagai tebusan bagi kita yang berasal dari debu tanah sehingga dilayakkan menjadi anak-anak Allah.
Sebagai pengikut Yesus, Alkitab mengingatkan pula hak istimewa kita: “jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah (Galatia 4:7).
Ahli waris selalu mengingatkan kita pada hak warisan yang akan kita terima. Majalah Forbes, seperti dikutip Kompas (17 Maret 2008), menobatkan investor kawakan Wall Street, Warren Buffet (77)  sebagai orang terkaya di bumi saat ini. Ia memiliki kekayaan bersih  62 milyar dollar AS (Rp 570 triliun). Jika kekayaannya didepositokan dengan bunga 5 persen saja per tahun, maka dihasilkan sekitar Rp 80 milyar per hari! Bayangkan saja, kalau kita diangkat menjadi ahli warisnya. Wow! Betapa senang dan kayanya kita.
Dan bukankah menjadi ahli waris Allah Bapa kita jauh lebih penting dan mulia? Anggap saja seluruh kekayaan di bumi ini milik manusia, ternyata itu tak seberapa dibandingkan dengan kekayaan-Nya. Lihat saja bintang-bintang yang bertaburan di alam semesta. Dalam satu galaksi Bimasakti di mana kita tinggal bersama bulan, dan planet-planet lainnya, terdapat milyaran bintang. Bimasakti adalah satu di antara milyaran galaksi, di mana setiap galaksi memiliki milyaran bintang pula. Ah, betapa kecilnya bumi di antara milyaran bintang, sebab bintang terkecil adalah  Matahari yang ukurannya lebih seratus kali dari Bumi. Bayangkan pula ukuran manusia di antara bintang-bintang. Betapa kecilnya kita, seperti debu. Dalam perspektif ini, kita bisa membayangkan kekaguman Daud kepada Bapa-Nya, “Jika aku melihat langit-Mu buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: apakah anak manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya?” (Mazmur 8: 4-5).
Bisa pula disebut kekayaan Bapa kita: creatio ex nihilo (menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada). Allah menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah melakukan banyak mukjizat. Kalau Allah yang bertahta di Kerajaan Surga itu sebagai pemilik alam semesta, menciptakan dari yang tidak ada menjadi ada, dan penguasa atas semuanya, bukankah sungguh tak terhingga kekayaan-Nya?
Sebagai anak Allah dan ahli waris-Nya, Alkitab juga menyatakan kita memiliki kewargaan baru, “Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga, dan  dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juru Selamat” (Filipi 3:20). Kewarganegaraan adalah identitas penting. Bahkan pada zaman Romawi, setiap orang bangga menyandang kewarganegaraannya. Penafsir Alkitab terkenal William Barclay (1907-1978) dalam buku Ambassador for Christ: the Life and Teaching Paul menulis, menjadi warga negara Romawi berarti mendapat hak-hak istimewa. Tidak sembarang orang bisa menjadi warga negara terhormat. Kepala pasukan Romawi mengatakan, “Kewarganegaraan itu kubeli dengan harga yang mahal” (Kisah Para Rasul 22:28). Adapun Rasul Paulus, dilahirkan di Tarsus (sekarang Turki), yang dulu bagian dari wilayah Romawi, mendapatkan hak kewarganegaraannya karena status kelahirannya. Ia punya pengalaman-pengalaman pahit ketika memberitakan Injil, tapi kemudian dibebaskan oleh status kewarganegaraannya.  (Kisah Para Rasul 16:37-39). Pada zaman modern ini, kecuali kita memiliki kelebihan, misalnya seperti Albert Einstein yang jenius diundang untuk menjadi warga AS dengan perayaan pesta meriah yang diadakan oleh pemerintah negeri adidaya itu, rasanya sulit sekali untuk mendapatkan warga negara terhormat dunia.   
Kita disebut sebagai anak Allah, ahli waris-Nya, dan warga Kerajaan Surga bukan karena hasil usaha kita atau kelebihan kita, melainkan berkat kasih karunia Allah yang diberikan dengan cuma-cuma. Namun ingatlah, status mulia itu kita miliki  bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan harga yang tak ternilai, yakni darah Kristus (1 Petrus 1:19). Kita mungkin bertanya-tanya, kalau kita memang disebut anak Allah, ahli waris-Nya, dan warga Kerajaan Sorga, tapi kenapa hidup ini  semakin sulit? Apa arti semua status itu bagi kita?
Ingatlah, harta tidak menjamin kebahagiaan sejati. Alkitab menulis tentang orang kaya yang begitu susah hatinya justru karena banyaknya hartanya (Markus 10:22). Apa gunanya kita memperoleh seluruh kekayaan dunia tetapi kehilangan nyawa? Tanpa bermaksud meremehkan penderitaan kita, terlebih bagi sesama kita yang hidup dalam kemiskinan, kita patut senantiasa merenungkan kehidupan Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipetahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib” (Filipi 2:6-8).
Kesulitan yang kita hadapi belumlah apa-apa dibandingkan dengan penderitaan-Nya. Penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita (Roma 8:18). Bersama Yesus ada masa depan gemilang. Itulah satu-satunya pengharapan yang kita miliki sehingga kita bisa menanggung perkara apapun (Filipi 4:13). Terpujilah Tuhan! Karena kasih Allah Bapa-lah, kita yang beriman di dalam Kristus Yesus dilayakkan tinggal di Kerajaan Surga. Kiranya  anugerah akan masa depan yang kekal membuat kita semakin giat bekerja di ladang-Nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar