Bukanlah perkara mudah untuk menjadi orang Kristen sejati. Yesus mengatakan, “Barangsiapa tidak memikul salibnya, dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Lukas 14:27). Memikul salib adalah suatu sikap yang rela menanggung risiko berat untuk menyatakan kebenaran (Yohanes 18:37), dan mengikut Yesus berarti setia mempertahankan kebenaran bahkan sampai ajal tiba. William Barclay (1907-1978), penafsir Alkitab terkenal dalam buku The Gospel of Matthew menulis, “Yesus tidak menginginkan para pengikut-Nya hanya terseret oleh emosi sesaat, semangat mudah berkobar, tapi mudah pula padam. Yesus menghendaki agar para pengikut-Nya benar-benar sadar atas keputusannya untuk mengikut Dia”. Dengan kata lain, ada harga yang harus dibayar untuk menjadi pengikut Kristus.
Meskipun punya kesempatan untuk menghindar dari jalan salib (penderitaan), ternyata Yesus tidak memilih cara itu. Berulang kali Yesus berkata kepada murid-murid-Nya bahwa Ia akan menanggung banyak penderitaan. Ketika Petrus mengatakan bahwa hal itu sekali-kali tidak akan menimpa Dia, maka Yesus pun menghardiknya. Dan satu adegan dramatis yang selalu kita kenang, khususnya pada Jumat Agung adalah peristiwa di taman Getsemani. Ketika itu, segerombolan besar orang bersenjata menangkap-Nya, dan Petrus secara spontan mencabut pedang dan menebas telinga seorang hamba Imam Besar. Bukan segera menghindar dari mereka, Yesus justru menunjukkan belas kasih-Nya: memulihkan telinga orang yang hendak menangkap-Nya, dan menghardik Petrus, murid yang dikasihi-Nya itu agar memasukkan pedangnya. “Atau kau sangka, Aku tidak dapat berseru kepada Bapa-Ku, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?” (Matius 26:53). Lihatlah, Yesus tidak perlu dibela oleh siapapun. Kalau Ia menghendaki, maka lebih dari dua belas pasukan malaikat pasti membantu-Nya. Jika satu pasukan terdiri dari enam ribu prajurit, maka dua belas pasukan malaikat berjumlah 72.000 malaikat. Ingat, satu malaikat saja mampu membunuh 185.000 tentara Asyur dalam satu malam (2 Raja-raja 19:35). Bayangkan, jika 72.000 malaikat turun, apalah arti bantuan seorang murid yang hendak menolong-Nya?
Mereka pun menggiring-Nya ke hadapan Kayafas, Imam Besar itu. Di sana telah berkumpul imam-imam, ahli-ahli Taurat, dan tua-tua yang sudah lama berencana untuk membunuh-Nya. Adanya kepentingan yang sama membuat mereka terlihat kompak (kaum rohaniawan Farisi sering bertentangan dengan Saduki) untuk merundingkan rencana jahat itu. Bagi mereka, Yesus adalah ancaman yang harus disingkirkan. Alasan mereka jelas, kehidupan mereka sebagai pemuka agama sering dikecam oleh Yesus, dan mereka beranggapan bahwa Yesus telah menghujat Allah.
Pada zaman itu, hampir semua orang yang hidup di negeri jajahan Romawi berada di bawah garis kemiskinan. Kontras dengan para pemimpin Yahudi yang hidup dengan kemewahan. Alih-alih membuat program pengentasan kemiskinan, mereka secara sistematis memiskinkan rakyat melalui sejumlah undang-undang. Pada saat menjelang Paskah, misalnya, setiap orang dewasa Yahudi, paling tidak sekali dalam hidupnya ingin mewujudkan impian, beribadah ke Yerusalem. Sejarawan abad pertama Josephus, sebagaimana dikutip John MacArthur dalam buku The Murder of Jesus menyebutkan, sebanyak 2,5 juta- 3 juta orang Yahudi dari seluruh dunia memenuhi Yerusalem pada hari Paskah dan sekitar 250.000 anak domba dikorbankan.
Tentu saja, para pemimpin Yahudi melihat ada peluang bisnis menggiurkan. Sudah menjadi rahasia umum, keluarga Imam Besar memonopoli bisnis peribadahan. Mereka menjual korban-korban Paskah. Ada pula peraturan agar uang persembahan harus menggunakan mata uang Yahudi, mata uang Romawi diharamkan. Mereka pun menyediakan meja-meja penukar uang dengan kurs yang ditetapkan oleh mereka sendiri. Dalam pikiran awam, tentu saja semua itu dilakukan demi memperlancar peribadahan. Namun, Yesus melihat kecurangan di balik selubung penyelenggaraan ibadah itu. Yesus tak pelak mengecam mereka secara terbuka. “Lalu Yesus masuk ke Bait Allah dan mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Ia membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati,” tulis Alkitab dalam Matius 21:12.
Tidak diragukan, mereka kembali terusik. Mereka tentu saja tidak tinggal diam. Segala cara dilakukan untuk menangkap-Nya, antara lain, dengan menyuap Yudas Iskariot, murid-Nya. Tekad mereka semakin bulat untuk mengenyahkan Yesus! Lalu, mereka pun mencari-cari kesalahan-Nya. Mereka tentu ingat, Yesus pernah berkata bahwa Ia adalah Mesias. Bagi kaum rohaniawan fanatik, pernyataan itu adalah penghujatan. Pelakunya pantas dihukum mati. Namun, mereka tidak punya cukup bukti untuk membawa Yesus ke pengadilan. Dan hukum Taurat, melarang mereka untuk membunuh. Pertemuan itu akhirnya menghasilkan cara: membunuh Yesus dengan hukum Romawi. Saksi-saksi palsu pun disiapkan. Mereka mengatakan, Yesus pernah mengaku sebagai Raja Yahudi. Dengan kata lain, Yesus dituduh hendak membebaskan bangsa Israel dari penjajahan Romawi. Bukankah pernyataan itu dapat mengancam eksistensi Romawi di Palestina? Mereka pun menghadapkan Yesus kepada Pontius Pilatus, wali negeri (setingkat gubernur) Yudea yang memiliki kuasa penuh atas hidup dan mati seseorang.
Sebagai orang berpengalaman dalam politik, Pilatus tentu tidak percaya begitu saja terhadap tuduhan palsu itu. Yesus dianggap tidak punya potensi untuk membahayakan kekaisaran. Para pengikut-Nya hanya segelintir orang udik. Pilatus tidak diragukan mengetahui pertikaian mereka dengan Yesus murni dalam wilayah teologis. Tentu saja, Pilatus tidak ingin terlibat dengan urusan internal mereka. Alkitab menulis, sampai tiga kali Pilatus berkata kepada mereka: “Kejahatan apa yang sebenarnya telah dilakukan orang ini? Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya yang setimpal dengan hukuman mati….” (Lukas 23:22). Namun, rakyat Yahudi entah kenapa begitu mudah terhasut, padahal ketika Yesus memasuki Yerusalem, mereka mengelu-elukan-Nya, “Hosana bagi Anak Daud, diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan, hosana di tempat yang maha tinggi!” (Matius 21:9), dan kini mereka menuntut Pilatus agar menyalibkan-Nya. Dalam kondisi tertekan, Pilatus tidak mau ambil pusing, dan demi mengamankan kekuasaannya, ia pun mengabulkan tuntutan mereka. Akhirnya, Yesus digiring ke Golgota.
Seperti kata Pilatus, “Tidak ada suatu kesalahan pun yang kudapati pada-Nya yang setimpal dengan hukuman mati.” Namun, kenapa Yesus rela diludahi, dicambuk, ditampar, diolok-olok, bahkan digantung sampai mati di kayu salib? Kenapa Yesus tidak menghindar dari penyaliban yang bagi orang Yahudi merupakan cara yang terkutuk untuk mati? Terlepas dari adanya konspirasi di antara pemimpin bangsa Yahudi yang menyebabkan Yesus disalibkan, dalam perspektif Alkitab, dengan cara demikianlah manusia berdosa diperdamaikan dengan Allah. Kita yang seharusnya menanggung penderitaan karena dosa, di dalam kematian-Nya kita beroleh pengampunan. Seperti tulis Rasul Paulus, “Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya” (Efesus 1:7).
Terpujilah Tuhan! “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:16). Kiranya Jumat Agung yang kita kenang sebagai hari di mana Yesus berkorban hingga mati demi kita, mengingatkan kembali akan eksistensi kita sebagai murid-Nya. Bahwa mengikut Yesus berarti memikul salib dan mengikuti jalan-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar