Catatan: cerpen ini dimuat di majalah Anita Cemerlang, 28 Januari 1991. Edisi ke-360.
Aku berteriak begitu mataku menangkap sosok Rachel.
“Rachel...!”
Gadis itu menoleh. Seperti ragu-ragu memandangku. Lalu, senyumnya pun mengembang.
“Hai, Robert Salemba!” teriaknya sambil melambaikan tangan.
Kubetulkan letak ransel di bahu. Lalu, berlari kecil menghampirinya.
“Mau balik ke Cirebon, ya?” tanyaku begitu tiba di hadapannya.
Gadis itu tersenyum. “Benar. Seratus buat kamu.”
Aku tertawa. Kapan saja bertemu dia memang selalu menyenangkan.
“Tampaknya sudah rindu pada ayah bunda, nih.”
“Seratus lagi buat kamu.”
“Pasti juga sudah rindu pada si dia yang jauh di sana.”
Gadis itu tersipu malu.
“Nilaimu dikurangi seratus,” ujarnya.
Aku terbahak. Lucu.
“Kok dikurangi?”
“Jawabanmu ngawur, sih.”
“Ooo, kamu sudah putus sama pacarmu, toh?”
Aih, kali ini kulihat dia mulai cemberut.
“Nilaimu dikurangi lagi seratus.”
“Eh, kalau gitu kamu belum punya pacar, dong?”
Wajah gadis itu bersemu merah. Wih, kelihatan sekali pemalunya. Namun, alangkah manisnya dia begitu.
“Liburan ini mau kugunakan untuk berkelana keliling Jawa,” ujarku bangga. “Kalau bisa sih, terus ke Bali.”
Bola matanya membulat.
“Menyenangkan sekali!”
“Ya, kira-kira begitulah.”
Kurasakan bahuku sudah agak penat. Ransel kuturunkan.
“Yuk, kita ke kantin dulu! Kamu juga sudah haus, kan?”
Kutarik lengannya tanpa lebih dulu mendengar jawabannya. Sembari melangkah mataku mengitari suasana stasiun. Belum begitu ramai.
“Menurut kamu tujuanku ke mana dulu, ya?” tanyaku begitu minuman tersedia di meja.
Ragu-ragu dia memandangku.
“Ke Cirebon saja, deh,” senyumnya. “Supaya ada temanku di jalan. Lagi pula kan katanya di sana kamu punya tante.”
“Cirebon sunyi,” jawabku.
“Sunyi atau tidak tergantung dari suasana hati. Bisa saja seseorang berada di tempat ramai, tapi hatinya merasa sunyi. Sebaliknya, dia berada di tempat sunyi, tapi hatinya merasa ramai. Ya, bukankah begitu?”
Aku tertawa.
“Oke deh, kalau begitu aku ke Cirebon saja.”
Matanya memandangku seolah tak percaya.
“Sungguh?”
Aku mengangguk serius.
“Namun, kamu yang akan bertanggung jawab sekiranya badanku bau udang,” ujarku bercanda.
Gadis itu tertawa. Sementara aku tersenyum-senyum sambil mengaduk-aduk air jeruk dingin. Kusedot sampai habis. Lalu, mengeluarkan dompet, dan mengambil uang… tapi, tiba-tiba, slip! Ada sesuatu yang melayang ke lantai. Hah!? Aku terkejut, lalu buru-buru memungutnya, tapi aku kalah cepat.
“Eh, jangan lihat!” teriakku tertahan.
“Foto pacarmu, ya?”
Astaga! Wajahku merah padam. Aku tertunduk, rasanya tidak berani lagi memandang wajahnya yang tiba-tiba bersemu merah itu. Aku berusaha menguasai diriku. Kutarik napas dalam-dalam.
“Foto itu kutemukan tergeletak di kelas Ruang 6,” jelasku dengan suara gemetar. “Maaf, aku sampai lupa mengembalikannya.”
Kembali dipandanginya foto ukuran 2x3 cm itu. Dia sedang tersenyum manis di sana.
“Pantas kucari-cari di buku harian tidak ada. Kok bisa jatuh, ya?”
“Sini deh, biar aku saja yang nyimpan!”
“Jangan ah! Lagi buat apa kamu nyimpan fotoku?”
“Ya, untuk dilihat-lihat.”
“Ih, kamu aneh.”
“Lho, kok aneh?”
“Foto begini aja dilihat-lihat.”
“Memangnya kenapa?”
“Ngga apa-apa.”
“Nah, kalau ngga apa-apa, sini dong!”
Gadis pemalu itu menggeleng. Namun, aku segera menjamah tangannya. Dan mengambil foto itu. Senyum nona manis yang ada di foto itu kubalas.
“Dia selalu mendatangkan inspirasiku,” tunjukku pada foto itu.
Kali ini, gadis itu benar-benar kulihat tertunduk. Ah, makin suka saja aku padanya.
***
Di Cirebon kami tiba menjelang senja.
“Jadi benar, kamu tidak usah aku antarkan?” sekali lagi gadis itu bertanya padaku dengan wajah serius. Ya, aku memang baru pertama kali menginjakkan kaki di kota udang ini.
“Nyombong nih yeee… mentang-mentang anak sini, boleh deh kamu begitu. Kan ngga lucu, cewek nganterin cowok?”
Tawanya berderai lagi.
“Bukan apa-apa. Soalnya aku takut kamu nanti hilang di jalan. Kan aku juga nanti yang repot.”
Wih, keki juga digodain begitu.
“Besok pagi jangan lupa!” aku mengingatkannya ketika angkutan kota berhenti di depan kami. Setelah gadis itu menghilang, aku memanggil becak. Menurut Rachel, dari stasiun kereta api Cirebon ke alamat rumah yang kutuju, tidak begitu jauh. Dan memang benar. Hanya sekitar 15 menit aku sudah tiba.
Di gerbang, tante, adik mama yang paling muda itu, langsung ngomel-ngomel begitu kujelaskan siapa diriku padanya.
“Minta ampun!” desisnya. “Sudah segede ini baru datang. Sampai tante kirain kamu ini bandit.”
“Wah, orang seganteng ini mana mungkin jadi bandit, Tante,” ujarku.
“Abangmu yang di Ekonomi Undip itu juga, sekali pun tak pernah datang,” ujar tante geleng-geleng kepala.
“Mungkin lagi sibuk ngurusi skripsinya, Tante,” jelasku. “Oh ya, Tante, tadi dari Jakarta aku berdua dengan Rachel, adik kelasku. Cakep, lho, Tante. Dia anak sini. Apa Tante mengenal Rachel?”
“Rachel?” Tante sejenak berpikir.
Aku mengangguk. “Ya, namanya Rachel.”
Tante seperti masih berpikir. Ah, pasti tante tidak mengenalnya.
Tiba-tiba, seseorang muncul dari balik pintu. Ooo, cantik sekali! Agi Kakana? Aku berseru dalam hati. Wah, sudah segitu gedenya?
“Dia Agi Kakana?” tunjukku seperti tak percaya.
“Pertanyaan anak bodoh!” Tante menyindir. “Sampai adikmu sendiri pun tak kenal lagi.”
Ah, tante sama saja seperti mama. Suka cerewet. Bagaimana mungkin aku bisa mengenalnya lagi? Bayangkan saja, sudah hampir sepuluh tahun tante meninggalkan kota Medan mengikuti suaminya yang pindah tugas ke Cirebon. Sedang Agi Kakana dulu masih bocah, belum ketahuan cantiknya. Lagi, cowok mana sih yang suka ngelirik-ngelirik cewek kecil yang ke mana-mana selalu gendong boneka? Dan siapa sangka, kalau sekarang jadi cantik molek begitu? Wah, wah, alangkah cepat waktu berlalu…!
Nona molek itu ragu-ragu memandangku. Siapa ya? Di mana pernah aku lihat, ya? Mungkin begitu matanya yang bulat jernih itu bertanya-tanya.
Namun, aku tak peduli. Segera kudekati dia. Kuacak-acak rambutnya yang lurus tergerai di bahunya itu. Rambutnya baru habis dikeramas. Sungguh, aku begitu gemas melihatnya. Wah, nyesal juga selama empat tahun di Ekonomi UI tak pernah datang melihat “barang antik” ini. He, he!
Setelah memporak-porandakan rambutnya yang sewangi kenanga itu, aku pun masuk kamar. Biarkan saja gadis itu bertanya pada mamanya aku ini siapa. Sungguh, badanku sudah begitu penat rasanya.
***
Malam menjelang tidur. Aku teringat Bonar Rajagukguk. Cowok Batak itulah sebenarnya yang mengilhamiku suatu saat bisa bertualang di kota udang ini. Jasanya padaku sungguh tak ternilai. Di samping dalam waktu dekat ini aku akan menangkap “buruanku”, aku juga telah bertemu dengan keluarga tante yang sudah bertahun-tahun tak kulihat.
Kucium lagi dengan mesra foto copian yang ada di tanganku. Namun, hih, kembali aku ngeri membayangkan tragedi apa yang bakal terjadi bila Rachel kemudian tahu bahwa buku hariannya pernah dikerjai orang. Ini semua, Bonar Rajagukguk pelakunya…!
Sekarang kutatap foto gadis lembut itu. Dan samar-samar suara Bonar terngiang-ngiang di telingaku.
“Aku tidak sempat mengembalikan fotonya yang terjatuh itu,” cemasnya. “Aku melihat dari jendela tiba-tiba dia datang sedang menuju kelas. Benar-benar foto sialan!”
“Hush!” Aku membentaknya. “Kamu sendiri apa-apaan membaca buku harian orang dan memfotocopinya?!”
“Bah! Sialan kamu! Sudah capek menolongmu malah ngatain aku macam-macam!”
“Tapi, bukan begitu caranya. Pakai adat sedikit, dong!”
Hmmm. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum membayangkan kecemasan Bonar itu. Dasar Bonar Rajagukguk! Kesetiakawanannya memang luar biasa, tapi caranya itu… bah!
Tulisan Rachel di fotocopian begitu rapi. Aku merasakan ada ketulusan yang dalam dari hatinya. Rangkaian kata-katanya memikat hatiku. Betapa puitisnya.
Hari ini ulang tahunku yang ke-19. Seorang cowok datang ke rumah membawa sebuah puisi untukku. Judulnya Puisi buat Rachel. Ah, romantis sekali. Namun, aku heran. Sebenarnya ulang tahunku ini tidak dirayakan. Aku tidak tahu bagaimana dia mendapatkan data kelahiranku sehingga malam itu dia datang tanpa pernah kuduga sebelumnya.
“Aku tidak punya apa-apa,” ujarnya. “Tapi, hanya ini. Hanya sebuah puisi. Semoga kamu suka….”
Aku mengangguk.
“Terima kasih,” ujarku.
Hatiku begitu terharu. Di ibukota yang serba sibuk dan hangar-bingar ini ternyata masih ada yang mengingat hari bersejarahku.
Dia segera pulang. Ah, alangkah cepatnya. Padahal aku ingin sekali dia menemaniku bertukar cerita. Bukankah dia pandai mengarang? Aku pun menangkap kesan, dia tidak sedang terburu-buru untuk aktivitas lain. Namun, entah kenapa, hati ini tak kuasa menahannya. Ternyata, aku sama saja seperti dia. Sama-sama pemalu. Aku pun melamun di kamar. Walau sendiri, tapi hatiku bahagia. Berulang kali puisi itu kubaca.
Remang-remang di ruang tamumu
Seribu cawan terangkat
Ah, alangkah nikmat
Meneguk anggur sebelum berdansa
Ayo, cepatlah tiup
Nona yang melahirkan inspirasiku
Lilin-lilin di meja cendana
Aku ingin kita turun
Seperti mereka
Hmmm. Gadis itu mengaku seorang pemalu. Namun, apakah benar aku juga seorang pemalu? Aku jadi geli. Lalu, bagaimanakah kalau dua orang pemalu diam-diam saling jatuh hati…? Pasti lebih banyak merananya ketimbang manisnya. Sebab, cinta itu terpendam terus. Bisa jadi suatu saat lenyap tiada menentu. Nah, karena itulah nona manis, aku datang memburumu.
***
Tok, tok, tok!
Ada yang mengetuk pintu kamar. Kulirik jam di lengan kiriku. Hampir pukul tujuh. Hop! Aku melompat dari pembaringan. Kubuka pintu. Ada Agi Kakana.
“Heh, kamu ternyata, anak manis,” ujarku.
“Ada tamu, tuh,” katanya.
“Siapa?”
“Cewek.”
Pasti Rachel, seruku gembira dalam hati.
“Cakep ngga?” tanyaku lagi. “Kalau ngga cakep suruh pulang aja, deh!”
“Ayo, ah! Kasihan tuh, sudah lama nungguin.”
“Jawab dulu dong! Cakep ngga?”
“Cakeeep banget!”
Aku tertawa.
“Ssst… sini!” bisikku sambil menarik lengannya. “Dia calon kakakmu. Ayo, temani dulu dia. Aku mandi dulu, ya…!” Aku pun mengambil handuk.
Seusai mandi, kudapati Rachel asyik ngobrol dengan Agi Kakana. Sementara oom dan tante belum pulang dari lari pagi. Kami segera ke luar.
“Itu tadi Agi Kakana,” jelasku pada Rachel. “Dia anak tunggal tante. Eh, ngomong-ngomong, kita ke mana, nih?”
“Kita jalan santai aja, ya,” ajaknya.
Aku mengikuti langkahnya. Hmmm, udara pagi ini sejuk sekali. Aku menebarkan pandangan. Pohon-pohon yang rindang tumbuh di sepanjang jalan. Burung-burung berkicau merdu.
“Kapan ngelanjutin petualanganmu lagi?” suara gadis itu membuyarkan lamunanku.
Aku menarik napas.
“Belum tahu pasti,” jawabku. “Aneh, rasanya aku jadi betah berlama-lama di sini.”
“Kenapa?” tanyanya heran.
Aku mengangkat bahu.
“Mungkin lagi dapat ilham untuk nulis cerita dengan latar belakang Cirebon, ya?”
Aku menggeleng.
“Lalu?”
“Lalu, selesai liburan semester ini aku pulang ke Jakarta. Kamu juga pulang, kan?”
“Kamu ini aneh.”
“Kok aneh?”
“Kamu pasti cepat bosan di sini.”
“Kalau bosan, tentu saja aku segera pulang. Kupikir, aku tidak akan bosan.”
Kami menyeberang. Melangkah lagi menelusuri sepanjang jalan yang amat teduh. Lalu membelok ke kiri.
“Percaya, deh! Kamu pasti cepat bosan,” nasehatnya lagi.
“Kalau begitu doakan, dong, supaya betah,” suruhku.
“Percuma doain kamu. Kamu orangnya kan suka berpetualang. Apa masih belum sadar juga?”
“Namun, belakangan ini aku ngga suka lagi bepergian,” jelasku. “Tahu ngga apa sebabnya?”
“Enggak.”
Aku tidak segera menjawabnya. Kuingat buku harian itu.
“Kok jadi diam?”
Aku menarik napas.
“Kamu yang membuat aku betah di sini. Sebenarnya aku tidak pernah punya rencana keliling Jawa selain Cirebon, kota kelahiranmu. Ya, aku pikir di sini amat menyenangkan… karena ada kamu.”
“Jadi….”
“Jadi, selama ini aku membohongi kamu,” potongku. “Kemarin di stasiun Gambir aku bersembunyi, menunggu kamu. Jadi, pertemuan kita itu bukan secara kebetulan.”
“Untuk apa kamu lakukan itu semua?”
“Untuk bisa selalu bertemu kamu,” jawabku. “Dua bulan liburan rasanya terlalu lama berpisah dengan kamu.”
Dia tertunduk. Namun, tiba-tiba dicubitnya lenganku dengan keras.
“Ih, kamu jahat! Kamu curang!”
Aku menangkap lengannya.
“Kamu cakep. Kamu manis. Kamu membuat aku terpaksa lama tinggal di sini. Karena itu kamu juga harus bertanggung jawab kalau badanku nanti bau udang….”
“Siapa suruh datang ke mari?”
“Ooo, kamu, kamu yang nyuruh. Ingat kan waktu kemarin di Gambir?”
Lenganku dicubitnya lagi. Ow, sakitnya minta ampun!
“Kalau kamu cubit lagi, aku segera pulang!” ancamku.
“Biarin! Pulang aja sekarang!”
Aku tak berkata apa-apa. Kalau pulang, aku akan kesepian. Lalu, aku memandangnya. Seketika dia tertunduk. Ah, alangkah manisnya dia. Alangkah makin suka aku padanya. Tanpa ragu-ragu aku meraih lengannya. Kubawa dia ke ujung jalan sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar