Catatan: Tulisan ini bertajuk Sekolah Masa Depan: Kenangan dan Harapan untuk SMA Immanuel Medan, dimuat di harian Sinar Indonesia Baru, 7 Juli 2003
Ketika belajar di Jepang |
Ketika melintas di bawah pepohonan rimbun pada sebuah jalan di Penang, Malaysia, guide tour yang memandu perjalanan kami, menunjuk ke gedung tua yang berdiri kokoh di atas halaman rumput yang luas. “Itu bekas sekolah saya. Kami dulu menggunakan English sebagai bahasa pengantar,” ujarnya bangga.
Tentu saja, sahabat dari negeri jiran itu tidak bermaksud pamer. Diam-diam aku pun merasa kagum melihat bangunan tua itu. Mungkin sudah ratusan tahun usianya tapi kelihatan sangat terawat. Di negeri kita gedung-gedung kuno dibiarkan tak terurus (lihatlah, apa yang terjadi dengan istana Maimun di Medan). Atau lenyap satu demi satu ditelan waktu digantikan gedung-gedung seperti susunan kotak korek api. Peninggalan-peninggalan masa silam yang merupakan saksi-saksi bisu dalam mengungkap proses panjang sejarah negeri kita, sudah begitu langka.
Aku pun terkenang bekas sekolah tercinta, SMA Immanuel Medan. Dalam hal “pamer” sekolah, sebenarnya aku juga sering melakukannya kepada siapa saja bila melintas di sepanjang jalan Slamet Riadi-Jendral Sudirman. Ya, aku bangga sekali pernah bersekolah di sana. Dan aku tahu, banyak sekali pelajar ingin sekolah di sana.
Aku pun terkenang bekas sekolah tercinta, SMA Immanuel Medan. Dalam hal “pamer” sekolah, sebenarnya aku juga sering melakukannya kepada siapa saja bila melintas di sepanjang jalan Slamet Riadi-Jendral Sudirman. Ya, aku bangga sekali pernah bersekolah di sana. Dan aku tahu, banyak sekali pelajar ingin sekolah di sana.
Bagiku, menuntut ilmu di Immanuel merupakan satu perjuangan yang tak pernah terlupakan. Usai SMP (1981), aku memutuskan sendiri untuk melanjutkan sekolah di sana. Aku tidak perlu meminta pertimbangan dari siapapun. Bapak pasti keberatan kalau aku beri tahu biaya pendaftarannya. Aku takut dianggap macam-macam saja. Lalu, dari mana aku memperoleh biayanya? Aku beruntung, aku dapat hadiah dari Tabanas sebesar Rp 1 juta setahun sebelum masuk SMA. Uang itulah aku gunakan untuk biaya pendaftaran.
Waktu itu aku sangat terpengaruh pesan Bung Karno yang tertulis dalam buku tulis, “Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit!”. Sebagai anak remaja, aku sudah punya impian, yakni kuliah di perguruan tinggi ternama di negeri ini, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia! Pada waktu itu, betapa heboh rasanya melihat orang-orang yang berhasil masuk perguruan tinggi negeri (PTN) bergengsi seperti UI, ITB, UGM, dan UNPAD. Nama kita pun terkenal karena bagi yang lulus diumumkan di koran-koran. Banyak pula yang bilang, lulusan UI gampang cari kerja! Jadi, siapa tidak ingin kuliah di sana?
Tentu aku sadar, jalan yang akan ditempuh tidaklah mudah. Bayangkan, betapa berat kompetisi yang harus dihadapi ribuan pelajar untuk mendapat sedikit kursi yang tersedia. Mereka yang punya cita-cita “setinggi bintang di langit”, pastilah jauh-jauh hari sudah mempersiapkan diri.
Aku pun menggunakan strategi yang muncul dari diri sendiri. Aku harus mencari sekolah bermutu, tempat aku dilatih untuk menghadapi ujian-ujian berat. Oleh karena itulah, aku pilih Immanuel. Kenapa di sana? Informasi yang aku peroleh dari mulut ke mulut: sekolah itu adalah sekolah anak-anak orang kaya, pintar-pintar, dan memiliki disiplin tinggi. Betapa sempurna, pikirku waktu itu. Sudah kaya, pintar, disiplin lagi. Aku selalu berkata keras kepada diri aku: jangan sampai menjadi orang yang sudah miskin, bodoh, malas lagi!
Adapun informasi resmi yang kuperoleh dari harian Sinar Indonesia Baru, setiap tahun sekitar 50 persen dari total siswa lulusan SMA Immanuel masuk PTN. Informasi ini penting sekali bagiku. Ini menjadi semacam pendorong semangat bagiku untuk berjuang dalam menggapai cita-cita. Dalam hitunganku, kalau ada seratus murid yang lulus, dan andaikata aku termasuk dalam rangking 50 besar, maka secara statistik aku sudah lulus. Apalagi kalau aku masuk ranking sepuluh besar!
Bagiku, Immanuel adalah “The Real School”. Sekolah yang benar-benar aku impikan. Mula-mula aku heran menyaksikan penampilan guru-guru berdasi, apalagi lengkap dengan kacamatanya. Ya, mirip dengan direktur perusahaan besar. Sungguh berwibawa. Materi-materi pelajaran disampaikan oleh guru-guru berdedikasi tinggi. Sampai sekarang aku ingat, guru Biologi, Bapak Sihombing menyampaikan metode belajar secara mudah. Misalnya, untuk mengingat nama planet-planet secara berurutan dari matahari, sebut saja “mamevebu mayu sauneplu”, yakni singkatan dari Matahari, Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto.
Strategi lain adalah fokus pada pelajaran yang akan diuji di PTN, yakni Matematika, Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan IPS (Ekonomi, Sejarah, Geografi, Pendidikan Moral Pancasila). Secara khusus aku menambah jam belajar untuk keempat pelajaran tersebut. Meminjam istilah Stephen R Covey, dalam buku First Things First, keempat pelajaran itu merupakan kuadran kualitas. “Disinilah kita melakukan perencanaan jangka panjang, mengantisipasi, dan menanggulangi masalah-masalah untuk memperluas cakrawala pikir kita, dan meningkatkan keahlian kita”, tulisnya.
Menurutku, mempelajari seabrek pelajaran lain seperti Olah Raga, Tata Buku, Hitung Dagang, Seni Rupa, Kesenian (belajar baca not-not balok yang selalu membuat kami tertawa), Stenografi, dan Bahasa Jerman adalah …. bukan saja tidak perlu, tapi juga tidak penting! Aku dulu berjanji, tidak akan bersedih kalau ada angka merah dalam salah satu pelajaran tersebut. Visiku jelas: UI. Aku sudah cukup direpotkan dengan pelajaran-pelajaran yang akan diujikan untuk PTN. Kenapa kita mau direpotkan dengan pelajaran-pelajaran lain yang sama sekali tidak diperlukan untuk masuk UI? Kenapa kita harus buang-buang waktu?
Pernah aku berkunjung ke Singapura, dan bertanya kepada seorang anak Medan yang melajutkan studi di sana tentang pelajaran di Indonesia. Jawabannya sungguh mencengangkan. Menurutnya, pelajaran di Indonesia terlalu banyak. Bahkan, orang tuanya yang lulusan Inggris menegaskan, dibandingkan dengan negeri David Beckham, pelajaran di Indonesia terlalu berat sangkin banyaknya. Bayangkan, seorang siswa harus mempelajari banyak pelajaran yang belum tentu diminati.
Aku teringat komentar mantan Perdana Menteri legendaris Inggris, Winston Churchill dalam buku Accelerated Learning for the 21st Century karya Colin Rose dan Malkolm J. Nicol: “Saya mau merayakan ulang tahun ke-12 ketika menghadapi ujian-ujian sekolah yang tidak ramah, yang selama tujuh tahun berikutnya saya diwajibkan menempuh perjalanan itu. Ujian ibarat persidangan besar bagi saya. Subjek-subjek yang disukai para penguji hampir semuanya adalah materi-materi yang tidak saya sukai. Sebenarnya saya lebih suka diuji dalam subjek sejarah, puisi, dan esai. Tetapi, di pihak lain, para penguji lebih suka Bahasa Latin dan Matematika. Dan kehendak merekalah yang berlaku. Terlebih lagi pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan tentang kedua subjek tersebut adalah pertanyaan-pertanyaan yang hampir sama sekali tidak mampu saya jawab dengan memuaskan. Saya sebenarnya lebih suka jika diminta untuk mengatakan apa yang saya ketahui benar-benar, tapi mereka selalu mencoba menanyakan apa yang tidak saya ketahui. Ketika saya bermaksud hendak menunjukkan pengetahuan saya, mereka mencoba mencari-cari dan mengungkap ketidaktahuan saya. Perlakuan semacam itu hanya akan mengakibatkan satu hasil, saya tidak dapat mengerjakan soal-soal ujian dengan baik”.
Colin Rose dan Malcolm J Nicholl menegaskan, “Hampir di mana pun, kegembiraan belajar sering berubah menjadi cercaan kejam. Pembelajaran menjadi disamakan dengan pemerolehan serpihan-serpihan informasi yang diperlukan untuk lulus ujian dan memperoleh gelar. Subjek-subjek pelajaran di sekolah dan perguruan tinggi saling tidak terkait dan terpisah dari dunia nyata. Belajar menjadi beban yang membuat stres.”
Sekarang, setelah mengevaluasi strategiku dalam belajar, aku pikir, itulah cara terbaikku. Perlu aku sampaikan, salah satu strategi siswa-siswa Indonesia yang berhasil merebut perhatian dunia dengan menyabet sejumlah medali dalam Olimpiade Matematika, Kimia, dan Fisika, yakni mereka dikarantina sebelum bertarung ketat, dengan latihan-latihan yang fokus dan dilakukan secara menyenangkan. Bisa kita bayangkan, apa yang terjadi jika dalam latihan itu mereka dijejali dengan pelajaran “gado-gado”?
Oh ya, perlu kusampaikan, kerja kerasku di Immanuel akhirnya membuahkan hasil: aku selalu masuk tiga besar di jurusan IPS, kemudian pada semester V-VI, aku ranking pertama! Aku berbisik dalam diriku, lihatlah aku menjadi juara pertama di sekolah terbaik di Medan.... Aku pun semakin mantap mendaftar ke UI. Demikian pesan guru bahasa Indonesia, Bapak Surbakti yang masih aku ingat, “Lancar kaji karena diulang, pasar jalan karena diturut.” Artinya, “Sesuatu itu menjadi milik kita kalau diulang-ulang melakukannya”. Tersirat dalam pesan itu, menuntut ilmu butuh kesabaran; tidak ada jalur cepat menjadi orang sukses.
Usai ujian masuk PTN, aku pergi ke Semarang. Berlibur di rumah kos abangku yang kuliah di Universitas Diponegoro. Aku pun berpikir, kalau gagal masuk PTN, aku akan ikut bimbingan tes selama setahun. Namun, abangku merasa yakin, aku akan berhasil dalam ujian, minimal masuk Komunikasi Massa USU sebagai pilihan kedua, mengingat hasil tesku sekitar 75 persen dari seluruh soal bisa aku kerjakan dengan benar.
Hasil tes Sipenmaru diumumkan pada Sabtu, 14 Juli 1984. Namun, pada hari itu aku belum tahu apakah berhasil atau tidak. Aku mengikuti ujian di Medan, termasuk rayon Barat, sedangkan Semarang masuk rayon tengah. Aku sempat pergi ke kampus Undip untuk mencari informasi, tapi yang kulihat hanya hasil ujian untuk rayon tengah. Maklum saja, pada waktu itu, informasi tidak secepat sekarang beredar. Abangku pun terpaksa berangkat ke Bandung untuk mencari informasi penting itu.
Keesokan harinya, seusai ibadah, seorang pengurus gereja mengatakan, namaku kayaknya ada tercantum di koran Sinar Harapan (sekarang Suara Pembaruan). Membuat jantungku berdebar-debar. Benarkah? Ah, jangan-jangan dia sedang bercanda, menganggap cita-citaku masuk Ekonomi UI terlalu muluk-muluk? Bukankah dia sendiri mengatakan, “Kayaknya....” Ah, lebih baik jangan langsung percaya dulu, nanti kecewanya bukan main kalau ternyata bukan namaku. Namun, untuk meyakinkanku, dia mengajakku ke rumahnya untuk melihat koran itu. Terlebih dahulu kami mengantarkan keluarganya ke stasiun kereta api, Tawang untuk tujuan Jakarta. Sembari menunggu kereta api berangkat, aku melihat penjaja koran lewat. Aku pun memanggilnya. Dengan tak sabar dan jantung semakin berdebar-debar kencang, aku membuka lembaran koran yang memuat nama-nama yang masuk Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Ya, Tuhan, ternyata ada namaku! Tanganku seketika gemetar, karena aku masih belum begitu yakin, toh banyak yang mirip namanya, bukan? Siapa tahu itu bukan aku? Lalu, aku menoleh ke nomor ujian yang juga dimuat dalam koran itu. Ya, itu nomor ujianku. Aku ingat betul. Cihuy…! Aku lulus! Aku lulus! Tanpa sadar, aku berteriak keras dengan tangan terkepal di peron itu. Orang-orang melihatku. Mereka segera tahu apa yang sedang terjadi. Karena pada saat itu di seantero negeri ini sedang “demam” masuk perguruan tinggi dambaan. Mereka pun mendatangiku, dan menyalamiku. Impianku menjadi kenyataan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar